Oleh: A.S. Rosyid
Sebentar lagi pemilu tiba. Sensasi pemilu tahun ini entah kenapa mengalahkan sensasi ketibaan bulan puasa yang juga tak lama lagi. Puasa adalah tentang menahan gerak, sedangkan politik, dengan segudang definisinya, mengajarkan sebaliknya: enggan melangkah berarti jauh-jauh jatah. Menahan gerak berarti kalah.
Tabiat kekuasaan cenderung korup, berbohong dan siap menduakan nurani demi mengamankan posisi. Pun, pepatah mulia di dunia politik berbunyi “tuntutlah kekuasaan sampai ke Cina”. Artinya, dalam pemilu tahun ini umat Islam patut bertanya: apa yang membuat umat Islam yakin kelompok yang dibelanya bersih dari tabiat korup? Adakah jaminan bahwa pilihan umat tidak menjadi senjata makan tuan?
Pertanyaan itu penting, karena di dalam lalu lintas percakapan politik umat Islam evaluasi kritis, jujur dan adil tidaklah berlaku. Politisi muslim pun menganggap naif moralitas saat semua orang sedang mencari menang. Maka wajar bila sebagian orang Islam jemu dan sumpek dengan dunia politik. Mereka lantas memilih berdiri di barisan golput. Sayang disayang, golput malah dikecam sebagai dosa.
Padahal kejemuan sebagian umat Islam pada politik bisa menjadi sebuah kekuatan. Dengan sedikit pijakan nalar, golput menjadi sesuatu yang bermanfaat, bahkan mencerahkan masyarakat. Berikut saya catat sejumlah alasan mengapa umat Islam juga boleh golput. Alasan disusun berdasarkan skala terendah.
Karena Umat Diharapkan Menjadi Pemilih Cerdas
Menjelang pemilu, umat kerap dinasehati: jadilah pemilih cerdas! Tapi mari bersepakat bahwa pesan utamanya bukan terletak di kata pemilih, melainkan di kata cerdas.
Kita bisa membuat penalaran kecil-kecilan yang jujur dan tidak naif. Capres tidak pernah sendirian. Di belakang capres ada pihak berkepentingan. Maka, ketika umat Islam memilih seorang capres, apakah suara mereka diserahkan kepada capres, atau kepada pihak berkepentingan? Bila nanti seorang capres menang, sesungguhnya ia merupakan kemenenangan rakyat atau kemenangan pihak berkepentingan? Bila ternyata jawabannya selalu yang kedua, artinya penguasa sesungguhnya bukanlah capres. Lantas untuk apa menyerahkan suara?
Golput diancam dosa dan dituduh pengecut oleh sejumlah elit. Namun alasannya selalu berbau normatif-diplomatis, bukan penalaran yang jujur dan kritis. Jangan-jangan para pengancam dan penuduh itu adalah influencer bagi pihak-pihak berkepentingan?
Karena Umat Diharapkan Terlibat Dalam Protest Vote
Umat Islam tidak boleh golput dalam pengertian non-voting behavior. Golput seyogianya mendorong umat terlibat dalam gerakan protest vote. Menjadi golput berarti melancarkan protes pada situasi bernegara yang tidak ideal, dan perkembangan politik yang tidak sehat. Menjadi golput berarti mengingatkan bahwa negara sudah terlalu lama tidak menanggulangi sejumlah persoalan lantaran sibuk berkoalisi mengamankan kekuasaan dan uang.
Sebab, negara hadir karena kesepakatan. Negara dimaksudkan untuk melayani kebutuhan rakyat, yang untuk itu butuh wewenang. Rakyat yang semula memiliki hak dan wewenang, menyerahkan wewenangnya pada negara, hingga yang tinggal adalah hak. Maka rakyat adalah subjek utama. Adalah hak rakyat untuk merasa jengah pada kualitas ‘calon-calon pelayan’ dan memutuskan tidak memilih. Meski tidak memilih, nantinya rakyat tetap harus dilayani, sebab demikianlah tugas negara.
Dalam hal ini, umat Islam acapkali gagal memahami kontrak negara dan rakyat. Akibatnya, ketika negara bertingkah seolah-olah wewenang mereka (baca: kuasa) diperoleh tanpa tujuan, umat tidak melihatnya sebagai kezaliman. Parpol-parpol berbau feodal juga tidak dilihat umat sebagai suatu ancaman. Sehingga, ketika umat ikut-ikut memposisikan tawaran program kerja calon pemimpin sebagai hadiah bagi pemilih, bukan pelayanan negara yang semestinya, harap maklum.
Harap maklum pula bila topik asal-usul dana kampanye absen dalam perbincangan politik. Apalagi, topik tentang berapa duit yang diraup oleh para bidak pemenangan. Bila perjuangan politik (yang idealis dalam jargon) ketahuan bermotif uang syubhat, parpol akan kehilangan pemilih. Kecuali bila sejak mula para pemilih memang lebih peduli pada duit, parpol akan anteng-anteng saja.
Karena Tidak Diajak
Inilah alasan untuk golput yang paling penting: tidak diajak. Saat rekan lain mendapatkan undangan untuk menggarap proyek pemenangan (yang menghasilkan duit, pastinya), kemudian hanya kita yang tidak diajak, itu bisa menjadi motivasi golput. Dalam hal ini, golput adalah mode ngambek. Aksi protesnya bisa dengan mendirikan situs radijak.id. Tapi saya enggan mengulasnya lebih jauh, takut dimarahi pemuka adat IBTimes, Mas Azaki Khoiruddin.
Akhirul kalam, tulisan ini tidak bermaksud menganjurkan umat Islam untuk golput. Tujuan tulisan ini tidaklah serius, meski beberapa hal di dalamnya patut direnungkan secara serius. Saya menulis dengan kejemuan akut karena melihat perpecahan kelewat batas di antara orang-orang yang saya kenal. Entah kenapa mereka berubah menjadi pemberang. Politik membuat hal-hal yang tidak wajib menjadi wajib, dan hal-hal yang semu menjadi sangat kongkret sebagai tujuan. Profesor bertingkah seperti anak SD, dan anak SD berbicara dengan lagak profesor hanya bermodalkan meme. Saya melihat kegilaan.
Sebagai warga Muhammadiyah, kegilaan itu saya lihat juga di antara para kakanda dan adinda. Meski dalam kasus Muhammadiyah, pertanyaan sederhana: “Mau dipimpin oleh NU (Jokowi) atau PKS (Prabowo)?” Pilihan yang sulit, karena keduanya adalah rival Muhammadiyah. Seandainya Presiden Jokowi berjodoh dengan Mahfud MD, tentu ceritanya agak sedikit lain. []