Falsafah

Tren Dekolonialisasi dalam Kajian Akademik di Barat (Bagian 1)

2 Mins read

Oleh: Muhamad Rofiq*

 

Istilah dekolonialisasi memiliki makna yang beragam. Makna yang paling umum dikenal adalah proses di mana negara koloni menjadi independen secara politik dari negara yang menjajahnya. Proses dekolonisasi seperti ini bertujuan mengakhiri sistem kontrol yang mensubordinasikan negara jajahan di bawah negara penjajah.

Istilah dekolonisasi juga digunakan untuk menunjukkan usaha untuk merepatriasi atau merebut kembali tanah ulayat (repatriation of indigenous land) yang dulu diambil secara paksa oleh bangsa Eropa dari tangan suku asli.

Istilah ini misalnya digunakan oleh para aktivis dan pejuang hak-hak masyarakat suku asli di tiga kawasan: suku Indian di Amerika, Maori di New Zealand, dan Aborigin di Australia. Tiga suku asli tersebut mengalami setidaknya dua bentuk kolonisasi oleh bangsa kulit putih: genosida manusia, dan eksploitasi serta perebutan tanah.

Secara metaforis, dekolonisasi digunakan pula untuk beragam tujuan. Diantaranya untuk menunjukkan sebuah upaya yang disuarakan oleh para aktivis dan intelektual agar satu negara melepaskan diri dari intervensi dan dominasi asing dalam bidang ekonomi, budaya dan politik.

Selain itu, istilah ini dipakai juga secara majazi untuk mengacu kepada segala bentuk perlawanan terhadap penindasan dan kezaliman terhadap kelompok yang secara historis terpinggirkan dan terbungkam (marginalized and silenced people).

Dekolonisasi Pengetahuan

Makna lain dari istilah dekolonisasi yang belakangan sangat popular di kalangan akademisi Barat adalah proses perlawanan terhadap segala manifestasi penjajahan dalam bentuk pengetahuan. Istilah yang digunakan bermacam-macam: dekolonisasi pengetahuan itu sendiri, dekolonisasi metodologi, dan dekolonisasi epistemologi.

Jenis lain dari dekolonisasi ini menunjukkan bahwa penjajahan, selain terjadi melalui sistem politik dan ekonomi, juga terjadi melalui medium pengetahuan (coloniality of knowledge). Pada masa kolonial pengetahuan diproduksi oleh negara-negara penjajah melalui para ilmuwan untuk menjustifikasi kolonisasi.

Baca Juga  Inilah Epistemologi Al-Jabiri Pendobrak Kejumudan Muslim

Hampir semua disiplin ilmu pengetahuan yang lahir di abad modern (abad kelahiran bangsa Eropa) terlibat dalam kolonisasi. Hal tersebut dapat dilihat dari asumsi-asumsi yang digunakan: misalnya terkait pandangan mereka tentang manusia dan sejarah; dan metodologi yang mereka terapkan (studi teks atau etnografi).

Aspek kolonial dari pengetahuan juga bisa diperhatikan dari istilah, teori, konsep, bahkan dalam struktur lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi).

Kolonisasi pengetahuan tersebut berlangsung bukan hanya di periode pembentukan disiplin ilmu-ilmu modern (the formation of modern fields), tetapi juga sampai hari ini. Linda Smith, seorang intelektual dekolonial dari suku Maori New Zealand, mengidentifasi bahwa riset-riset ilmiah yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat terhadap masyarakat suku asli, misalnya masih menjadi alat kolonialisme itu sendiri.

Riset dilakukan untuk mengumpulkan pengetahuan terkait mereka, mengklasifikasikannya, untuk kemudian merepresentasikannya sesuai dengan kepentingan bangsa Barat penjajah.

Edward Said, penulis buku Orientalism yang mengkritik epistemologi pengetahuan Barat, juga menulis bahwa setiap aktivitas intelektual sarjana Barat terkait bangsa Timur (the Orient) selalu tidak bisa dipisahkan dari kepentingan imperialisme.

Menurutnya, Barat menciptakan imej tentang dunia Timur berdasarkan dua strategi: pertama, strategi formal, yaitu melalui konstruksi akademik atau melalui kerja para intelektual dalam disiplin ilmu tertentu; kedua, strategi informal, yaitu menciptakan anekdot peyoratif tentang bangsa Timur.

Bangsa Eropa misalnya menciptakan gambaran tentang masyarakat yang mereka jajah sebagai pemalas, bergantung ke orang lain, tidak berguna, dan tidak memiliki kualitas sebagai manusia. Menurut Linda Smith, konstruksi intelektual terhadap bangsa terjajah tersebut, bahkan sampai pada tahap melakukan dehumanisasi.

Dalam kasus orientalisme, para orientalis dulu menggambarkan Islam sebagai agama yang despotik, menindas perempuan, tidak sesuai dengan sains, agama kekerasan, dan lain sebagainya. Pada zaman sekarang representasi tersebut terus diamplifikasi oleh banyak intelektual dan media-media barat.

Baca Juga  Filsafat Bunuh Diri vs Teologi Kesucian Hidup

Oleh karena itulah, proyek dekolonisasi pengetahuan digalakkan oleh sarjana dari lintas disiplin dengan tujuan untuk dismantling of legacy (meruntuhkan sisa-sisa) kolonialisme dalam pengetahuan dan wacana-wacana akademik.

Tujuannya adalah agar konsep, teori, asumsi yang berbau kolonial, bernada condescending (merendahkan), dan selalu berupaya untuk berkuasa terhadap bangsa non-Barat, dapat lenyap dari disiplin ilmu-ilmu modern. Dekolonisasi juga digalakkan agar masyarakat yang pernah terjajah tidak lagi berfikir Westocentric atau Eurocentric. Paradigma yang serba Barat dan selama ini diuniversalisasi harus didekonstruksi.

 

* Penulis adalah alumni PCIM Mesir dan anggota PCIM Amerika Serikat

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds