Saya mendarat di Pulau Siberut, Pelabuhan Maileppet, Kecamatan Siberut Selatan pada bulan Maret 2016. Menggunakan kapal cepat dari Pelabuhan Muara Padang, menempuh perjalanan 5 jam dari pelabuhan Muara Padang, sekitar 145 Km. Untuk sampai tempat tinggal saya di Dusun Buttui, Desa Madobag, masih harus menempuh perjalanan sungai menggunakan sampan kayu dengan mesin boat tempel 15 Pk sekitar lima jam.
Dusun Buttui adalah hutan, terletak di hulu sungai, terdapat beberapa rumah dinas sosial dari kayu, satu Gereja Katolik dengan taman kanak-kanak, satu masjid, dan satu Sekolah Dasar Negeri untuk kelas 1-3 SD. Saat itu masih jarang yang mau menempati rumah sosial, umumnya orang Buttui lebih senang tinggal di Uma (rumah adat), letaknya di tengah hutan lebih dalam.
Mentawai adalah lahan kajian menarik bagi peneliti dunia. Ketika di Buttui saya bertetangga dengan mahasiswa PhD asal Harvard, Amerika yang sedang penelitian. Sebagian dari hasil kajianya telah diterbitkan pada berbagai Jurnal, antara lain pada Jurnal Elsevier (Baca: Small Gods, Rituals, and Cooperation: The Mentawai Water Spirit Sikameinan).
Kepercayaan Asal Orang Mentawai
Pada dasarnya orang Mentawai telah menemukan “Tuhan”-nya sendiri melalui nalar dan pancaindra. Kehidupan yang bersumber dari hutan, sungai, dan lautan membentuk mereka pada kesimpulan bahwa tidak mungkin hutan dan alam yang ditempati ada begitu saja, tanpa keberadaan sang pencipta dan pemelihara (Taikamanua).
Dari nalar alamiah tersebut, orang Mentawai menemukan kesimpulan keberadaan “roh” yang lebih besar, berkuasa, dan memelihara alam yang mereka tempati sebagai sumber kehidupan.
Oleh karenanya, mereka harus berterima kasih kepada roh tersebut dengan memberikan sesembahan kepada roh yang senantiasa memelihara alam. Keyakinan dan ritual tersebut kemudian mereka sebut sebagai “Arat Sabulungan”.
Ada beberapa penjelasan akademis tentang Arat Sabulungan: Stefanos Coronese (1985) misionaris Italia menjelaskan Arat Sabulungan berasal dari tiga kata: Arat, Sa, dan Bulungan. Menurut Stefanos, Arat adalah adat dan kepercayaan. Sa artinya sekumpulan. Sedangkan Bulungan adalah dedaunan. Berarti Arat Sabulungan adalah sistem kepercayaan yang menjadi norma adat yang bersumber dari dedaunan.
Penjelasan Stefanos dikutip oleh beberapa penulis, antara lain: Herman Sihombing (1979) dan Bambang Rudito (2013). Penjelasan tersebut tidak sepenuhnya salah. Karena dalam prakteknya ritual yang dilakukan oleh Sikerei sebagai tokoh adat Mentawai banyak menggunakan perantara dedaunan.
Juniator Tulius (2012) antropolog asal Mentawai dalam disertasinya di Leiden membantah penjelasan tersebut. Kata Bulungan menurutnya bukan berasal dari kata Bulug yang berarti daun, namun berasal dari kata Bulu yang berarti roh. Jadi, Arat Sabulungan adalah sistem kepercayaan Mentawai untuk berinteraksi antara roh manusia (Simagere) dengan roh lain yang diyakini terdapat pada semua benda dan makhluk hidup melalui ritual persembahan.
Kristen Katolik dan Protestan
Secara kasat mata, Kristen adalah agama mayoritas di Mentawai, bahkan tanpa melihat data sensus. Jumlah rumah ibadah Kristen juga lebih banyak. Dalam beberapa catatan, Kristen pertama kali masuk ke Mentawai pada tahun 1901.
R.M.G (Reinise Zending Mission Geselschaft) tercatat pertama kali menyebarkan Kristen Protestan pada tahun 1901. Pada masa kemerdekaan pengkristenan dilanjutkan oleh Zending Batak, mulai berkembang pesat di Mentawai pada akhir tahun 1951. Reimar Schefold (1991) mencatat Kristen Protestan sebagai agama di Mentawai yang memiliki pengaruh besar dan jumlah penganut terbanyak.
Tetapi di Kecataman Siberut Selatan saya tidak banyak menjumpai Gereja Protestan. Justru paling banyak adalah Gereja Katolik. Di Muara Siberut saya menjumpai komplek kepastoran Katolik yang luas, lengkap dengan sekolah dan asrama untuk siswa dan siswi.
Dari cerita Bajak Gereja (Tokoh Gereja), Katolik mulai disebarkan pada tahun 1953, melalui misionaris Xaverian. Pastor Canizzaro dan Pastor Angelo Calvi, SX, mulai menetap di Siberut pada tahun 1954, dan pada tahun yang sama mulai mendirikan Gereja Katolik di Muara Siberut.
Ketika saya tinggal di Desa Madobag, saya berteman dengan Pendeta Protestan di Dusun Ugai. Dia adalah orang pertama yang membangun Gereja Protestan di Ugai, dan adalah minoritas diantara mayoritas Katolik yang ada. Pembangunan Gereja di belakang rumahnya tidak berjalan mudah, banyak penolakan yang dialami.
Protestan adalah aliran Kristen baru di Madobag, tokoh Katolik tidak mudah menerima keberadaanya. Berbagai faktor menjadi latar belakang penolakan tersebut, tidak hanya soal akidah, tetapi dominasi Suku Marga Mentawai tertentu dan kecemburuan ekonomi yang nampak lebih kentara. Saat itu, gereja Protestan tersebut memiliki sekitar 10 jamaah, mayoritas adalah keluarga Pendeta. Pendeta Protestan ini paling akrab dengan komunitas agama paling baru di Madobag, yaitu Islam.
Islam di Madobag, Mentawai
Ketika sampai di Madobag saya menjumpai 1 Masjid, yaitu di Dusun Buttui. Masjid tersebut sudah digunakan meskipun masih dalam tahap pembangunan. Dibangun oleh Yayasan Aksi Peduli Bangsa Jakarta. Pendirian masjid tersebut adalah upaya memfasilitasi orang Buttui yang telah masuk Islam pada tahun 2014, mayoritas berasal dari Suku Marga Sabittliake.
Menurut kepala Suku Sabittliake saat itu, ia dan beberapa anggota keluarga berangkat ke Islamic Centre Siberut, di pusat Kecamatan Siberut Selatan dan meminta “diislamkan”. Tidak jelas penyebab pasti mereka masuk Islam. Tetapi dari hasil diskusi saya dengan beberapa tokoh, ada yang menuturkan bahwa keinginan untuk mencari agama baru adalah akibat perselisihan antar Suku Marga Sabittilake dengan Suku Marga lain, di mana Suku Marga lain tersebut memiliki dominasi di dalam Gereja Katolik.
Sebagain tokoh menjelaskan bahwa penyebab mereka masuk Islam bukan karena faktor perselisihan di gereja. Tetapi lebih kepada pemahaman. Pada dasarnya mereka tidak paham dengan agama yang telah mereka anut. Karena agama hanya ada dalam kolom Kartu Tanda Penduduk, sebagai akibat dari KTP-nisasi yang terjadi di Buttui, dan mereka dipilihkan agama tersebut. Padahal pada dasaranya mereka penganut Arat Sabulungan.
***
Ada banyak cerita tentang bagaimana orang Mentawai masuk Islam, namun jika dirincikan secara singkat, sebagai berikut:
- Faktor Perkawinan
Umumnya orang Mentawai (pria dan wanita) menjadi Islam setelah menikah dengan orang Minang yang tinggal di daerah pesisir, pusat Kecamatan Siberut Selatan. Tetapi pada kasus perempuan mentawai, banyak kasus yang saya jumpai mereka bisa pindah dengan mudah ke agama lain setelah bercerai dan menikah dengan pria dari agama lain.
- Faktor Ekonomi
Orang mentawai bisa tertarik dengan agama Islam karena seringnya bantuan yang dikucurkan oleh beberapa organisasi berbasis Islam, seperti pembagian daging kurban, sembako, pakaian bekas, dan peralatan sekolah untuk anak-anak.
- Faktor Pendidikan
Beberapa organisasi Islam menawarkan beasiswa pendidikan, baik untuk sekolah di Pulau Sumatra atau Jawa. Akses pendidikan tersebut membuat mereka tertarik mendaftarkan anak mereka mengikuti program beasiswa tersebut, meskipun pada akhirnya memeluk Islam.
Editor: Yahya FR
Terimakasih sdh berbagi catatan
Tadi bahas kenapa orang Katholik bisa pindah ke agama islam? Salah satu alasannya Faktor Ekonomi krn sering dikasih bantuan kurban pendidikan gratis dan lain2. Saya rasa alasan inibtidak tepat karena setahu saya dimana2pun Agama Katholik lebih banyak memberi babtuan kepada Umat Manuasia dala. Arti bukan hanya Penganut Katholik saja. Mulai dari Sandang, Pangan dan Papan terkhusus Pendidikan. Itu lah kenyataan dan relaita dari salah satu Visi dan Misi Katholik…paham!!!