Suatu waktu, Sang Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali pernah mengatakan bahwa, yang paling jauh itu adalah masa lalu. Kenapa demikian? Karena bagaimanapun caranya, siapapun tidak akan bisa kembali ke masa lalu, karena itu jangan membanggakan kebaikan di masa lalu. Artinya, secara tidak langsung al-Ghazali ingin mengatakan “teruslah meningkatkan kebaikan untuk hari ini dan esok hari”.
Soal waktu, kiranya masyhur pepatah yang pernah diungkapkan oleh Imam Asy-Syafi’i:
الوَقْتُ كَالسَّيْفِ إِذَا لَـمْ تَقْطَعْهُ قَطَعَكَ
Artinya: “Waktu bagaikan pedang jika kamu tidak memotongnya, maka dia yang akan memotongmu.”
Jika kita tidak disiplin menjaga waktu, maka kita akan menjadi korban waktu. Katakanlah, jika kita abaikan waktu, maka kita bisa ketinggalan kereta atau pesawat. Bahkan, bisa jadi kena drop out dari tempat kuliah program sarjana atau program profesi.
Waktu dalam Al-Qur’an
Syahdan, salah satu surah dalam al-Qur’an yang berbicara mengenai waktu adalah surah Al-Ashr. Meskipun surah Al-Ashr terbilang pendek, namun masih menjadi perhatian para mufassir.
Salah satunya yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dalam kitab Al-Ausath dan Al-Baihaqi dalam kitab Asy-Syu’ab, bahwa membaca surah Al-Ashr adalah sebuah rutinitas atau kebiasaan para sahabat ketika mereka bertemu.
Penting juga dicatat, Prof Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah mengatakan, bahwa salah satu penyebab turunnya surah Al-Ashr adalah berkaitan dengan kebiasaan kumpul-kumpul dan berbincang-bincang yang telah menjadi bagian hidup orang Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
Itu sebabnya, tak jarang dalam perbincangan mengenai soal waktu, acap kali mereka melontarkan kata-kata yang menyalahkan waktu apabila mereka ditimpa satu kesialan (ketinggalan waktu). Sebuah kekeliruan fatal dan mengkambinghitamkan waktu atas segala yang ditimpakan kepada manusia, terutama kesialan.
Hingga akhirnya, Allah Swt menurunkan surah Al-Ashr sebagai respon balik atas stereotip bangsa Arab jahiliyah pada saat itu. Jelasnya, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dalam hidup. Ia tak bisa surut kembali walaupun hanya sedetik, tak bisa dimajukan apalagi dimundurkan. Maka, dengan demikian, orang yang bijak pasti akan menggunakan waktu dengan sebaik dan semanfaat mungkin.
Definisi Waktu Menurut Para Filsuf
Masih tentang waktu. Kita sering sekali dalam percakapan menggunakan kata waktu. Misalnya: waktu saya sempit sekali, waktunya sudah tiba, saya tidak ada waktu. Tahun berapa kamu lahir? Kapan kamu menikah? Tahun berapa kamu wisuda?. Pertanyaanya adalah, apakah itu waktu? Bagaimanakah waktu harus didefinisikan? Ini sebuah pertanyaan sederhana, namun tidak mudah memberikan definisi mengenai apa itu waktu.
Aristoteles memahami waktu seperti kontainer yang menjadi wadah penampung terjadinya peristiwa-peristiwa. Misalnya, kemerdekaan RI tahun 1945. Di sini tahun 1945 dipahami seperti kontainer yang mengandung peristiwa kemerdekaan RI di dalamnya. Begitu juga dengan hari lahir, wisuda, dan lainnya.
Immanuel Kant pernah mengatakan bahwa waktu itu tidak terdapat di luar diri manusia. Waktu itu terdapat secara apriori dalam diri manusia, dan karena sudah apriori terdapat dalam diri. Maka dari itu, kita dapat menggunakan kategori-kategori waktu dalam percakapan. Misalnya ungkapan perubahan, sebelum, sesudah, lambat, cepat, bersamaan.
Begitu pun juga dengan Heidegger yang mengatakan bahwa, waktu tidak lain dari bentuk ekstatis dari eksistensi manusia yang bersifat triadik: masa lalu, masa kini dan masa depan. Manusia eksis, artinya: manusia keluar, menjadi mewaktu. Manusia itu sendiri tidak memiliki waktu, tidak berwaktu, melainkan mewaktu. Manusia ada dengan mewaktu (zeitlich).
***
Perbedaan-perbedaan pengertian berwaktu dan mewaktu sangat mendasar. Ungkapan berwaktu mengimplikasikan seakan-akan manusia lebih dulu ada lalu kemudian dia mengenakan waktu, sebagaimana kalau kita mengatakan misalnya bersepeda atau berpakaian. Ungkapan mewaktu berarti bahwa manusia ada, eksis, dengan mewaktu.
Manusia adalah kemewaktuan itu sendiri. Waktu itu tidak dikenakan kemudian dalam perjalanan hidupnya, melainkan bahwa ia sendiri mewaktu. Eksistensinya menjadi asal-usul (keme)waktu(an) itu sendiri. Ini sebuah konsep yang menjelaskan kemanusiaan manusia, yakni bahwa ia memiliki kesadaran akan kemewaktuan (Zeitlichkeit) eksistensinya. Kesadaran akan kemewaktuan itu mendorongnya untuk menciptakan kronometer, bentuk-bentuk pengukur waktu objektif.
Waktu bagi Heidegger kemudian menjadi horison asali pemahaman keseluruhan eksistensi dalam struktur triadik tersebut. Dan karena itu, Tertulianus, misalnya mempertentangkan antara antara kemewaktuan (temporalitas) dengan kekekalan (aeternitas). Kekekalan itu berada di luar waktu. Dalam kekekalan tidak berlaku ungkapan sebelum dan sesudah (ini kategori waktu).
Lantas, kapan waktu bermula? Setelah dunia dan segala isinya diciptakan. Sebelum penciptaan, tidak ada waktu, karena yang ada adalah kekekalan. Perayaan pergantian hari dan tahun sesungguhnya adalah perayaan ketidakkekalan. Kita merayakan karena kita tidak kekal, kita ada dalam waktu dan sekaligus mewaktu, dan itu memperlihatkan bahwa kita eksis. Wallahu a’lam bisshawaab.
Editor: Soleh