Terorisme dapat dilihat dari dua matra: problem dan misteri. Dua hal ini adalah ‘tema kesayangan’ dari Filsuf Prancis Gabriel Marcel (lahir 1889). Ketika membaca Filsafat Barat Kontemporer karya K. Bertens, saya jadi tertarik untuk membawa dua tema itu dalam konteks terorisme.
Terorisme dan Problem Manusia
Kata “problem” berasal dari bahasa Yunani, proballein yang berarti “melemparkan di depan”. Problem diartikan sebagai “masalah yang diajukan kepada saya dari luar.” Ketika dapat dipecahkan, maka lenyap sudah sisinya sebagai problem.
Sedang bawa motor kemudian ban-nya kempes. Itu problem. Problem bisa dijumpai dalam berbagai keseharian manusia. Jika ditulis, teramat banyak problem yang datang dan pergi dalam diri manusia.
Terorisme adalah problem. Problem manusia modern. Ada banyak teori dapat dikemukakan, ratusan bahkan. Penyebab dari terorisme itu juga bisa bervariasi; mulai dari konflik politik sampai pada perjuangan ideologi. Satu hal yang mengikat itu adalah: kekerasan.
Apa yang dilakukan oleh kelompok Al-Qaeda pada peristiwa 9/11 adalah contoh jelas dari terorisme. Walaupun tidak semua orang sepakat, terutama pengikut teori konspirasi, bahwa aksi itu dilakukan oleh para lelaki Arab, tapi faktanya bahwa mereka telah mempersiapkannya sejak tahun 1990-an.
Teror demi teror lainnya juga jadi problem. Apa yang dilakukan Brenton Tarrant di masjid Selandia Baru, adalah problem; membawa masalah baru di negeri orang. Dia tinggal di Australia tapi bawa masalah di negara tetangga. Banyak sekali problem demi problem itu.
Ada lagi, teror yang dilakukan oleh perempuan. Orang dulunya tidak nyangka. Tapi, beberapa kasus membuktikan bahwa ada kontribusi perempuan tertentu dalam terorisme. Mulai dari yang berencana meledakkan dirinya lewat bom panci sampai pada keterlibatan dalam aksi teror sekeluarga yang terjadi di Surabaya. Orang jadi bingung, kenapa bisa itu terjadi?
Misteri dalam Kehidupan Manusia
Sekarang kita lihat soal misteri. Misteri, tulis K. Bertens, merujuk pada Marcel, “tidak berada di depan atau di luar saya, akan tetapi di dalam diri saya–tepatnya lagi, saya sendiri termasuk misteri itu.” Misteri tidak bisa dipecahkan, karena dia ada.
Orang ingin memecahkan misteri akan tetapi mereka tidak dapat membuka pintu menuju pada pemecahan itu. Misteri bahkan melampaui kemampuan pemikiran manusia. Misteri hanya bisa dialami dan dipercaya, itu poin pentingnya, walaupun tidak bisa tuntas menangkap semua konsep terkait misteri itu.
Kehadiran manusia misalnya, itu bagian misteri. Jika tidak ada teks kitab suci, manusia tidak akan sampai pemikiran dan keyakinannya pada misteri eksistensi itu. Agama hadir sebagai solusi untuk menuntaskan misteri yang menjadi tanda tanya manusia.
Dalam konteks terorisme, karena kadang ada saja fakta yang tidak utuh, maka suatu kasus bisa jadi misteri. Ketika pelaku penembakan Charlie Hebdo melarikan diri setelah beraksi, orang jadi bertanya-tanya. Kenapa dua orang bersaudara itu lari, bukankah biasanya aksi seperti itu memilih untuk mati di tempat sebagai bagian dari kepercayaan akan reward dari perjuangan di hari nanti?
Akhirnya, karena ada fakta yang kabur, hal itu jadi misteri. Peristiwa 9/11 juga begitu. Ada saja orang yang meragukannya, apakah betul itu aksi Al-Qaeda atau konspirasi. Tapi, fakta bahwa intensionalitas para agen–maksudnya pelaku/aktor–itu dapat menjelaskan bahwa itu tindakan yang disengaja, bukan semata-mata karena dikendalikan orang lain.
Konspirasi sebagai Penguat
Keberadaan teori konspirasi menjadi penguat bagi misteri itu. Artinya, selama manusia tidak bisa mendapatkan penjelasan yang masuk akal, sesuatu bisa menjadi misteri dalam dirinya. Problemnya, tidak semua hal dalam hidup ini harus dimasukkan ke dalam akal. Ada wilayah yang hanya bisa dimasuki lewat nurani, dan itu harus menggunakan kacamata agama.
Jadi, penjelasan terorisme sesungguhnya dapat dilihat dari berbagai sudut yang kaya dari pengalaman, ilmu, dan keyakinan manusia. Satu lagi, intensionalitas manusia sebagai makhluk sadar yang berkehendak. Orang bisa saja terlihat dikendalikan, padahal sesungguhnya itu fakta kebetulan saja, atau kemiripan dari dikendalikan. Artinya, intensi orang untuk bertindak sebagai teroris itu memang ada, dan tidak selalu harus dilihat dari sudut konspirasi.
Namun, tentu saja teori konspirasi tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Bisa dijadikan sebagai referensi pembanding dari pengetahuan yang kaya. Apa yang terlihat tidak berguna dan terpecah-pecah bisa jadi menunjukkan suatu realitas yang hanya bisa ditangkap oleh kacamata peneliti dan pakar.
Di situ ada problem yang harus dijawab. Apa konteks yang menyebabkan terorisme terjadi? Kemudian, apa sisi misteri yang tidak bisa dibaca oleh pemikiran biasa dan hanya bisa dilihat dari perspektif motivasi keagamaan yang bisa jadi tidak rasional tapi itu terjadi.
Editor: Nabhan