Masalah sunnah ghairu tasyri’iyyah bukanlah masalah kontroversial. Ini adalah masalah diskusi dalam disiplin ushul al-fiqh yang biasa saja. Nah, kalau saat ini ada yang sengaja “mempersoalkan,” barangkali bukan keliru memahami atau pemahamannya yang salah. Mungkin hanya sekedar “salah paham.”
Untuk mengurai kesalahpahaman tersebut dan membangun pengertian yang terbaik dari hati ke hati, perkenankan saya bercerita.
***
Berawal dari perbincangan dengan seorang kyai sepuh di lingkungan Nahdliyyin di Sumenep, jadilah tulisan ringan tentang “Sunnah” yang tampaknya jarang dipikirkan di lingkungan Muhammadiyah.
Sang kyai menuturkan, “Tidak semua Sunnah, harus diikuti; dikerjakan.” Bagi kami yang sudah bertahun-tahun membaca kitab-kitab ushul al-fiqh dan syariah, statement itu biasa saja. Tetapi bagi sebagian kalangan yang justru belajar ilmu alam, sains dan teknologi, bukan studi Islam atau hukum Islam, itu bisa membuat mereka terkaget-kaget.
Saya membuka pembicaraan, “Bukankah dalam perkara agama dan bahkan kehidupan secara umum, kita ini harus berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kyai? Sebagian yang lain menyebut, Al-Qur’an dan hadis?” Saya melanjutkan, “Bahkan di Muhammadiyah sendiri, terdapat kredo yang sudah tidak asing lagi: Al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah. Artinya, kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.”
Kawan saya yang kebetulan setelah lulus STM (Sekolah Teknik Menengah) kemudian menjadi sarjana matematika dan komputasi, berkomentar, “Kalau kita tidak mengikuti Sunnah, berarti kita tidak mengikuti Kanjeng Nabi? Lalu kalau bukan meneladani Nabi Muhammad Saw., siapa lagi yang bisa menjadi panutan kami?”
Sang Kyai, walau tetap berwajah ramah, namun sama sekali tidak tersenyum. Dahinya berkerut dan tampak setengah terpancing dengan ujaran kawan saya itu. Tetapi kemudian, ia menjelaskan, “Sebenarnya di antara para ulama, bersepakat bahwa sumber hukum yang paling utama (mashadir al-ahkam) di dalam hukum Islam adalah Al-Qur’an dan hadis.”
Menurutnya, “Hadis merupakan sumber utama setelah kitab suci umat Islam. Dan hadis, ada yang menyamakannya dengan Sunnah, ada pula yang membedakannya. Bagi yang menyamakan, yang dimaksud dengan hadis ini adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi (persetujuan beliau). Sementara yang membedakan, hadis dianggap bersifat konseptual dan teoretis, sedangkan Sunnah bersifat praktis.”
***
“Ketika hadis adalah bahan kajian, Sunnah merupakan teladan kenabian yang berfaedah ketika dipraktikkan. Di sebut Sunnah, karena teladan tersebut dipraktikkan terus-menerus, hingga pada akhirnya menjadi tradisi.” Lanjutnya.
“Tapi, apa yang membuat Sunnah tidak harus diikuti, Kyai?” Potong saya. “Iyah, betul. Apa dalilnya sehingga Kyai berkata begitu?” Tambah sahabat saya.
Sembari menyuguhkan kopi pahit nan gurih, Sang Kyai mulai tersenyum. Ia berkata, “Sunnah, sebagai tradisi, dibagi menjadi dua. Yakni yang bermuatan hukum (tasyri’iyyah) dan yang tidak (ghairu tasyri’iyyah). Disebut bermuatan hukum, apabila Sunnah yang dipraktikkan Muhammad berkaitan erat dengan masalah keyakinan dan ritual peribadatan (aqidah wa ibadah). Disebut tidak, karena cenderung tidak berhubungan dengan urusan kedua bidang tersebut.”
“Sebenarnya ada lima batas-batas Sunnah ghairu tasyri’iyyah. Pertama, yang berhubungan dengan masalah duniawi. Kedua, tentang eksistensi Muhammad sebagai manusia biasa. Ketiga, tentang posisi beliau sebagai orang Arab dan berkebudayaan Arab. Keempat, ada Sunnah tertentu yang bersifat ta’aquli (bisa dinalar secara rasional). Kelima, Sunnah tentang posisi Nabi sebagai komandan perang (yang berdimensi sosial dan politik).” Jelas Kyai, panjang lebar.
“Oh, saya ingat Kyai. Sebenarnya ada hadis yang menyebutkan bahwa, ‘Antum a’lamu bi umuri dunyakum’ (Engkau lebih mengetahui urusan duniamu). Apakah itu yang dimaksud, Kyai?” Tanya saya penasaran.
“Nah, betul. Sebenarnya, adakalanya bahwa Muhammad putra Abdillah berperan sebagai manusia biasa. Walaupun ma’shum (terjaga dari dosa), pernah keliru dan ditegur oleh malaikat atau oleh para sahabatnya. Kemudian, beliau sebagai orang Arab tentu berjubah panjang, bersurban (mungkin melindungi dari debu yang tertiup angin kencang di gurun), dan gemar menikmati buah kurma. Lalu dalam kasus dhihar misalnya, – terutama yang tertuang dalam QS Mujadalah – itu khas sekali sebagai bagian kebudayaan Arab masa lalu. Ada orang yang berkata, ‘Bagiku, engkau bak punggung ibuku’ (anti ‘alayya kadhihr ummiyyi).” Kata Kyai.
***
“Kalau Sunnah yang ta’aquli, bagaimana apabila berkaitan dengan masalah ibadah? Bukankah Sunnah ghairu tasyri’iyyah hanya berlaku pada perkara non-ibadah?” Tanya saya.
“Ada juga Sunnah yang tidak harus diikuti, tapi berkaitan dengan masalah ibadah. Contohnya, dalam bersuci, ketika harus menyikat gigi, tidak harus menggunakan siwak, tapi dengan pasta gigi. Lalu penentuan waktu shalat, tidak dengan melihat matahari, tapi cukup memperhatikan jam. Sementara itu teknik khutbah Jumat, tidak harus berbahasa Arab, tidak harus memakai tongkat dan boleh menggunakan sound-system. Zakat fitrah, tidak mesti menggunakan gandum atau kurma, tapi cukup dengan beras. Atau bahkan, untuk mempermudah, bisa melalui transfer bank. Di Muhammadiyah, bukankah penentuan satu Ramadhan maupun Syawal, melihat bulan dengan menggunakan ru’yat bi al-‘ilm (teropong satelit yang canggih; bukan mata telanjang)?” Jawab Sang Kyai.
“Kalau perkara perang, Kyai?” Tanya kawan saya.
“Ya, itu tentu berkaitan dengan perkara duniawi, politik dan bahkan kemahiran menyusun strategi. Jadi sebagai jenderal besar, Nabi Muhammad mengedepankan pentingnya pengetahuan dan informasi dari para penasihatnya (para sahabat).” Sang Kyai menjawab dengan cara yang semakin ringan dan tanpa beban.
“Wah, apakah ada contoh yang lain, Kyai?” Tanya kawan saya dengan hati yang lebih lega, karena mulai mampu menerima penjelasan.
Jawab Kyai, “Kalau yang lain, misalnya, ketika bersuci setelah buang air besar, tentu tidak harus memakai batu. Bisa dengan air atau tisu dan sanitizer. Kan sudah lebih hieginis di zaman modern ini. Agar tampak shaleh misalnya, tidak pula harus memperpanjang jenggot dan mencukur kumis. Lebih rapi dan bersih, lebih baik. Soal celana isbal (tidak melebihi mata kaki) khawatir sombong, itu juga bagian dari hal yang tidak harus diikuti. Yang penting kan, kita harus mampu menjaga hati.”
***
“Mohon maaf Kyai. Kalau boleh tahu, bagaimana Kyai memahami konsep-konsep rumit ini dengan enteng sekali? Setahu saya, masalah Sunnah ini bukanlah masalah yang gampang. Jadi, kitab-kitab apa saja yang Kyai baca?” Saya mengungkapkan rasa ingin tahu saya yang mulai tumbuh.
“Ya… meskipun saya ini Kyai kampung, dulu, selama saya belajar di Timur Tengah, saya gemar membaca buku-buku karangan Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Waliyullah al-Dihlawi dan bahkan Mahmoud Saltut. Kalau sekarang, saya lebih gemar membaca Al-Qur’an dan kitab-kitab hadis…” Jawab Sang Kyai.
Jadi, para pembaca yang budiman, sebenarnya ada jenis Sunnah yang tidak harus diikuti. Yakni, Sunnah ghairu tasyri’iyyah. Mudah-mudahan dengan membaca tulisan ini dan cerita perjalanan ilmu kami di Sumenep, Madura, tidak lagi menyebabkan salah paham. Wa Allahu a’lam bi al-shawwab.