Sebelum membahas filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, pasti pernah terpikirkan oleh siapapun diantara kita yang telah merasakan bangku pendidikan dari sekolah dasar hingga menengah, perihal mata pelajaran yang pernah kita pelajari dulu di sekolah dengan faedahnya di kehidupan kita saat ini. Ambil saja satu contoh mata pelajaran yang secara umum kita timba di bangku sekolah dulu, yakni sejarah. Mungkin dalam sejarah kita pernah diajarkan, diceritakan, mempelajari, atau membaca bahwa peristiwa Bandung Lautan Api merupakan peristiwa kebakaran besar yang terjadi dalam waktu tujuh jam di Bandung, pada 23 Maret 1946.
Jika kita ingat-ingat kembali akan hal tersebut, kira-kira pelajaran seperti itu ada faedahnya gak sih dalam hidup kita? Pernahkah diantara kalian ketika melamar pekerjaan ditanya terkait hal tersebut? Atau pertanyaan seperti itu hadir ketika kalian ingin ketemu calon mertua? Pernah gak pengetahuan seperti itu ada gunanya di kehidupan sehari-hari? Enggak kan? Terus buat apa kita mempelajari mengenai hal-hal tersebut? Lantas apasih yang harus kita pelajari ketika di sekolah tuh?
Dalam hal ini, menurut penulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas maka perlulah dijawab oleh sosok yang mampu menjawabnya. Sosok yang pantas menjawabnya ialah manusia yang bertanggung jawab atas pendidikan di Indonesia, yakni sang bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Seorang tokoh yang tidak hanya sebatas mencatatakan namanya dalam buku sejarah di Indonesia, melainkan ialah orang yang amat berjasa dalam dunia pendidikan di Indonesia. Yang karena pemikiran dan gagasan-gagasannya mengenai pendidikan ia dianugerahi bapak pendidikan Indonesia.
Nah, dibawah ini adalah tiga filosofi pendidikan yang Ki Hajar bawa ketika pulang dari Belanda dan kemudian dirangkum dan dipraktekan di Indonesia kala itu namun tak kita jumpai saat ini.
FIlosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara: Tujuan Pendidikan
Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan itu ialah memerdekakan manusia. Lalu jika ditanya manusia yang merdeka itu yang seperti apa, maka jawabannya menurut Ki Hajar ialah manusia yang selamat raganya dan bahagia jiwanya, survive and happy. Sebetulnya kalau dipikir-pikir itu kan yang kita cari dalam hidup? Kita tuh cuma ingin selamat dan bahagia. Kalaupun ada diantara kita yang bilang tujuan hidupnya adalah akhirat, toh di akhirat pun berharap apa kalau bukan selamat dari siksa neraka dan bahagia di surga?
Ini adalah sebuah topik yang sebetulnya secara universal dapat diterima, dari mulai filsafat, agama, sampai ilmu pengetahuan modern, itu sepakat akan hal ini. Sekarang coba perhatikan dan tanya orang-orang di sekitar kita, kira-kira mereka tau gak caranya agar hidupnya selamat dan bahagia? Mungkin jawaban yang keluar nantinya akan berbeda-beda sesuai dengan konsep dan persepsinya masing-masing. Dan sangat sedikit pastinya yang akan menjawab “belajar”.
Mengapa demikian? Karena konsep tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara ini tak kita jumpai di sekolah. Sekolah-sekolah dari jenjang dasar hingga menengah tak akan mengarah pada terwujudnya manusia yang merdeka, yang dalam artian selamat dan bahagia. Padahal jelas apa yang telah digagas oleh Ki Hajar Dewantara, bahwasannya pendidikan harusnya memerdekakan manusia, menghasilkan manusia yang selamat dan bahagia.
Filosofi Tri Rahayu
Ki Hajar percaya bahwa pendidikan itu punya tiga peran penting didalamnya, yang pertama adalah memajukan dan menjaga diri, kedua memelihara dan menjaga bangsa, dan yang ketiga memelihara dan menjaga dunia. Ia menyebut ini sebagai Filosofi Tri Rahayu. Konsep ini ada karena beliau percaya bahwa semua itu terhubung dan semua berkontribusi pada kepentingan yang lebih besar.
Sederhananya seperti ini, kalau kita bisa menjadikan diri kita sebagai orang-orang yang merdeka, yang bahagia, maka lingkungan disekitar kita, keluarga, tetangga, pertemanan, atau orang lain di sekitar kita akan menjadi lebih baik pula hidupnya. Kemudian misal di suatu daerah keluarga-keluarganya bahagia, orang-orangnya baik, maka daerahnya pun akan maju. Kalau di sebuah negara daerah-daerahnya maju, maka negaranya pun bisa dikatakan pasti maju. Kalau suatu negara itu maju siapa yang merasakan efeknya? Semua akan merasakan, dunia merasakan, rakyat didalamnya pun merasakan.
Semua itu terhubung, dan itu dimulai dari diri kita masing-masing. Secara garis besarnya memerdekakan satu orang adalah langkah awal dari memerdekakan satu keluarga, memerdekakan keluarga adalah langkah awal memerdekakan suatu daerah, memerdekakan daerah adalah langkah awal memerdekakan suatu bangsa. Maka dari itu suatu negara yang sudah menyatakan kemerdekaannya bisa saja dikatakan belum merdeka jika rakyatnya sendiri masih dalam belenggu penjajahan negeri sendiri alias belum bisa merdeka secara individu.
Tri-kon Ala Ki Hajar Dewantara
Tri-kon ini merupakan sebuah filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yang berartikan bahwa pendidikan itu harus kontinu, konvergen, dan konsentris. Kontinu secara bahasa artinya berkelanjutan, maksudnya disini ialah dalam hal belajar. Yang namanya belajar itu harus terus menerus dan berkelanjutan. Apa yang telah kita capai/raih hari ini merupakan hasil dari apa yang kita pelajari di masa lalu, dan apa yang kita pelajari saat ini akan menjadi masa lalu di hari esok. Selalu ada cara untuk bisa menjadikan diri kita lebih baik di hari esok dengan mempelajari suatu hal hari dan menjadikan hari yang kemarin sebagai evaluasi.
Yang kedua adalah konvergen, yaitu ilmu itu harus dari berbagai sumber. Ilmu itu jangan sampai kita pelajari dari sumber yang itu-itu saja, karena itu akan membuat diri kita stagnan dan juga cenderung konservatif. Karena Ki Hajar sendiri dalam mengamalkan sebuah ilmu ia banyak mengadopsi konsep-konsep ahli pendidikan luar, tidak berpatok pada satu konsep atau sumber saja. Walaupun beliau menyuruh kita tuk mencari belajar dari segala sumber, ia juga mengingatkan kita akan hal ketiga, yaiut konsentris.
Maksudnya, Ki Hajar memang berpesan kepada kita untuk mengambil ilmu dari berbagai sumber dan dari para ahli, namun jangan lupa ilmu-ilmu tersebut disesuaikan kembali dengan identitas kita dan juga konteks yang ada di kehidupan kita masing-masing. Misal saja Ki Hajar Dewantara dalam membungkus konteks kebahagiaan, beliau menggunakan kalimat memerdekakan manusia di saat itu, karena beliau melihat masyarakat kita saat itu yang menjadi hal terpenting ialah merdeka terlebih dahulu, maka dari itu konsep yang ingin dikenalkan kepada orang-orang saat itu disesuaikan dengan kondisi saat itu.
Dari filosofi bapak pendidikan kita diatas, sebenarnya mempelajari detail mengenai sejarah atau mempelajari rumus pytagoras bukannya tidak penting, melainkan ada hal yang lebih penting dan fundamental dalam dunia pendidikan itu. Yang realitanya tak diajarkan di sekolah-sekolah saat ini di Indonesia. Dan sejatinya semboyan pendidikan produk dari Ki Hajar Dewantara yang berbunyi, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani itu lebih mengarah ke seorang guru bukan murid.
Editor: Nabhan