Ruh tauhid menjadi gambaran umum tentang realitas dan kebenaran dalam kehidupan dunia yang terikat ruang dan waktu. Hal itu tercermin dalam pandangan dualitas, yaitu antara dunia dan akhirat, yang keduanya harus dijalani bersamaan. Tauhid pun perlu menjadi inspirasi hidup umat muslim.
Pandangan dualitas juga menghadirkan penilaian ideal terhadap sesuatu, sehingga cara pandang tidak antimetafisika. Konsep ini mewarnai daya ingat, imajinasi, pemikiran, observasi, intuisi, dan pemahaman. Gerak manusia akan seiring dengan wahyu, sehingga kehidupan tertata.
Berbagai makhluk bergerak di ekosistemnya masing-masing. Sehingga tidak berkonflik. Alam menjadi tempat mereka berkreasi dalam kedamaian, membangun kelompok dan tatanan kehidupan sendiri. Keteraturan alam merupakan contoh nyata keadilan yang seharusnya menjadi rujukan manusia.
Tauhid dan Alam
HAR Gibb dalam pengantar buku Seyyed Hossein Nasr, Introduction to The Islamic Cosmological Doctrine, menjelaskan, merenungkan proses penciptaan dan kehidupan di alam ini membuat siapa pun memahami keteraturan hidup. Siapapun memahami bahwa keteraturan ini merupakan wujud keadilan ilahi yang tak mungkin diintervensi. Karena Allah tidak membutuhkan transaksi apapun, keadilan yang tidak politis, keadilan tanpa rekayasa sedikitpun.
Keadilan itu menghasilkan keharmonisan, integralitas, dan pastinya kebenaran. Integralitas menandakan satu makhluk membutuhkan lainnya untuk keberlangsungan hidup. Hal itu menghadirkan pemahaman yang utuh, tidak dikotomis, dan tentu jauh dari sekularisme.
Keadilan Ilahi merupakan prinsip keteraturan dan keseluruhan. Semua gerak kehidupan berjalan dalam hubungan dengan yang lainnya serta harmonis. Masing-masing menggapai tujuannya berdasarkan hak dan kewajiban yang ditentukan.
Jika kelompok masyarakat ingin mewujudkan harapannya maka harus memenuhi tiga hal mendasar. Semuanya sangat mungkin menjadi jalan untuk membangkitkan Islam yang merupakan cita-cita Syaqib Arsalan, al—Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan juga al-Faruqi. Pertama, intuisi spiritual yang mewarnai persepsi universal. Kedua hikmah atau kebijaksanaan, yang lahir dari interpretasi akal (Erdy Nasrul, Kunci Membangkitkan Islam, 18).
Inspirasi Hidup Muslim
Buku Tauhid al-Faruqi merupakan pengantar yang cerdas untuk memahami pandangan hidup Islam yang sangat filosofis. Buku tersebut ialah: Tawhid Its Implications for Thought and Life. Al-Faruqi menjelaskan, selama ini umat Islam berada dalam kesedihan dan keprihatinan. Umat terjebak dalam belenggu kemiskinan, kebodohan, permusuhan, dan kebiadaban.
Agaknya Faruqi menilai bahwa umat ini belum memiliki pijakan pasti, Solusiatas problem yang mengemuka di atas ialah; Kembali ke Tauhid. Umat Islam harus memahami konsep keesaan Tuhan yang merupakan dasar dan dapat menjadi inspirasi berbagai aspek kehidupan Muslim. Berbagai keragaman, harta, sejarah, kebudayaan, kebijaksanaan, yang menjadi aspek peradaban Islam harus mencerminkan semangat la ilahaillallah.
Pada sisi lain, Syed Naquib al-Attas menyuarakan pentingnya pendidikan yang merupakan penanaman ilmu di dalam hati setiap insan. Ilmu akan membentuk sikap dan pemikiran, sehingga seseorang memiliki cara pandang atau pandangan hidup. Cara pandang, itu merupakan kumpulan konsep-konsep, seperti ketuhanan, kemanusiaan, alam, moral, agama, wujud, dan keilmuan.
Ulama terdahulu mampu menyebarluaskan Islam karena mereka mendakwahkan cara pandang ini. Masyarakat menerima dakwah mereka karena meyakini cara pandang Islam merupakan solusi keterpurukan yang mereka rasakan.
Keadilan Ilahi
Keadilan Ilahi merupakan prinsip keteraturan dan keseluruhan. Semua gerak kehidupan berjalan dalam hubungan dengan yang lainnya serta harmonis. Masing-masing menggapai tujuannya berdasarkan hak dan kewajiban yang ditentukan.
Aqidah adalah dasar atau pondasi untuk mendirikan bangunan kehidupan, semakin tinggi bangunan yang akan dibuat maka harus semakin kokoh pondasi yang mendasarinya. Jika pondasinya lemah maka bangunan itu akan mudah roboh tertiup angin atau terhempas badai.
Jika orang belajar ajaran Islam ke dalam sistematika Aqidah, Ibadah, Akhlak dan Muamalah, atau Aqidah, Syariat dan Akhlak, atau Iman, Islam dan Ihsan, maka ketiga aspek itu tidak dapat dipisahkan sama sekali, satu sama lain saling terikat.
Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, maka akan terdorong melaksanakan ibadah secara tertib, memiliki akhlak yang mulia dan bermuamalat dengan baik itulah sebabnya Rasulullah SAW, selama 13 tahun periode Makkah memusatkan dakwahnya untuk membangun aqidah yang benar dan kokoh. Sehingga bangunan Islam dengan mudah dapat berdiri dan akan terus bertahan hingga hari kiamat (Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, 10).
Iman, Ilmu, dan Amal
Bentuk kesadaran seorang muslim adalah mengesakan Allah dengan sebenar-benarnya. Kesadaran beriman kepada Allah ini kemudian diwujudkan dengan melakukan amalan. Di antara iman dan amal ada “ilmu” yang menengahi. Artinya, seperti sebuah segitiga, maka aspek keilmuan menjadi penengah antara iman dan amal.
Banyak hadis yang menyinggung soal ini, di antaranya yaitu, “Barangsiapa menempuh jalan dan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga” (H.R. Ibnu Majah), dan “Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap orang muslim, lelaki dan perempuan” (H.R. Muslim).
Selain al-Hadis, al-Qur’an juga banyak menyinggung tentang pentingnya menuntut ilmu seperti dalam QS. Al-Mujadalah, 58: 11 berikut:
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” QS. Al-Mujadalah, 58: 11.
Di masa peradaban Islam, keyakinan yang tinggi akan ayat al-Qur’an tersebut memacu semangat produktif para ilmuwan muslim. Bahkan, kebenaran ayat-ayatnya terbukti seiring dengan berkembangnya zaman. Ayat tersebut menandakan bahwa tauhid mengokohkan keyakinan agama Islam dengan dalil-dalil naqli yang sudah pasti kebenarannya. Ilmu Tauhid dapat menghilangkan keraguan serta menyingkap kebatilan orang kafir, kerancuan, dan kedustaan mereka.
Dari ayat tersebut juga dapat disimpulkan bahwa tauhid atau teologi Islam merupakan akar dari peradaban ilmu. Dengan kitabnya yang terbesar, yaitu al-Qur’an—yang di dalamnya terdapat konsep-konsep tentang ilmu pengetahuan—maka dari situlah peradaban Islam lahir. Setelah ilmu berkembang maka lahirlah sistem-sistem ketatanegaraan, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya.
Tauhid sebagai Akar Ilmu
Singkatnya, keyakinan para ilmuwan terhadap tradisi intelektual tak dapat dilepaskan dari akarnya itu sendiri, yaitu tauhid. Al-Ghazali, melalui teori cerminnya berpendapat, aktivitas kemanusiaan yang tidak diterangi dengan cahaya keilahian bagaikan orang yang berjalan di lorong gelap.
Sebaliknya, orang yang sekedar percaya kepada Tuhan tanpa menumbuhkan sifat-sifat agung Tuhan di dalam dirinya bagaikan iblis. Artinya, kualitas motivasi manusia akan menjadi rendah ketika Tuhan tidak lagi menjadi pusat orientasinya. Berdasarkan kenyataan tersebut, basis tauhid menjadi hal yang sangat krusial dalam mendorong berkembangnya tradisi keilmuan di masa peradaban Islam.
Diri seorang muslim yang benar-benar memahami tauhid dan konsekuen dengan iqrarnya (syahadatain) maka implikasinya akan universal dan komprehensif, hal yang demikian itu dikarenakan tauhid merupakan “ruh” bagi setiap aspek dalam kehidupan, baik itu aspek ekonomi, politik, pendidikan, sosial budaya, militer, hukum, dan lain sebagainya.
Bila seseorang menjadi seorang pakar ekonomi misalnya, dia akan menyaring segala macam teori ekonomi yang pernah dikenalnya dengan menggunakan filter tauhid dan akan merumuskan teori-teori ekonomi baru dengan paradigma tauhid pula, sehingga dari pakar tersebut lahirlah teori-teori ekonomi yang Islami atau sistem ekonomi Islam. Begitu juga dalam aspek lainnya seperti sainstek, politik, hukum, pendidikan, budaya, dan aspek lain dalam kehidupannya (M. Syafi’I Antonio, Muhammad SAW, The Super leader, 1).
Jika suatu kelompok atau suatu bangsa tidak memiliki “ruh” ketuhanan, ketauhidan, moral, dan rasa kemanusiaan maka akan menimbulkan demoralisasi dan kesenjangan di dalam kehidupannya. Prof. Dr. M. Amien Rais dalam bukunya menuliskan sebuah transformasi dalam menggempur kesenjangan tersebut dengan istilah “tauhid sosial”, istilah ini mengacu pada ajaran Islam yang sangat kental dengan pemberdayaan masyarakat bawah agar bisa bangun dan mandiri.
Bahkan secara tegas, Islam mengganjar surga bagi mereka yang dengan sungguh-sungguh memperjuangkan nasib kelompok tertindas dan mengancam neraka jahanam bagi mereka yang melalaikannya, meskipun ibadah ritual yang diselenggarakan tergolong rajin dan baik (M. Amien Rais, Tauhid Sosial, 18).
Editor: Nabhan