Kaum muslimin, bulan Ramadhan ini merupakan salah satu bulan yang mulia bagi umat Islam. Kemuliaan tersebut dikarenakan pada bulan ini perbuatan baik Allah lipatgandakan pahalanya, dan pintu maghfirah (ampunan) Allah buka selebar lebarnya.
Nabi Muhammad menyebut bulan ini sebagai sayyidusy syuhuur (penghulu segala bulan), beliau bersabda: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, sayyidusy syuhur. Maka selamat datanglah kepadanya. Telah datang bulan puasa membawa segala rupa keberkahan. Maka alangkah mulianya tamu yang datang itu”. (HR. Ath-Thabrani).
Kemuliaan dan Keberkahan Ramadhan tidak hanya meliputi amaliyah ibadah pada aspek individu saja. Bulan Ramadhan juga menunjukan kemuliaannya dalam aspek sosial-masyarakat. Secara historis, banyak perjuangan dan peristiwa besar yang terjadi bertepatan dengan bulan ramadhan. Namun, jejak perjuangan tersebut ‘jarang’ dibahas, terkhusus pada bulan Ramadhan ini.
Keutamaan Membaca Sejarah
Membicarakan sejarah juga sama pentingnya seperti membicarakan masalah-masalah fikih. Bahkan, Imam Abu hanifah lebih menyukai kisah kisah sejarah daripada masalah fikih. Ia pernah berkata, “Kisah kisah (keteladanan) dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai daripada kebanyakan (masalah-masalah) fikih, karena kisah kisah tersebut berisi adab dan tingkah laku mereka untuk diteladani” (Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi, I/509 no.819)
Namun, sering kali membaca sejarah menjadi ketakutan, terkhusus ketika membaca sejarah Islam. Ketakutan timbul dikarenakan adanya fenomena gerakan Islam radikal. Sebenarnya, membaca sejarah kejayaan Islam bukan bentuk dari menyebarkan ketakutan atau radikalisme. Namun, hal tersebut bertujuan untuk mengambil ibrah (pelajaran) dari sejarah yang ada.
Keutamaan membaca, memahami sejarah juga Allah tekankan pada QS. Yusuf ayat 111 yaitu:
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi ‘alaihis salam dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat). Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”.
Menurut Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah, Sesungguhnya pada kisah kisah mereka itu, terdapat pelajaran bagi orang orang yang memiliki akal, petunjuk yang membebaskan seseorang dari kebodohan dan kebingungan. Di ayat tersebut, Allah mengingatkan bahwa kisah sejarah para nabi dan rasul itu terkandung pelajaran (hikmah), petunjuk dan pesan yang perlu dihayati oleh manusia.
Peristiwa Besar yang bertepatan pada Bulan Ramadhan
Sebetulnya, banyak perjuangan dan peristiwa besar terjadi bertepatan pada bulan ramadhan. Berikut ini, beberapa uraian peristiwa sejarah perjuangan yang terjadi pada saat bulan yang mulia, penuh berkah dan karunia-Nya.
Pertama, Peperangan Waq’atul Badar (Perang Badar). Terjadi pada 17 Ramadhan 2 H. Perang ini merupakan salah satu perang besar dan menandai awal kejayaan islam ini. Salah satu perang heroik dengan strategi yang tersusun rapi. Saat itu, jumlah pasukan muslimin saat itu hanya 313, sedangkan musuhnya yakni pasukan kafir quraisy berjumlah 900-1000 pasukan.
Secara logika matematis, kaum muslimin akan terprediksi kalah. Namun, Allah menangkan kaum muslimin, berkat kedisiplinan, konsistensi, bantuan dari Malaikat (berdasarkan riwayat).
Pada perang ini, kaum muslimin berhasil menghancurkan barisan pertahanan Quraisy, dan menewaskan salah satu pemimpin penting mereka yang menjadi simbol kejahiliyanan dan penindasan yakni, Abu Jahal alias Amr Bin Hisyam.
Sebelum perang, Sebenarnya Nabi Muhammad merasa cemas dan khawatir. Beliau khawatir akan keteguhan dan kesetiaan kaum muslimin. Selain itu yang dihadapi mereka adalah pasukan yang berjumlah besar, bukan kafilah dagang biasa. Namun kemudian, Nabi dikuatkan oleh komandan Pasukan Muhajirin, yakni Abu bakar dan Umar bin Khattab yang meminta untuk terus maju dan tidak mengendor.
Mereka berdiskusi untuk menentukan dua pilihan (1) melanjutkan perang apapun kondisinya (2) kembali ke Madinah. Diskusi tersebut, diakhiri oleh tindakan heroik komandan kaum Anshar, Saad bin Muadz untuk meyakinkan Nabi Muhammad Saw:
“Kami telah beriman kepada Anda. Kami telah membenarkan Anda. Andaikan Anda bersama kami terhalang lautan lalu Anda terjun ke dalam lautan itu, kami pun akan terjun bersama Anda….” Sa’ad radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan, “Boleh jadi Anda khawatir, jangan-jangan kaum Anshar tidak mau menolong Anda kecuali di perkampungan mereka (Madinah). Sesungguhnya aku berbicara dan memberi jawaban atas nama orang-orang anshar. Maka dari itu, majulah seperti yang Anda kehendaki….”
Kedua, Fathu Makkah (Proses Pembebasan Kota Mekkah). Peristiwa tersebut terjadi pada 20 Ramadhan 8 H. Perang ini terjadi dikarenakan kaum kafir quraisy melanggar perjanjian hudaibiyah, yang telah disepakati sebelumnya oleh kaum muslimin dan kaum kafir quraisy pada tahun 6 H.
Di perang ini, Nabi Muhammad Saw lebih siap, dan membawa sekitar sepuluh ribu sahabatnya yang siap berperang. Rasulullah Saw berpesan kepada mereka, menggunakan prinsip untuk tidak menyerang sebelum mereka diserang terlebih dahulu oleh kaum kafir quraisy.
Pada peristiwa ini, ada peristiwa menarik ketika Nabi Muhammad berhasil memasuki kawasan Kabbah. Beliau melakukan tawaf dan membacakan firman Allah, “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Qs. Al-Isra’: 81)
Ketiga, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Peristiwa tersebut bertepatan pada tanggal 9 Ramadhan 1364 H. Peristiwa besar bertepatan dengan bulan Ramadhan juga pernah terjadi di Indonesia. Peristiwa yang paling bersejarah tersebut, yakni Proklamasi kemerdekaan.
Pada saat itu umat Islam bergembira, tidak hanya bergembira karena datangnya bulan Ramadhan. Namun juga, bergembira atas pernyataan merdeka yang menandakan lepasnya penjajahan dari bumi Indonesia.
Dalam buku autobiografi Sukarno yang ditulis Cindy Adam. Bung karno itu, mempunyai kecenderungan dengan hal-hal mistik. Menurutnya, Al Quran diturunkan tanggal 17 dan orang Islam bersembahyang 17 rakaat. Sehingga membacakan teks proklamasi pada tanggal 17 Agustus dinilai menjadi sesuatu yang tepat, suci dan sakral.
Sebenarnya, Soekarno, Hatta dan golongan tua memilih untuk menunggu penyerahan kekuasaan pemerintah dari Jepang kepada Indonesia, karena minim resiko. Dikatakan utusan Indonesia akan menerima kemerdekaan di Tokyo. Namun, karena situasi di Tokyo tidak aman, akhirnya dipindah ke Dalat Vietnam.
Kepergian Soekarno, Hatta, dan golongan tua tidak mendapat respon yang baik oleh pemuda. Bagi mereka, Kemerdekaan harus diproklamasikan sendiri, bukan menunggu sebagai hadiah. Sebelumnya, para pemuda antara lain; Sukarni, Chaerul Saleh, B.M Diah dkk. melakukan pertemuan dengan Ilyas Hussein (a.k.a Tan Malaka) untuk membahas perihal kemerdekaan dan desakan untuk segera dilakukannya proklamasi.
Rapat pemuda perihal kemerdekaan mengerucut menjadi satu aksi konkrit yang dilakukan Sukarni. Jam tiga pagi, 8 Ramadhan 1364 H. Sukarno yang kala itu sedang menyantap makanan sahur dikagetkan oleh Sukarni pemuda berseragam PETA yang menyelinap masuk dan menodongkan pistol.
Sukarni penuh keberanian dan mengambil keputusan penting dalam sejarah yang menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Singkatnya, setelah diskusi panjang, Soekarno-Hatta setuju dengan ide pemuda untuk menyegerakan proses proklamasi. Lalu, dibuatlah teks proklamasi. Kemudian, teks proklamasi diketik oleh Sayuti Melik sembari makan sahur.
Selanjutnya, 9 Ramadhan 1364 H pada proklamasi dibacakan oleh Soekarno-Hatta. Tentunya, tidak lepas perjuangan rakyat yang telah lampau. Diskusi dan perbedaan pendapat yang panjang antar para pejuang juga turut mewarnai, yang akhirnya muara dari perjuangan tersebut adalah proklamasi kemerdekaan.
Pada contoh rangkaian rangkaian peristiwa di atas terdapat ibrah pelajaran, petunjuk serta pesan perjuangan yang dapat diteladani. Maka, Jadikanlah Ramadhan bukan hanya belajar dan menyempurnakan ibadah praktis, namun juga diimbangi dengan kemauan untuk menghayati, membaca dan berdialog dengan sejarah. Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor: Soleh