Shalat Jum’at di Rumah, Mengapa Tidak?
Memperhatikan derasnya keinginan ummat untuk tetap melaksanakan shalat jumat, sementara situasi saat ini, menuntut ummat untuk berada di rumahnya masing-masing dan mengurangi secara maksimal untuk berada di ruang publik. Untuk itu, penulis ajukan usulan lanjutan setelah shalat jumat secara online.
Jika melaksanakan shalat jumat secara online dirasakan tidak lazim, penulis berpandangan kepada ummat, perlu dibuka kesempatan untuk melaksanakan shalat jumat di rumah. Usulan ini didasarkan pada dua argumentasi. Pertama argumentasi kaedah fikih berupa maxim dalam hukum Islam. Kedua argumentasi naqli.
Argumentasi Fikih
Tentu usulan ini terbaca asing bagi masyarakat Indonesia karena lazimnya pelaksanaan shalat jumat selalu dikaitkan dengan masjid. Usulan ini dalam belantara keilmuan hukum Islam sesungguhnya bukan hal yang asing.
Itu antara lain ditegaskan oleh penulis buku al-Iqna’ ketika menguraikan analisis atas hadis Abdullah bin Abas riwayat Muslim tentang alasan hujan menjadi sebab pelaksanaan shalat jumat dipindahkan dari masjid ke rumah.
Al-Imam al-Hafizh Abul Faid menyatakan bahwa hadis Abdullah bin Abbas Riwayat Muslim itu mengajarkan bahwa pelaksanaan shalat jumat dibenarkan untuk ditunaian di rumah dengan alasan terjadi hujan.
Jika pandangan fikih ini dipinjam dan alasannya diperluas menjadi alasan kedaruratan karena pandemi global virus corona covid-19, maka umat dibenarkan untuk menunaikan shalat jumat di rumah.
Terhadap pandangan fikih di atas dapat ditambah kadah-kaedah fikih sebagai berikut: Pertama, al-Maqsyaqqatu tajlib at-taysir (kondisi sulit bisa mendatangkan kemudahan). Ini bermakna ketika shalat jumat itu dalam kondisi normal, dilaksanakan di masjid. Maka dalam situasi tidak normal, tidak masalah untuk ditunaikan di rumah.
Kedua, al-amr idzaa dlaaqattasa’a (manakala sesuatu dirasakan sulit ditunaikan, maka terbuka untuknya fasilitas kemudahan). Karena melaksanakan shalat jumat di masjid itu diarasakan sulit, mengingat kekhawatiran akan terpapar virus corona. Maka kelonggaran memindahkannya dengan cara dilaksanakan di rumah adalah diperkenankan.
Ketiga, adl-dlararu yuzaalu (setiap potensi kerugian berupa apapun harus ditiadakan). Kaidah ini mengamanatkan untuk dilakukan ikhtiar maksimal untuk meniadakan berbagai kerugian atau potensi yang merugikan apapun bentuknya. Dalam konteks situasi pandemik global saat ini, kerugian itu berupa kerugian hilangnya nyawa yang diakibatkan oleh terpapar virus corona covid-19.
Salah satu upaya yang dilakukan dari menghilangkan kerugian itu adalah menjauhkan diri dari virus dengan cara minimal yaitu self distancing (at-taba’ud asy-syakhshi) melalui menjauhi kerumunan dalam berbagai bentuknya di manapun adanya. Salah satu kerumunan itu adalah dari jamaah yang berkumpul di tempat ibadah.
Keempat, idzaa tazaawaja al-amr ‘an haddihin’akasa ilaa dliddihi (manakala sesuatu itu dinilai sudah melampaui batasnya, maka ia akan kembali ke antitesisnya). Jika ditanyakan sampai kapan pelaksanaan shalat jumat di rumah itu ditunaikan? Jawabannya menunggu putusan para ahli yang memberikan masukan kepada pihak berwenang untuk diumumkan bahwa pandemic global virus corona di Indonesia sudah tuntas.
Dengan tuntasnya penyebaran virus corona, maka kehidupan menjadi kembali ke situasi normal. Karena itu, berbagai tatacara kehidupan masyarakat pun kembali ke keadaan normal termasuk tatacara ibadah di tempat ibadah.
Argumentasi Naqli
Pendalilan secara naqli ini didasarkan pada fakta yang direkam oleh Muhammad bin Sa’ad bin Munayyi’ al-Hasyimi al-Bashri yang lebih dikenal dengan Ibnu Sa’ad dalam kitabnya ath-Thabaqat al-Kubra atau Tabaqat Ibn Sa’ad (2017/1438). Disebutkan bahwa dalam perjuangan dakwah Islam dikenal peristiwa Bai’at Akabah.
Pada Baiat Akabah ini, muncul seorang tokoh muda pilihan Nabi saw untuk memenuhi harapan para pelaku Bai’at Akabah Pertama. Pemuda ini bernama Mushab bin ‘Umair. Mushab bin ‘Umair tiba di Madinah dan tinggal di rumah As’ad bin Zurarah.
Mushab berdakwah melampaui amanat yang dipercayakan Rasulullah saw. Karena ia ajari para pemeluk Islam angkatan Akabah itu.
Ia pun mendatangi setiap rumah, bahkan setiap kabilah, dan mengajak mereka masuk Islam seraya membacakan Al-Qur’an. Dengan cara itu, satu dua pria masuk Islam hingga puncaknya gilirannya Islam diterima dengan baik oleh orang-orang Anshar. Baik di kota maupun di pelosok kampungnya.
Memperhatikan sedemikian pesatnya Islam berkembang di Yatsrib, Mush’ab pun berinisiatif untuk berkirim surat kepada Nabi saw untuk memohon izin Nabi saw menyelenggarakan shalat jumat. Nabi saw berikan izin untuk menunaikan shalat jumat bahkan memberikan pengarahan bagaimana shalat jumat itu diselenggarakan.
Nabi saw dalam suratnya berpesan: “Cermati pada hari jumat itu bagaimana orang-orang Yahudi menyiapkan peribadatan mereka untuk hari sabat. Saat matahari zawal bersegeralah, mendekat kepada Allah dengan tunaikan shalat Jumat dua rakaat dan sampaikan taushiyah khuthbah”.
Mush’ab bin Umair bersama sebelas orang sahabat Anshar menyelenggarakan shalat jumat di rumah Sa’ad bin Khaitsamah. Dalam teks aslinya, Muhammad bin Sa’ad bin Munayyi’ al-Hasyimi al-Bashri, menuliskannya sebagai berikut:
…لما انصرف أهل العقبة الأولى الأثناعشر وفشا الإسلام فى دور الأنصار أرسلت الأنصار رجالا الى رسول الله صلى الله عليه وسلم وكتبت إليه كتابا ابعث لنا رجلا يفقهنا فى الدين و يقرئنا فبعث إليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم مصعب بن عميرفقدم فنزل على أسعد بن زرارة وكان يأتي الأنصار في دورهم وقبائلهم فيدعوهم إلى الإسلام و يقرأ عليهم القرأن فيسلم الرجل والرجلان حتى ظهر الإسلام وفشا فى دور الأنصار كلها والعوالي, فكتب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم يستأذنه أن يجمع بهم فأذن له وكتب إليه “انظراليوم الذي يجهز فيه اليهود لسبتهم, فإذا زالت الشمس فازدلف إلى الله فيه بركعتين واخطب فيهم فجمع بهم مصعب بن عمير فى دار سعدبن خيثمة وهم اثنا عشر رجلا فهو أول من جمع فى الإسلام جمعة
Keterangan riwayat Ibnu Sa’ad di atas menegaskan: (1) tuntunan penyelenggaraan shalat jum’at di rumah; (2) shalat jum’at di rumah itu tetap dituntunkan disertai dengan khuthbah jum’at.
Penulis tidak sebutkan banyaknya jamaah yang berjumlah 12 orang sebagai ketentuan pemasti karena di hadis lain menyebutkan 40 orang. Ragam pandangan ulama tentang jumlah minimal jamaah untuk terselenggaranya shalat jumat. Imam Abu hanifah mensyaratkan minimal tiga orang makmum.
Sementara Imam Muhammad bin Idris asy-Syafii mensyaratkan minimal empat puluh orang. Pendapat ini diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Malik bin Anas membolehkan kurang dari empat puluh orang dengan asumsi jumlah itu bisa untuk mendirikan satu kampung dimana shalat jumat diselengarakan di sana.
Dalam pedapat penulis jumlah orang yang menjadi syarat terselengaranya shalat jumat itu dikembalikan pada jumlah minimal terselangaranya shalat berjamaah. Apalagi shalat jumat ini ditunaikan dalam situasi tidak normal dimana jumlah jamaah tidak lagi menjadi syarat krusial. Jika yang ada di rumah itu seorang ayah bersama seorang puteranya, maka sahlah shalat jum’at untuk diselengarakan.
Dengan demikian sang Ayah menjadi imam sekaligus khathib. Sementara sang anak bertugas menjadi muazin dan menyampaikan pemberitahuan iqamat, penyelenggaraan shalat jumat.
Semoga bermanfaat.