Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis tentang model-model khilafah di dunia Islam. Setelah cukup lama berpikir tentang apa yang harus saya tulis, akhirnya muncul dua gagasan: tentang model-model khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, dan aneka ragam tafsir akan makna khilafah dalam dunia Islam.
Kedua-duanya menantang dan sama-sama penting. Ketika pada akhirnya saya memilih untuk menulis gagasan kedua, itu dilandasi berbagai pertimbangan. Di antaranya adalah bahwa studi tentang model-model khilafah sebagai sistem pemerintahan dalam dunia Islam memerlukan waktu yang cukup panjang, karena hakikat dari sistem pemerintahan yang teramat kompleks. Tak hanya kompleks, tetapi juga dinamis, lantara sistem pemerintahan senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman.
Di samping itu, studi tentang khilafah sebagai sistem pemerintahan akan melibatkan data-data sejarah yang sangat luas, sehingga untuk mencapai analisis yang memadai diperlukan studi yang mendalam dan waktu lama.
Sembari menyimpan keinginan untuk melakukan studi yang mendalam pada tema di atas di masa mendatang, dalam tulisan ini, secara singkat saya akan membahas tentang tiga makna khilafah yang berkembang dalam dunia Islam, sejauh yang saya pahami dan ketahui. Tujuannya adalah agar dalam memahami istilah ini, kita memiliki perspektif yang beragam. Sebuah istilah ilmiah selalu memiliki konotasi generik dan teknis. Demikian pula dengan khilafah.
Tiga konteks khilafah itu adalah: a) Khilafah Universal, yakni khilafah sebagai tugas kemanusiaan, b) Khilafah Politik, yakni khilafah sebagai sistem pemerintahan; dan c) Khilafah Spiritual, yakni khilafah sebagai sistem kepemimpinan umat.
Khilafah Universal
Dalam maknanya yang generik, khilafah merupakan tugas kemanusiaan yang paling asasi. Meskipun demikian, penafsiran tentang istilah khilafah ini tidak tunggal. Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, menilai khilafah dalam arti ini adalah fungsi yang diemban manusia berdasarkan amanat yang diterima.
Amanat itu adalah mengelola bumi dengan bertanggung jawab melalui penggunaan akal. Pengelolaan bumi, atau tepatnya lagi alam semesta, merupakan misi utama penciptaan manusia. Karena itu, dalam tugas mengemban khilafah universal ini, sesungguhnya terdapat tugas lain yang jauh lebih fundamental yaitu ishlah (memperbaiki) dan mizan (menyeimbangkan).
Dalam sebuah diskusi daring, Din Syamsuddin menyebutkan hubungan antara khilafah dengan ishlah. Menurutnya, ayat-ayat tentang penciptaan manusia sebagai khilafah di muka bumi didahului oleh ayat-ayat tentang ishlah. Menurut Din, ini menunjukkan bahwa fungsi ishlah tidak bisa dipisahkan dari khilafah universal kemanusiaan.
Di samping itu, khilafah universal kemanusiaan juga mengemban misi penegak mizan, yakni keseimbangan alam semesta. Perintah Allah dalam Surah ar-Rahman ayat 7-9: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”
Tugas sebagai pemangku keseimbangan dunia atau alam semesta ini, memiliki hubungan erat dengan manusia sebagai pembawa misi ishlah tadi. Karena jika manusia gagal menjalankan misi sebagai penegak keseimbangan alam semesta ini, maka kerusakan alam semesta akan nyata.
***
Di samping itu, di dalam Surah al-An’am ayat 165 juga disebutkan tentang tujuan lain dari misi khilafah universal ini, yakni menyebutkan tentang misi penciptaan manusia sebagai khilafah ini.
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Muhammad Ali dalam tafsir The Holy Qur’an, menegaskan bahwa ayat ini merupakan isyarat bahwa umat Islam akan menjadi penguasa-penguasa di muka bumi.
Meskipun khilafah dalam makna generik ini tidak secara langsung berhubungan dengan politik, sesungguhnya dimensi politik tidak terlepas darinya. Kepemimpinan adalah fungsi politik. Maka ketika manusia menerima amanah sebagai pemimpin di muka bumi ini, sesungguhnya pada saat itu juga manusia menerima untuk menjalankan fungsi siyasah.
Khilafah Politik
Dengan demikian, maka khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan atau aktivitas politik tidak dapat dipisahkan dari khilafah dalam arti universal tersebut. Ini karena untuk mewujudkan misi sebagaimana di atas, maka diperlukan otoritas. Sementara dalam dunia modern, kita semua mengetahui bahwa otoritas adalah bagian dari dunia politik. Sehingga membicarakan khilafah dalam konteks politik juga merupakan hal yang tak kalah menariknya.
Di muka, saya telah menyinggung tentang makna generik dan teknis dari sebuah istilah. Maka, salah satu makna teknis khilafah dapat kita temukan pada bidang politik ini. Salah satu pemikir yang menunjukkan kecenderungan ini adalah Dhiya’uddin Rais, melalui karyanya al-Nadzariyyah al-Siyasiyyah fi al-Islam.
Meskipun secara umum khilafah merujuk kepada sistem pemerintahan dalam Islam, sebagaimana konteks pertama, khilafah dalam arti ini pun tidak mengandung penafsiran atau bentuk yang tunggal. Sebagai sebuah sistem pemerintahan, khilafah bermula pada saat Nabi Muhammad wafat. Hampir semua data sejarah menyepakati bahwa Nabi Muhammad tidak menunjuk secara eksplisit siapa yang akan menjadi penggantinya (khalifah).
***
Namun kesepakatan pada fakta ini tidak serta merta tercermin dalam penafsiran sejarawan terhadap apa yang seharusnya terjadi. Sebagian menyebut bahwa memang Abu Bakar yang dikehendaki oleh Nabi Muhammad SAW sebagai penggantinya. Dasar yang digunakan oleh pendukung fakta ini adalah bahwa Rasulullah sering meminta Abu Bakar menjadi imam shalat menggantikan Rasulullah saat beliau berhalangan.
Atas dasar ini, dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa Umar ibn Khattab berkata: “Tidakkah kalian ridha kepada Abu Bakar untuk urusan dunia, padahal Rasulullah SAW telah ridha kepada Abu Bakar dalam urusan agama kalian?”
Sementara pandangan lain menyebutkan bahwa sebenarnya Ali bin Abi Thalib adalah pribadi yang diinginkan oleh Rasulullah untuk menjadi pengganti beliau. Dasar yang sering digunakan oleh pendukung pandangan ini adalah peristiwa Ghadir Khum.
Saat pulang dari Haji Wada’, rombongan Nabi Muhammad beristirahat di sebuah tempat antara Makkah dan Madinah yang bernama Ghadir Khum. Pada saat beristirahat itu, Nabi Muhammad bersabda sambil mengangkat tangan Ali dengan tangan beliau: man kuntu mawlahu fa-ali mawlahu (barangsiapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah juga pemimpinnya).
***
Maka wajar ketika kini khilafah kembali dihadirkan sebagai sistem pemerintahan Islam yang dianggap paling ideal, meskipun hal tersebut ternyata tidak mudah disepakati oleh umat Islam. Bahkan hal-hal mendasar menyangkut khilafah inipun masih merupakan topik kontroversial. Misalnya, tentang kewajiban mendirikan khilafah.
Dalam hal ini, Hizbut Tahrir, baik Hizbut Tahrir global maupun Hizbut Tahrir Indonesia sama-sama meyakini bahwa mendirikan khilafah adalah kewajiban bagi semua umat Islam. Sementara kalangan Muslim lainnya menganggap khilafah adalah bagian dari persoalan yang berdimensi siyasah dan muamalah dunyawiyah yang tidak harus diikuti secara kaku.
Karena hakikat ini, maka Islam tidak pernah memutlakkan bentuk negara dan pemerintahan. Perdebatan akan semakin tajam dan kompleks manakala mengemuka pertanyaan manakah di antara sistem khilafah itu yang benar-benar mencerminkan ajaran Islam dan karena itu lalu menjadi wajib?
Sejarah mengenal masa khilafah al-khulafa al-rasyidun yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai representasi sistem khalifah yang paling otentik. Sementara khilafah-khilafah dunia Islam berikutnya lebih sering dianggap sebagai deviasi atau derivasi dari sistem khilafah awal itu karena pada masa-masa berikutnya yang terjadi adalah sistem kekuasaan dinasti yang dalam banyak hal melupakan unsur-unsur meritokratis.
Khilafah Spiritual
Di luar dua makna di atas, rupanya Ahmadiyah, sebuah aliran Islam yang lahir di Qadian, India; mengembangkan sebuah makna khas khilafah, bukan sebagai sistem pemerintahan atau bentuk negara, melainkan khilafah dalam makna kepemimpinan spiritual. Pada tahun 2012, saya melakukan penelitian tentang Ahmadiyah. Sebagai bagian dari penelitian itu, saya berkunjung ke Tasikmalaya dan Garut, di mana komunitas Ahmadiyah cukup besar.
Pada suatu malam, seorang pemimpin Ahmadiyah di Garut yang menjadi salah satu narasumber penelitian saya, mengundang saya menghadiri sebuah acara penting. Saya tidak tahu persis apa kegiatan itu. Tiba di sebuah kawasan di pusat kota Garut, saya diajak memasuki sebuah masjid yang seluruh kompleksnya tertutup dengan seng warna hijau.
Memasuki ruang utama masjid, saya menyaksikan sekitar 150-an orang berkumpul. Ada acara penting malam itu. Setelah mengikuti dengan seksama, rupanya malam itu komunitas Ahmadiyah di Garut sedang memperingati kelahiran khilafah. Pengalaman ini memberikan saya sebuah pengalaman baru tentang makna lain khilafah.
Bagi Ahmadiyah, khilafah adalah kepemimpinan spiritual. Maka khalifah bagi komunitas Ahmadiyah pada tingkat global adalah satu. Terlepas dari fakta bahwa anggota Ahmadiyah tersebar di berbagai penjuru dunia dan mereka mengakui sebagai warga di negara tempat mereka semua berdiam, mereka memiliki kepatuhan kepada khalifah global mereka tersebut.
Dalam konteks inilah, komunitas Ahmadiyah mengembangkan satu makna khas khilafah sebagai kepemimpinan spiritual dalam bidang agama, dan bukan dalam konteks politik. Karena itu, pada pengamat pada umumnya merujuk khilafah Ahmadiyah ini sebagai non-political caliphate. Khalifah pertama dalam komunitas Ahmadiyah adalah pemimpin yang menggantikan Ghulam Ahmad setelah ia meninggal. Saat ini, khalifah Ahmadiyah global adalah Mirza Masroor Ahmad yang saat ini berdiam di London.
***
Secara pribadi, saya menyimpan harapan untuk bisa melanjutkan penelitian tentang model-model khilafah ini secara lebih serius dan mendalam. Tiga makna khilafah di atas sebenarnya saling berhubungan dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Untuk menjalankan fungsi khilafah dalam arti sebagai wakil Allah di muka bumi ini, manusia memerlukan perangkat politik. Terlebih di tengah situasi ketika masyarakat dunia terbagi ke dalam unit-unit politik seperti negara; agaknya mustahil menegakkan misi khilafah universal tanpa perangkat politik.
Namun, apakah perangkat politik yang dimaksudkan itu adalah sistem negara Islam dan khilafah dalam arti yang sangat sempit dan teknis, saya meragukan hal tersebut. Jika makna pemerintahan Islam adalah mengambil bentuk khusus pemerintahan sebagaimana diajarkan oleh Islam, maka mencapai titik kesepakatan akan bentuk itu pastilah teramat sulit.
Tetapi jika yang dimaknai sebagai sistem pemerintahan Islam adalah implementasi nilai-nilai Islam dalam konteks kehidupan bernegara dan bermasyarakat di mana saja berada, maka peluangnya akan lebih besar. Di samping itu, perujukan “pemerintahan” dalam makna seperti ini akan semakin mendekatkan diri pada implementasi misi penciptaan manusia sebagai pemegang khilafah universal di alam semesta.