Perspektif

Tentang Usia Nikah Aisyah; Kritik Terhadap Al-Nadawi dan Al-Maududi

5 Mins read

Pro kontra mengenai usia nikah Aisyah adalah hal niscaya yang sangat wajar. Ada yang mengatakan bahwa hadis tersebut adalah hadis sahih yang bersumber dari kitab hadis yang paling otoritatif dan tercantum di banyak sumber melalui jalur periwayatan yang beragam.

Di sisi lain, banyak pula yang mengatakan bahwa hadis tersebut juga bermasalah apabila dibenturkan dengan data-data sejarah. Juga tidak cukup logis seorang Nabi bila menikahi seorang anak yang masih di bawah umur.

Wacana ini awalnya lahir dari Maulana Muhammad Ali yang mendobrak bias yang ada. Banyak yang beranggapan bahwa M. Ali adalah peletak dasar wacana korektif atas usia pernikahan Aisyah. Sehingga sering dijadikan alat legitimasi orang-orang yang menikahkan anaknya yang masih usia dini.

Spirit Muhammad Ali sebagai peletak dasar wacana korektif atas usia perkawinan Aisyah dilanjutkan oleh para pemikir setelahnya yang juga berasal dari Indo-Pakistan. Dengan menghadirkan pendapat yang berbeda, dan tentu saja dengan bukti-bukti lain sebagai penguat dasar pijakan argumennya.

Ghulam Nabi Muslim Sahib (selanjutnya: Sahib) namanya. Meskipun perlu diakui terdapat juga sosok pemikir sebelumnya yang bernama Abu Thahir Irfani, hanya saja dalam tulisan ini akan terfokus pada Sahib.

Korektif Sahib Terkait Usia Nikah Aisyah

Sahib menjejakkan argumen-argumennya dalam beberapa deret karyanya. Melalui artikelnya yang dipubikasikan dalam pamflet The Light, tertanggal 24 September 1981. Dengan tajuk Hazrat Aishah Siddiqah’s Age at her Marriage: Proves that The Holy Prophet Muhammad (PBUH) Married Hazrat Aishah when she was 19 years of Age and not when she was 9.

(Usia Sayidah Aisyah al-Shiddiqah Ketika Menikah: Terbukti Bahwa Nabi Muhammad Saw Menikahinya Saat Berusia 19 Tahun, bukan 9 Tahun). Artikel ini kemudian kembali diterbitkan dalam sebuah jurnal “The Message: World Quarterly” pada September 2002.

Sahib turut serta mengkritik dan menyoroti tulisan-tulisan dari dua orang tokoh sunni tersohor yang juga berasal dari Indo-Pakistan, yakni Abu al-A’la al-Maududi dan Sulaiman al-Nadawi. Mereka berdua memiliki pandangan sebagaimana arus pandangan umum. Pendapat tradisional yang menganggap Aisyah RA berusia 6 tahun saat menikah dan 9 tahun saat mengarungi bahtera rumah tangga.

Kritik Sahib Terhadap al-Nadawi

Mari kita dedah kritik-kritik Sahib atas dua pemikir itu, kita mulai dari Sulaiman al-Nadawi. Melalui magnum opus-nya yang bertajuk Sirah Aisyah menyatakan bahwa banyak penulis buku sejarah yang menukil pendapat dari Ibn Sa’d yang mengatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada awal tahun ke-4 dari kerasulan dan dinikahi pada tahun ke-1 saat berusia 6 tahun.

Baca Juga  Racism is American’s Original Sin

Hanya saja al-Nadawi tidak sependapat dengan argumen itu, menurutnya jika diletakkan pada awal tahun tersebut, maka usia Aisyah telah mencapai 7 tahun bukan 6 tahun lagi.

Hal ini kemudian diperkuat dengan pendapat para sejarawan yang telah disepakati validitasnya untuk menentukan tahun kelahiran Aisyah RA. Pertama, Aisyah menikah dengan Nabi Saw tiga tahun sebelum hijrah saat berusia 6 tahun. Kedua, Nabi mengajak hidup bersama pada bulan Syawal tahun pertama Hijriah saat berumur 9 tahun.

Ketiga, Aisyah RA menjadi janda sejak Nabi meninggal dunia pada bulan Rabiul Awal 11 Hijriah di usianya yang ke-18. Sehingga versi yang paling akurat bahwa kelahiran Aisyah adalah akhir ke-5 Hijriah dari kerasulan / 614 Masehi.

Al-Nadawi juga memberikan ketidaksetujuannya berupa koreksi atas Muhammad Ali. Kurang lebih begini koreksinya.

Some irresponsible persons who think that the marriage with a girl of tender age was not befitting for the Holy Prophet (peace and blessings of Allah be upon him) have tried to prove that the age of Hazrat ‘Aishah Siddiqah at her marriage was 16 years instead of 6 years. All such efforts are useless and all such claims are illogical. Not a single word is the Hadith and history can be found in their support.

Sebagaimana diberi tanda tebal dalam kalimat tersebut, bahwa upaya pembuktian dari usia yang 6 ke 16 tahun merupakan hal yang sia-sia dan tidak juga masuk akal. Bahkan menurut al-Nadawi tidak sedikitpun terdapat hadis atau literatur sejarah yang berbunyi bahwa usia Aisyah berusia 16 tahun.

Kritik Sahib Terhadap al-Maududi

Selanjutnya mari kita lihat bagaimana kritiknya atas tulisan Abu al-A’la al-Maududi yang memiliki tajuk the Nikah Date of Sayedah ‘Aishah yang dipublikasikan dalam Buletin Tarjuman Al-Qur’an (1976). Juga berkait kelindan dengan apa yang disorot pada al-Nadawi. (Ghulam Nabi Muslim Sahib, 2002: 5-8)

Al-Maududi mempertahankan argumennya yang berusia 6 tahun saat menikah dan usia 9 tahun saat berumah tangga, dengan turut menghadirkan sesosok al-Thabrani, Ibn Jarir, Imam Baihaqi, al-Qasthallani, Badruddin ‘Aini sebagai backingan argumennya.

Baca Juga  Belajar Ilmu Agama itu Sangat Penting!

Dengan tandas Sahib menyatakan bahwa baik itu al-Maududi maupun al-Nadawi, lebih terfokus pada penghitungan tahun kerasulan dan tahun hijrah. Selain itu, keduanya berangkat dari dugaan awal yang bersumber dari hadis sebagai benar dan tepat. Sehingga kedua tokoh itu ke-trigger dengan argumen-argumen tadi untuk menilai usia Aisyah telah ditetapkan sebelumnya melalui praduganya.

Dengan kata lain, berangkat dari bunyi hadis lalu mencocokkannya bahwa ini benar dan akurat dan telah berdasarkan kalender. Hanya saja, Sahib menilai ini terkesan pemaksaan, bahkan secara tegas Sahib menyatakan bahwa kajian ini tidak dapat disebut sebagai scientific method (metode ilmiah) dalam menilai usia Aisyah yang sesungguhnya.

Kembali ke Al-Nadawi

Sahib juga meragukan keakuratan analisis al-Nadawi ketika membahas terkait Nabi Saw wafat dan masa menjandanya Aisyah pasca ditinggal Nabi. Dikatakan bahwa Aisyah hidup selama 40 tahun setelah Nabi wafat.

Kemudian Sahib menyatakan dari tahun-tahun akhir masa pemerintahan Muawiyah juga merupakan masa akhir dari kehidupan Aisyah yang telah berusia 67 tahun, dan meninggal pada 17 Ramadhan 52 H / Juni 678 M karena menderita sakit.

Betapa pun al-Nadawi menciptakan kritik atas pandangan Muhammad Ali ihwal usia Aisyah saat menikah dengan nabi, akan tetapi menurut Sahib, al-Nadawi menggali lobang kontradiksinya sendiri yang bukan memperkuat argumennya. Namun malah menguatkan bukti yang telah dibangun oleh Muhammad Ali sebelumnya.

Pertama, soal kondisi Aisyah yang hidup menjanda sebagaimana disinggung sebelumnya. Kedua, bila dihitung dari masa menjandanya yang terhitung 40 tahun (dari usia wafatnya 67 tahun), maka usianya akan menunjuk pada angka 27 tahun ketika ditinggal oleh nabi pada tahun 11 Hijriah. Bukan berusia 18 tahun sebagaimana tertulis dalam bukunya tersebut.

Pandangan Sahib Terkait Usia Aisyah

Sahib juga secara tegas menyatakan bahwa dari total masa kerasulan nabi selama 23 tahun. Berdasarkan hitungan ini, tentu saja Aisyah tidak dilahirkan pada tahun ke-4 dari kerasulan. Melainkan dilahirkan 4 tahun sebelum kerasulan sebagaimana dinyatakan al-Nadawi.

Konsekuensi logis yang muncul bila berdasarkan hitungan tersebut adalah usia Aisyah saat menikah pada tahun ke-10 dari kerasulan, berarti bukan berusia 6 tahun melainkan 14-15 tahun. Mengikuti perhitungan ini pula, usia Aisyah saat memulai rumah tangga yakni pada tahun kedua hijriah telah berusia 19-20 tahun, bukan berusia 9 tahun. (Ghulam Nabi Muslim Sahib, 1981: 5-8)

Baca Juga  Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

Paling tidak kedua tokoh tersebut (al-Nadawi dan al-Maududi) tetap keukeuh meyakini ihwal kebenaran riwayat yang menyatakan usianya adalah 6 tahun saat menikah dan 9 tahun saat berumah tangga. Selain mengurai kritik-kritik yang dilancarkan pada keduanya, Sahib juga memberikan sebuah bukti baru melalui artikelnya.

Sebagai bentuk koreksi atas usia Aisyah yang belum terjamah oleh para pemikir-pemikir sebelumnya, khususnya dalam tradisi intelektual Ahmadiyah Lahore.

***

Meskipun Yusuf Hanafi juga menilai bukti-bukti yang disampaikan Sahib juga telah disinggung oleh para pemikir-pemikir wacana korektif usia sebelumnya, seperti halnya Muhammad Ali dan Abu Thahir ‘Irfani. Baik berupa argumen tentang perbedaan usia Asma’ dan Aisyah yang terpaut 10 tahun, termasuk saudara-saudaranya yang lain saat era Jahiliah.

Bukti tersebut menurut Sahib didasarkan pada fakta sejarah bahwa ‘Abd al-Rahman, salah satu anak Abu Bakr (kakak Aisyah) turut berjuang bersama kaum muslimin ketika perang Badar. Usianya ketika itu telah mencapai 21-22 tahun. Walaupun begitu Abd al-Rahman lebih tua dari Aisyah, tidak ada bukti yang menunjukkan terkait perbedaan usia di antara keduanya lebih bahwa lebih dari 3 maupun 4 tahun.

Dari bukti ini menurut Sahib telah mendukung pandangan yang memandang bahwa Aisyah dilahirkan 4 atau 5 tahun sebelum tahun kerasulan. (Ghulam Nabi Muslim Sahib, 1981: 5-8). Kira-kira begitu.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Sumber Rujukan Primer:

Ghulam Nabi Muslim Sahib. 1981. “Hazrat Aishah Siddiqah’s Age at her Marriage: Proves that The Holy Prophet Muhammad (pbuh) Married Hazrat Aishah when She was 19 Years of Age and not When She was 9.” Diterjemahkan dari Bahasa Urdu oleh Mas‘ud Akhtar dalam The Light, 24 September.

Ghulam Nabi Muslim Sahib. 2002. “Hazrat Aishah Siddiqah’s Age at her Marriage: Proves that The Holy Prophet Muhammad (pbuh) Married Hazrat Aishah when She was 19 Years of Age and not When She was 9.” Dalam The Message: World Quarterly, The Muslim Literary Trust, Trinidad & Tobago. September.

Editor: Faizin

Avatar
5 posts

About author
Penggosip filsafat, menulis isu-isu sosial keagamaan dan perdamaian. Saat ini menempuh pendidikan program studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alamat sekarang: Puren No. 50 jln. Barada Gg Cengkih Condongcatur Depok Sleman DIY
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds