Shalat jamak adalah melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu. Shalat yang boleh dijamak adalah semua shalat fardhu (wajib lima waktu) kecuali shalat subuh. Shalat subuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijamak dengan shalat Isya’ atau shalat Dzuhur.
Dalil dibolehkannya menjamak shalat adalah hadis riwayat Anas RA:
“Rasulullah apabila ia bepergian sebelum matahari tergelincir, maka ia mengakhirkan shalat Dzuhur sampai waktu Ashar, kemudian ia berhenti lalu menjamak antara dua shalat tersebut, tetapi apabila Matahari telah tergelincir (sudah masuk waktu Dzuhur) sebelum ia pergi, maka ia melakukan shalat Dzuhur (dahulu) kemudian beliau naik kendaraan (berangkat)”. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadis ini shalat jamak dapat dilaksanakan dengan dua cara:
Pertama, Jamak Takdim (jamak yang didahulukan), yakni menjamak dua shalat yang dilaksanakan pada waktu yang pertama. Misalnya menjamak shalat Dzuhur dengan Ashar, dikerjakan pada waktu Dzuhur atau menjamak shalat Maghrib dengan Isyak dilaksanakan pada waktu Maghrib.
Kedua, Jamak Takhir (jamak yang diakhirkan), yakni menjamak dua shalat yang dilaksanakan pada waktu yang kedua. Misalnya menjamak shalat Dzuhur dengan Ashar, dikerjakan pada waktu Ashar atau menjamak shalat Maghrib dengan Isyak dilaksanakan pada waktu Isyak.
Pada dasarnya shalat jamak adalah sebuah rukhsah atau keringanan dalam melaksanakan kewajiban shalat karena ada alasan (udzur) tertentu. Biasanya orang memahami kebolehan shalat jamak adalah karena bepergian (safar). Padahal, alasan menjamak shalat tidak hanya karena bepergian. Setidaknya ada tiga alasan:
1. Safar (bepergian)
Berdasarkan hadis di atas riwayat Anas RA, juga hadis riwayat Muadz bin Jabal RA: “Adalah (Nabi SAW ketika safar) apabila Matahari sudah tergelincir dan beliau masih di rumah, maka beliau menjamak shalat Dzuhur dan ashar sebelum naik (kendaraannya). Akan tetapi bila Matahari belum tergelincir ketika beliau di rumah, beliau berjalan hingga mendekati waktu Ashar, lalu beliau turun (dari kendaraannya), lalu menjamak shalat Dhuhur dan Ashar. Apabila ketika di rumah sudah mendekati waktu Maghrib, maka beliau menjamaknya dengan Isyak, dan apabila maghrib masih lama, ketika beliau di rumah, beliau naik (kendaraannya) hingga mendekati Isyak, beliau turun lalu menjamak shalat keduanya”. (H.R. Al-Baihaqi).
2. Turun Hujan
Berdasarkan hadis Nabi SAW dari Ibnu Abbas RA: “Sesungguhnya Nabi SAW shalat di Madinah 7 rakaat dan 8 rakaat, yaitu (menggabungkan) Dzuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isyak. Ayyub berkata: mungkin karena malam hujan” (H.R. Al-Bukhari).
3. Masyaqqah (kesulitan)
Berdasarkan riwayat Ibnu Abbas RA: Rasulullah SAW shalat Dhuhur dan Ashar di Madinah secara jamak, bukan karena takut dan juga bukan dalam perjalanan. Berkata Abu Zubair: saya bertanya kepada Sa’id; Mengapa beliau berbuat demikian? Kemudian ia berkata; Saya bertanya kepada Ibnu’ Abbas sebagaimana engkau bertanya kepadaku: Kemudian Ibnu ‘Abbas berkata: Beliau menghendaki agar tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya”, (H.R. Muslim).
Berdasarkan dasar-dasar hadis di atas, setidaknya ada tiga alasan yang menyebabkan shalat boleh dijamak, yaitu bepergian, takut, dan hujan. Sedangkan qashar saja dapat dilaksanakan jika alasan bepergian. Jika tidak ada suatu alasan tertentu, maka shalat dilaksanakan sesuai dengan tata caranya dan sesuai waktunya. Jika dirasa melaksanakan shalat secara normal (sesuai waktu dan jumlah rakaatnya) tidak memberatkan, maka tidak mengerjakan secara jamak dan qashar diperbolehkan.
Pewarta: Azaki
Editor: Soleh