Tulisan ini adalah sebuah renungan gerakan. Tulisan ini saya dedikasikan untuk mengenang almarhum Moeslim Abdurrahman sebagai bapak Brutal (Ketua Lembaga Buruh Tani Nelayan PP Muhammadiyah 2000-2005), dan almarhum Said Tuhuleley sebagai bapak pemberdayaan petani (Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015).
Tulisan ini terinspirasi dari gagasan dan praktik yang telah dilakukan oleh keduanya dalam melakukan advokasi terhadap petani. Doa atas segala kebaikan untuk beliau, Al-Fatihah.
Petani: Korban Eksploitasi
Kondisi petani kita belum banyak berubah, memiliki kerentanan tinggi terhadap jerat kemiskinan. Mengapa demikian? Salah satunya, pertanian kita, termasuk petani kita sering hanya menjadi obyek dalam pembangunan pertanian. Petani menjadi obyek untuk dieksploitasi.
Dalam politik, pertanian dan petani kita adalah komoditas. Artinya, segala hal yang berkaitan dengan pertanian, bisa diperjualbelikan sebagaimana layaknya barang dagangan. Hanya saja sebagai komoditas, karena petani menjadi obyek eksploitasi, maka posisi petani kita tidak pernah pada posisi yang diuntungkan. Sebaliknya, petani kita selalu berada pada posisi yang dirugikan.
Soal pupuk misalnya, seringkali petani disebut mendapatkan subsidi pupuk. Namun kenyataannya, subsidi tersebut tidaklah langsung kepada petani. Karena subsidi diberikan kepada produsen pupuk alias korporasi. Soal pupuk murah, petani adalah mata rantai kesekian dari subsidi pupuk tersebut. Kenyataan lainnya, pun petani tidak pernah tahu hitung-hitungan soal pupuk subsidi, petani tetap membeli dengan ‘kocek’ sakunya sendiri.
Ini belum lagi soal bibit/benih, obat-obatan pertanian, hingga soal pasca panen. Meski petani sering disebut sebagai produsen pangan, namun dari hulu hingga ke hilir proses produksi tersebut ditentukan oleh pihak lain. Sebagai produsen, petani memiliki ketergantungan tinggi terhadap pihak lain sehingga petani berada pada posisi lemah.
Celah inilah yang sering digunakan untuk melakukan eksploitasi terhadap petani, artinya siapapun bisa menjadikan petani ini sebagai komoditas. Petani adalah komoditas dipasar bebas.
Lika-Liku Pemberdayaan Petani
Pada kondisi ini maka lahirlah istilah pemberdayaan terhadap petani. Tujuannya agar petani kita bisa mandiri dan berdaulat. Namun lagi-lagi, pemberdayaan sering juga berujung pada eksploitasi terhadap petani. Dan tidak jarang, pemberdayaan ini yang justru melakukan eksploitasi. Soal pupuk misalnya, petani dikenalkan pada pupuk organik dengan khasiat yang menggiurkan. Misalnya, dengan janji-janji jika menggunakan pupuk tersebut maka hasil panen akan meningkat.
Apakah hasilnya akan sesuai dengan janji tersebut? Jawabannya tentu saja “belum tentu”. Dan jika ada kerugian, tetap saja yang harus menanggung adalah petani. Pupuk kimia disebut akan merusak tanah, maka dikenalkanlah pupuk organik. Adanya peralihan petani dari menggunakan pupuk kimia ke pupuk organik ini patut disyukuri, hanya saja petani tetap saja menjadi obyek eksploitasi.
Jika sebelumnya petani tergantung pada pupuk kimia, yang artinya memiliki ketergantungan pada korporasi. Maka pada dikenalkannya pupuk organik, petani juga tetap dibuat memiliki ketergantungan baru pada produsen pupuk organik yang tidak lain adalah korporasi dalam bentuk yang lain. Baik pada saat menggunakan pupuk kimia maupun organik, petani sama-sama berada pada jerat ketergantungan.
Inilah mengapa paradigma pemberdayaan harus kembali diluruskan. Sebab, istilah pemberdayaan saat ini telah banyak mengalami degradasi. Dalam banyak hal, belum apa-apa sudah seringkali disebut dengan pemberdayaan. Misalnya, dikalangan petani ada yang disebut penyuluhan, meski sebenarnya didalamnya adalah ajang promosi sebuah produk pupuk atau obat-obatan pertanian baru.
Pada penyuluhan tersebut dijanjikan jika menggunakan produk tersebut maka tanaman bebas penyakit, hasil pertanian akan meningkat, dan sebagainya. Disini tampak, istilah promosi dihaluskan menjadi penyuluhan. Dan akhirnya, promosi produk pun pada akhirnya diklaim dan disebut dengan pemberdayaan.
Program BLT beberapa waktu yang lalu, pun juga sering disebut-sebut dengan pemberdayaan. Salah kaprah, namun karena banyak yang mendapatkan keuntungan dari proses itu maka istilah pemberdayaan menjadi latah digunakan.
Transformasi Petani
Sebagaimana judul tulisan ini, kunci dari pemberdayaan adalah transformasi. Tranformasi mensyaratkan berbagai hal seperti adanya pendidikan, pelatihan, pembebasan, kemandirian, dan proyeksi akan masa depan. Sehingga petani memiliki pengetahuan dan kapasitas yang cukup ketika menghadapi masalah mereka.
Misal, ketika petani berhadapan dengan masalah kelangkaan pupuk, maka dengan transformasi, petani memiliki kapasitas yang cukup untuk mampu memproduksi pupuk sendiri. Ada banyak teknologi sederhana yang harusnya sampai kepada petani. Sayang, temuan tersebut sering hanya menjadi wacana kampus.
Transformasi juga bisa dimaknai dengan pembebasan, yaitu membebaskan petani dari berbagai jerat ketergantungan. Sebab, ketergantungan ini yang akan mematikan kreatifitas petani. Imbasnya, pertanian sulit untuk berkembang. Karena itu tidak heran jika generasi muda kita emoh bertani sebab bertani tidak menjanjikan kehidupan yang lebih baik.
Karena transformasi juga mensyarakkan adanya proyeksi akan masa depan pertanian yang lebih baik, maka “ending” dari transformasi ini adalah kemandirian. Dengan transformasi, visi dan misi negara dalam pembangunan pertanian “Terwujudnya Kadaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani” akan lebih mudah dicapai. Tanpa ada transformasi maka pemberdayaan akan kehilangan makna.
Inilah yang menjadi paradigma Brutal dalam melakukan pemberdayaan, membatasi diri dengan tidak melakukan transaksi terkait kebutuhan produksi yang dilakukan oleh petani. Ini telah menjadi pesan almarhum Moeslim Abdurahman dan Said Tuhuleley dalam melakukan pemberdayaan terhadap kaum dhuafa dan mustad’afin. Pemberdayaan yang dilakukan oleh Brutal adalah melakukan tranformasi.
.