Oleh Ghifari Yuristiadhi*
Pekan yang lalu, publik gempar dengan beredarnya protes keras seorang wali murid di salah satu sekolah dasar negeri di Yogyakarta yang menjadi lokasi praktek Kursus Mahir Lanjut (KML) bagi pembina pramuka. Saat itu, sang peserta kursus masuk ke kelas dan melakukan icebreaking dengan tepuk anak sholeh.
Sang wali murid protes keras karena salah satu murid di dalam kelas tersebut adalah anaknya. Dia tidak terima anaknya dicekoki ajaran intolerasi dalam penutup “Islam-Islam yes!, kafir-kafir no!”
Dalam hitungan hari, gemparnya protes wali murid tadi direspons oleh berbagai kalangan, termasuk Gubernur DIY. Melalui surat No. 420/1051 yang ditandatangani Sekretaris Daerah, pemerintah daerah mengeluarkan surat larangan peredaran video tepuk anak sholeh.
Pertimbangan pelarangan peredaran video tersebut adalah pengembangan sikap toleransi, pendidikan keberagaman, dan menjaga keharmonisan. Dalam surat tersebut, Gubernur DIY juga menghimbau agar membatasi peredaran video tepuk anak sholeh di sosial media dan melarang melakukan tepuk anak sholeh pada kegiatan sekolah, baik kurikuler, intrakurikuler, dan ekstra kurikuler.
Histori Tepuk Anak Sholeh
Sebagaimana diketahui, video tepuk anak sholeh dalam hitungan hari setelah kejadian protes wali murid mendadak ramai beredar di sosial media. Beredarnya video tepuk anak sholeh tersebut ditautkan dalam postingan di media sosial oleh pihak yang menolak tepuk anak sholeh maupun yang mendukung.
Secara historis, tepuk anak sholeh ini bukan tepuk yang baru, yang hadir seiring dengan sering meruncingnya politik identitas dalam kurang dari satu dekade terakhir ini. Tepuk anak sholeh ini sudah diajarkan di Taman Pendidikan al-Qur’an yang mulai muncul sejak awal 1990-an di Yogyakarta. Saat itu, di kota ini mulai tumbuh TPA sebagai suplemen tambahan pendidikan agama Islam yang tidak diberikan secara maksimal di sekolah reguler, utamanya percepatan membaca al-Qur’an dengan Metode Iqro’ yang saat itu baru dikembangkan Team Tadarus AMM Kotagede.
Tepuk anak sholeh sering dilantunkan oleh guru TPA yang kemudian berkembang di banyak masjid dan ruang belajar lainnya dalam memecah suasana (ice breaking) agar tidak membosankan saat belajar. Terkadang dilakukan di awal ataupun di akhir pembelajaran. Namun, awalnya, tepuk anak sholeh hanya terlantun “aku anak sholeh, rajin sholat, rajin ngaji, orang tua dihormati, cinta Islam sampai mati” dan ditutup dengan kalimat tahlil: laa ilaaha illallah Muhammadarrasulullah. Titik. Tidak ada lagi kelanjutannya.
Pada perkemangannya kemudian “ice breaking” tepuk anak sholeh muncul variasinya dengan tambahan “Islam Islam yes” yang selanjutnya bertambah lagi dengan “Kafir-kafir no.” Penulis kurang tahu pasti kapan tambahan di belakang itu mulai populer diikutsertakan dalam tepuk anak sholeh. Namun yang pasti, tidak ada respon yang begitu heboh ataupun penolakan karena anggapan adanya ajaran intoleransi atas tambahan di akhir tepuk itu, layaknya hari ini.
Jiwa Zaman
Perubahan respon masyarakat hari ini dan kira-kira dua dekade yang lalu menggambarkan perbedaan jiwa zaman atas persepsi suatu hal. Jiwa zaman atau zeitgeist dalam Bahasa Jerman, menurut teorikus yang mempopulerkannya pada abad ke-18-19, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, adalah pemikiran dominan yang diyakini dan berkembang pada suatu masa, yang menggambarkan dan mempengaruhi sebuah budaya dalam masa tersebut.
Jika merujuk Hegel, perubahan persepsi masyarakat atas tepuk anak sholeh ini bisa dibaca karena perubahan jiwa zaman. Jika dulu dianggap biasa saja karena memang sebatas icebreaking tanpa ada maksud seperti yang dipersepsikan hari ini tentang intoleransi dan radikalisme. Jika hari ini, karena jiwa zaman berubah dengan rentannya konflik SARA, terlebih sering kali cepat tersebar melalui sosial media yang baru berkembang satu setengah dekade terakhir, tentu perlu merenungkan lagi sensitivitas yang ada.
Perlukah Dilarang?
Politik identitas dan sentimen SARA yang akhir-akhir ini berkembang di Indonesia seharusnya menjadi renungan bersama. Bagaimanapun masyarakat hari ini semakin sensitif dan mudah terpancing dengan isu-isu tersebut. Menurut hemat saya, jiwa zaman yang berubah ini harus diikuti dengan kebijaksanaan dari semua pihak.
Dilarangnya melakukan tepuk anak sholeh oleh pemerintah tentu akan menghadirkan resistensi dari sebagian masyarakat, karena mereka berpendapat ada unsur edukasi religius di sana. Menurut saya, cukup himbauan mereduksi bagian akhir tepuk anak sholeh itu saja. Varian tepuk anak sholeh yang berkembang juga ada. Salah satunya mengganti “kafir kafir no” menjadi “neraka-neraka no.” Juga bisa dengan variasi yang lain, sesuai dengan kreativitas masing-masing.
Namun, jika ada sebagian masyarakat yang tetap ngotot dengan “kafir-kafir no,” berarti memang tidak ada kebijaksanaan dalam dirinya di tengah situasi yang cukup senstitif ini.
* Wakil Ketua PWPM DIY Bidang Seni, Budaya, Olahraga, dan Pariwisata/Dosen Departemen Bahasa, Seni, dan Manajemen Budaya UGM
Editor: Arif & Nabhan