Ketertinggalan umat Islam dari umat-umat lain sebagai masyarakat yang membentuk kebudayaan pada awal abad ke-21 menjadi sangat mencolok dibandingkan dengan masa- masa sebelumnya. Ketertinggalan umat Islam dari umat-umat lain dikarenakan mereka pada umumnya belum merespon secara kreatif perubahan sejarah besar yang terjadi dalam semua bidang kehidupan.
Umat Islam Berkemajuan
Perubahan itu di antaranya dalam ekonomi dari agraris ke industri; kemanusiaan dari diskriminasi ke persamaan manusia; sosial dari feodal ke egaliter; politik dari otokrasi ke demokrasi; negara dari negara agama ke negara bangsa; hukum dari hukum Tuhan ke hukum keadilan; dan hubungan internasional dari ekspansi ke konvergensi.
Tidak ada alternatif lain untuk memberi respon kreatif terhadap perubahan sejarah tersebut kecuali transformasi sosial dari masyarakat tradisional atau agraris menjadi masyarakat modern atau industri. Umat lain yang pada masa penjajahan dan perang dingin masih tertinggal mampu bergerak maju.
Mereka melakukan transformasi melalui industrialisasi, sebagaimana yang bisa disaksikan pada China dan India. Karena itu jika tidak melakukan transformasi, umat Islam pasti tetap dalam ketertinggalan. Dan terus menjadi tontonan yang memalukan dan pecundang abadi.
***
Transformasi sosial hanya bisa dilakukan dengan transformasi budaya yang mensyaratkan transformasi teologi. Hal ini karena satu masyarakat mewujudkan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat lain berdasarkan sistem kepercayaan dan sistem nilai dalam agama yang menjadi subtansi dari kebudayaannya.
Masyarakat yang maju menjadi maju karena kepercayaan dan nilai yang ada dalam agama mereka menggerakkan untuk mencapai kemajuan. Begitu juga sebaliknya. Karena itu tidak aneh jika ada pandangan bahwa umat Islam tidak dapat maju karena agama yang mereka peluk tidak menginspirasi untuk menjadi masyarakat yang maju.
Umat Islam perlu melakukan transformasi teologinya dengan semangat Islam Berkemajuan. Untuk keperluan itu, tauhid rahamutiyah bisa menjadi dasarnya. Tauhid ini menjadi dasar ajaran-ajaran dalam semua bidang kehidupan. Dapat dijadikan pedoman dalam melakukan transformasi sosial umat menjadi masyarakat modern/berkemajuan dengan tetap utuh sebagai Muslim. Tanpa ada satu pun yang berkurang.
Tauhid Rahamutiyah
Tauhid rahamutiyah yang menjadi dasar ajaran-ajaran itu dirumuskan dari Q.S. al-An’am, 6: 12:
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi.” Katakanlah: “Kepunyaan Allah.” Dia telah “menetapkan” atas Diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. Orang- orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman.
Dalam ayat itu Allah menyebut “penetapan” rahma yang menjadi kualitas diri-Nya. Dengan menggunakan istilah kataba yang arti asalnya adalah menulis. Kemudian dalam pemakaian bahasa istilah itu juga digunakan untuk pengertian menetapkan (itsbat), menentukan (taqdir), mewajibkan (ijab), mengharuskan (fardl) dan tekad kuat (‘azm). Pemakaian demikian menurut al-Ashfahani karena sesuatu itu dikehendaki, kemudian dikatakan, dan terakhir dituliskan. Jadi kehendak itu menjadi titik awal dan tulisan menjadi titik akhir.
Sesuai dengan penggunaannya yang variatif, para mufasir memberikan pemaknaan yang tidak sama kepada kata kataba dalam ayat tersebut. Az-Zamakhsyari dan Muhammad Abduh memberinya arti mewajibkan (awjaba). At-Thabari, Jalaludin dan- Baghawi memberinya makna memutuskan (qadla). Sementara Abu Su’ud menggabungkan dua makna itu sekaligus, memutuskan dan mewajibkan. Adapun al- Baidlawi mengartikannya dengan mengharuskan (iltazama).
***
Rahma (rahmah) yang ditetapkan Allah menjadi sifat dasar-Nya itu pengertiannya adalah kelembutan. Mendorong untuk memberikan kebaikan kepada yang dikasihi. Ada dua batasan dalam pengertian ini kelembutan (riqqah) dan memberikan kebaikan (ihsan).
Jadi ia merupakan konsep cinta yang aktual, cinta dengan pengertian memberikan kebaikan kepada yang dicintai. Karena itu ketika diserap dalam bahasa Indonesia ia dijadikan dua bentuk: rahma yang berarti cinta kasih atau kasih sayang dan rahmat yang berarti karunia atau berkah dari Allah.
Istilah rahmah menjadi salah satu konsep cinta yang dalam al-Qur’an dinisbatkan kepada Allah. Konsep-konsep cinta lain yang juga dinisbatkan kepada-Nya adalah mawaddah (menginginkan kebaikan), hubb atau mahabbah (biji pohon kehidupan), ra’fah (mengasihani) dan ridla (tidak memurkai).
Konsep rahma dipilih untuk mengungkapkan inti sifat-Nya. Karena ia merupakan konsep cinta pokok yang memuat isi konsep-konsep cinta yang lain. Dia Maha Memberikan Kebaikan karena sekaligus Dia Maha Menginginkan Kebaikan, Maha Mengembangkan Pohon Kehidupan, Maha Mengasihani dan Maha Meridhai, tanpa menjadi asing terhadap diri-Nya sendiri.
Karena itu dalam al-Qur’an tidak disebutkan bahwa Dia menggunakan rughb atau raghbah untuk menyebut cinta-Nya. Karena konsep ini mengandung pengertian “orang yang sedang mencintai menjadi asing pada dirinya sendiri”.
***
Dari penjelasan al-Ashfahani tentang penggunaan kata kataba di atas diketahui bahwa Allah memutuskan, mewajibkan, atau mengharuskan sifat rahma pada diri-Nya itu berangkat dari kehendak yang kemudian ditulis. Dalam sebuah hadis Nabi menjelaskan, penulisan ketetapan Allah itu dilakukan ketika Dia memutuskan untuk mencipta, “Ketika Allah memutuskan untuk mencipta, Dia menuliskan di sisi-Nya di atas Asry (hukum): Sesungguhnya rahma-Ku mendahului murka-Ku”.
Dalam hadis yang lain ketetapan itu berbunyi: “Sesungguhnya rahma-Ku mengalahkan murka-Ku”. Hadis itu menunjukkan bahwa membuat ketetapan rahma bagi diri-Nya dilakukan sebelum Dia melakukan penciptaan makhluk, termasuk manusia.
Sifat Dasar Rahma: Allah Yang Maha Rahman dan Rahim
Tauhid Rahamutiyah adalah kepercayaan bahwa Allah yang Maha Esa telah wewajibkan diri-Nya sendiri memiliki sifat dasar rahma. Berlaku dalam aktualisasi semua kapasitas, asma dan sifat-Nya.
Jadi dalam tauhid itu dipercayai bahwa Allah menjadi Ilah, Rab, Malik, ‘Aziz, Muntaqim (Maha Menghukum), dan pelaksanaan aktualisasi asma dan sifat fi’liyah yang lain berdasarkan cinta kasih. Bukan berdasarkan kebencian atau kemarahan dan kekuasaan.
Dengan demikian Tauhid rahamutiyah pada hakikatnya bukan merupakan kategori baru karena ia tidak menambah kategori-kategori yang sudah ada, tapi merangkumnya dalam satu kualitas ketuhanan yang menjadi puncak perkembangan agama dalam sepanjang sejarahnya.
***
Telah diketahui bahwa dahulu agama-agama dominan bersifat demonik yang mengajarkan tuhan yang jahat kepada manusia. Kemudian Nabi Ibrahim datang mendakwahkan agama etis yang mengajarkan Tuhan yang baik kepada manusia.
Nabi Muhammad yang datang kemudian diperintahkan untuk mengikuti Millah Ibrahim. Mendakwahkan agama yang mengandung puncak ajaran ketuhanan itu. Klaim kenabian terkhirnya sebenarnya secara subtantif mendapatkan pembenaran dari ajaran ini.
Perangkuman itu sebagaimana ditegaskan dalam pengertian di atas meliputi wilayah aktualisasi. Bukan dalam wilayah prosedur penetapan asma dan sifat Allah yang diajarkan dalam Wahhabi. Dalam wilayah aktualisasi, “Tauhid Mulkiyah” sebenarnya termasuk “Tauhid Rububiyah”. Karena pemeliharaan Allah itu bisa meliputi perwalian dan penguasaan atas manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Namun jika kategori mulkiyah itu tetap dipertahankan, maka pengertiannya bisa dihubungkan dengan ayat ke-4 Q.S. al-Fatihah. Ayat ini menegaskan bahwa Allah adalah Malik Yaum ad-Din (Penguasa Hari Pembalasan). Sehingga maksudnya menjadi “kepercayaan bahwa Allah satu-satunya penguasa yang menerima kembali manusia di akhirat”. Kalau begitu maka bisa digunakan ungkapan lain untuk menjelaskan pengertian tauhid rahamutiyah. Yakni kepercayaan bahwa Allah menjadi Tuhan, memiliki alam semesta dan menerima kembali manusia berdasarkan rahma, cinta kasih.
***
Di samping ditunjukkan oleh ayat ke-12 al-An’am yang menjadi titik tolak konsep tauhid rahamutiyah ini, posisi dasar sifat rahma juga ditunjukkan oleh asma yang digunakan untuk menandainya, ar-rahim. Ar-Rahim dibentuk dari kata rahmah dengan wazan fa’il. Dalam bahasa Arab wazan ini digunakan untuk menunjukkan sifat yang melekat (al-ma’na ats-tsabit) pada subyek dan telah menjadi akhlak dan kepribadiannya. Al-Qur’an yang pada dasarnya merupakan kitab berbahasa Arab sudah barang tentu juga menggunakan pengertian ini.
Dengan demikian nama itu menunjukkan pengertian bahwa sifat kasih sayang itu telah melekat pada Allah. Pengertian berdasarkan bahasa ini berbeda dengan pengertian menurut “asumsi” yang sudah biasa diketahui. Bahwa ar-rahim itu memberi anugerah yang kecil-kecil atau memberi anugerah yang khusus bagi orang- orang yang beriman di akhirat.
Redefinisi ar-Rahman dan ar-Rahim
Selain dengan nama ar-rahim, sifat dasar rahma juga ditunjukkan dengan sebutan Allah sebagai dzu ar-rahmah, pemilik rahma. Sebutan ini menandai perbuatan-Nya yang dalam al-Qur’an secara tegas menunjukkan betapa asasinya sifat rahma. Sehingga dengan berdasarkan padanya, Dia bisa menghukum atau memberi tempo dengan tetap memberi karunia. Hal ini ditegaskan dalam:
Dan Tuhanmu Maha Kaya lagi mempunyai rahmat. jika dia menghendaki niscaya dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana dia Telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain (Q.S. al-An’am, 6: 133).
Dan Tuhanmulah yang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat. jika dia mengazab mereka Karena perbuatan mereka, tentu dia akan menyegerakan azab bagi mereka. Tetapi bagi mereka ada waktu yang tertentu (untuk mendapat azab) yang mereka sekali-kali tidak akan menemukan tempat berlindung dari padanya (Q.S. al-Kahfi, 18: 58).
***
Selanjutnya posisi dasar sifat rahma pun ditunjukkan oleh penggunaan nama ar-rahim. Nama ini bersama ar-rahman menjadi dua nama pertama yang digunakan Allah untuk memperkenalkan diri-Nya. Tertera dalam ayat pertama (basmalah) dari surat pertama al-Qur’an (al-Fatihah). Dalam tafsir ada kaedah al-awwaliyah tadullu ‘ala al-aulawiyah, penyebutan pertama itu menunjukkan posisi utama.
Berdasarkan kaedah ini penggunaan kedua nama terindah dengan tiga level kepertamaan itu menunjukkan posisinya yang utama di antara nama-nama terindah yang lain. Yang dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi berjumlah 99 nama. Keutamaan itu tidak lain karena rahma yang ditandai dengan dua sebutan agung menjadi sifat dasar yang mendasari aktualisasi semua asma yang lain.
Dipilihnya ar-rahman bersama ar-rahim pada posisi itu karena ia merupakan ekspresi langsung dari sifat dasar rahma. Sebagaimana ar-rahim, nama ar-rahman dibentuk dari kata rahmah dengan wazan fa’lan. Wazan ini digunakan untuk menunjukkan arti sangat bagi aksiden atau perbuatan (ma’nal mubalaghah lisshifat au al-af’al). Al-Qur’an yang pada dasarnya merupakan kitab berbahasa Arab. Sudah barang tentu juga menunjuk pengertian ini ketika menggunakan kata-kata yang berwazan fa’lan.
Karena itu maka ar-rahman yang digunakan untuk menyebut nama Allah itu pengertiannya adalah Allah yang sangat banyak kebaikan atau karunia-Nya. Jadi pengertian ar-rahman itu bukan Tuhan yang memberi karunia yang besar-besar atau memberi anugerah umum. Bukan pula yang meliputi baik bagi orang yang beriman maupun kafir, seperti yang biasa diketahui.
Memahami Ulang Konsep Azab
Kemudian dalam perkenalan dan penyebutan itu ar-rahman didahulukan dari ar-rahim. Karena sebagai ekspresi, ar-rahman menjadi aktualisasi dengan tampakan luar yang bisa langsung diamati dan dirasakan oleh makhluk berkesadaran yang melihat dan mengalaminya.
Hanya saja meskipun sifat dasar rahma itu diaktualisasikan secara demikian Allah tetap memberikan hukuman kepada orang-orang yang memenuhi kualifikasi tertentu. Khususnya al-mujrimun, para pelaku pelanggaran norma-norma spiritual, moral dan sosial (S. al-An’am, 6: 147). Namun karena diberikan dengan berangkat dari rahma, hukuman itu tidak dimaksudkan untuk menyengsarakan, tapi untuk menyegarkan kehidupan.
Hal ini bisa dipahami dari istilah adzab (azab) yang digunakan untuk menyebut hukuman Tuhan. Kata ini memiliki akar kata yang sama dengan ‘adzb yang berarti air yang segar (al-ma’ at-thayyib).Dalam perspektif teori isytiqaq yang dikemukakan Ibnu Jinni, kesamaan akar kata ‘-dz-b antara ‘adzab dan ‘adzb menunjukkan adanya kesamaan arti di antara keduanya, yakni segar.
Kesamaan arti ini terlihat dalam kenyataan bahwa air dapat menyegarkan badan dan “azab” dapat menyegarkan kehidupan. Kesegaran yang dihasilkan dari azab itu terlihat dengan jelas dalam ketidaknyamanan yang dialami manusia berupa sakit.
Apabila dalam hidup ini tidak ada sakit, maka sehat tidak ada artinya dan kehidupan menjadi hambar. Orang yang mendapatkan azab memang sakit dan bisa jadi sengsara. Tetapi ini menjadi pengalaman subyektif pribadinya.
Sementara orang lain dan masyarakat pada umumnya yang tidak mendapatkan azab dapat menjadikan pengalaman itu sebagai pembelajaran untuk menghindari dan bersyukur. Supaya tidak atau karena tidak mengalaminya, sehingga secara obyektif azab itu merupakan sesuatu yang baik.
Kemudian jika orang yang mendapatkan azab itu bisa memperbaiki diri karena mau belajar dari pengalamannya, maka azab pun secara subyektif juga menjadi sesuatu yang baik. “Kebaikan” azab ini sebagai hukuman Tuhan tiada lain dikarenakan ia diberikan berdasarkan kasih sayang.