Dewasa ini isu toleransi dan radikalisme kembali hangat. Kadang, isu ini membuat sebagian orang menjadi alergi bila melihat sebuah perbedaan. Namun nampaknya saya akan pikir-pikir lagi kalau ikutan alergi, wong saya ini adalah hasil kolaborasi dari keberagaman. Hasil tersebut merupakan mahakarya dari kedua orang tua saya yang berbeda, yaitu dari ayah saya yang seorang pria dan dari ibu saya yang seorang wanita.
Sudah seyogyanya manusia agar bisa hidup rukun dalam perbedaan. Karena manusia kalau menurut Aristoteles merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan peran serta dari manusia lainnya.
Dalam NKRI, seharusnya perbedaan sudah menjadi sebuah hal yang lumrah. Karena Indonesia merupakan negara yang menganut ideologi Pancasila. Ideologi yang berasal dari intisari kemajemukan masyarakat yang terpatri dalam kekayaan budaya, suku, ras, dan, agama bangsa.
Toleransi, Radikalisme, dan Sikap Kita
Sebagai seorang muslim yang baik, seharusnya bisa berlaku toleran kepada umat beragama lainnya. Dalam perkataan yang sudah sangat mahsyur, yang perkataan ini berasal dari firman Allah pada Quran Surah Al–Kafirun ayat 6 yang artinya “Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku” dengan mengacu pada ayat tersebut saja, sudah sepatutnya kita bersikap “yowes nafsi nafsi saja” pada perbedaan.
Bila berkaca pada masa lalu, pada zaman Rasulullah beliau membuat sebuah tatanan masyarakat yang zaman sekarang disebut masyarakat madani. Kalau kata Nurcholish Madjid masyarakat madani merupakan masyarakat yang merujuk pada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad SAW di Madinah.
Tatanan masyarakat madani merupakan role model masyarakat inklusif. Karena pada zaman ini, dibawah kepemimpinan Rasulullah pluralitas agama dan pluralitas etnis tetap terjaga. Rasullullah tanpa pandang bulu tetap menjaga dan melindungi hak penduduk Nasrani dan Yahudi. Ingat pluralitas ya bukan pluralisme, nanti artinya bakal berbeda kalau pluralisme hehe.
Dari keteladan Rasulullah tersebut apakah ada yang menerangkan bahwa islam dan tatanan masyarakatnya yang berbau Islam itu memiliki tipikal radikal dan intoleran? Lalu bagaimana dengan akhir akhir ini dengan merebaknya isu intoleran dan radikalisme yang disematkan kepada umat islam, apakah itu hanya sebuah stigma buruk yang dibangun untuk memperburuk citra islam? Ataukah ada motif terselubung dibelakangnya? Entahlah.
Terlalu naif jikalau terlalu cepat menyimpulkan, yang jelas Islam bukanlah ancaman bagi pluralitas, kebhinekaan, atau kelompok minoritas sekalipun. Jadi yang sebenarnya sedang terjadi sebuah upaya untuk deradikalisasi atau deislamisasi?
Kata Menteri Agama yang Menimbulkan Tanda Tanya
Bagaikan orang yang memancing ikan di air keruh, njelimetnya isu toleransi dan radikalisme diperkeruh dengan pernyataan dari yang tercinta Bapak Menteri Agama. Beliau berkata bahwa paham radikalisme ini di bawa oleh orang-orang yang good looking.
Dalam webinar bertajuk “Strategi Menangkal Radikalisme” yang disiarkan dalam kanal Youtube Kemenpan RB pada 3 September 2020, beliau memaparkan mekanisme masuknya radikalisme secara sistematis. Jadi kata beliau, awalnya masjid itu dikirimi anak yang good looking, pandai berbahasa Arab, dan juga hafidz quran pokoknya idaman calon mertua banget, deh.
Selanjutnya, setelah mendapat kepercayaan pengurus masjid dan ditempatkan di posisi strategis, orang – orang good looking ini dengan perlahan tapi pasti memasukan pemikirannya dan menyeludupkan rekan-rekan yang sudah sepemaham dengannya. Entah pernyataan bapak menteri ini bisa dibilang sesuai kenyataan atau hanya sebatas kontroversi.
Tentunya, kita semua sepakat untuk tidak ada yang ingin melihat, mengalami, dan merasakan sebuah konflik di dalam negeri kita ini. Karena masyarakat Indonesia, merupakan masyarakat yang majemuk dan beragam. Sehingga, toleransi harus bisa untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap yang Seharusnya Dimiliki
Dampak dari adanya orang – orang yang tidak dapat menerima perbedaan memang berpotensi untuk memunculkan potensi konflik. Dalam menyikapi perbedaan, sudah seharusnya untuk mengedepankan sikap toleran. Dengan mengharagai keberagaman bukan berarti mengiyakan semuanya adalah kebenaran. Karena kebenaran. kalau kata orang bijak terdahulu. adalah tidak akan pernah ada.
Jika kebenaran tidak akan pernah ada, begitu juga dengan kesalahan yang tidak akan pernah ada. Karena sesungguhnya benar dan salah tergantung kepada siapa dan apa tujuan dari sudut pandang yang ingin dicapai dari penilai kepada yang dinilainya. Namun yang jadi masalahnya, sudahkah kita berkompeten dan berkemampuan untuk menilai sesuatu dengan nilai yang didasari kepada pemahaman yang terbatas?
Semoga semuanya berakhir dengan lebih baik ya, kalau kata anak senja mah semoga semesta cepat pulih. Masih banyak kok yang bisa dilakukan pemerintah daripada hanya sekedar memerhatikan isu radikalisme yang kadang korban dan targetnya masih rancu.
Mengawasi perkembangan radikalisme agar tak meluas memang bagus. Namun, nampaknya lebih bagus lagi jika fokus pada saat ini lebih baik difokuskan untuk mengurus pandemi ini agar cepat terurus dan cepat selasai.
Editor: Nabhan