Perspektif

Tujuh Alasan Mengapa Pakar Diabaikan

2 Mins read

Beberapa warganet mengangkat kembali isi yang selama ini selalu jadi perdebatan; keahlian. Bagi mereka, penting untuk mendengarkan penjelasan seorang pakar di bidang tertentu ketimbang mengambil pendapat dari orang yang dianggap bukan pakar di suatu bidang. Asumsi ini tentu saja benar tapi melupakan konteks sosiologi untuk menjelaskan mengapa orang tiba-tiba dianggap ahli ngomongin tertentu padahal sebenarnya itu bukan bidang yang profesionallly training emang sekolah di bidang itu.

Pertama, akses informasi yang berlimpah. Apapun sekarang bisa dicari di Google dan bahkan sampai pada level terkecil, mulai cara memasukkan benang dengan mudah ke lubang jarum sampai membersihkan filter mesin cuci tabung satu di tengahnya. Informasi ini diberikan secara sukarela oleh warganet karena merasa memang itu bekerja dengan baik. Dalam konteks saya, misalnya, sebelum periksa ke dokter, saya berusaha sekeras mungkin untuk mendiagnosis anak-anak saya ketika sakit sebelum akhirnya memutuskan ke dokter dan melakukan pengobatan alternatif. Dalam beberapa hal ada yang bekerja dan dalam beberapa hal lain memang tidak.

Pertanyaannya, mengapa saya tidak langsung ke dokter saja untuk menanyakan? Ini faktor yang kedua, ketidakpercayaan kepada ahli. Harus diakui kelindan kepentingan antara individu dan pasar seringkali tidak bisa diabaikan. Ahli politik dengan analisisnya tanpa sadar dan tidak seringkali melakukan penggiringan opini untuk mendukung tokoh tertentu. Begitu juga dengan dokter yang memiliki jaringan dengan kartel farmasi ketika meresepkan sebuah obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh pasien, tapi tetap diberikan. Memang ini bisa saja hanya dilakukan oleh oknum dan tidak semua profesi melakukan itu. Namun, jamaknya praktek itu membangun narasi ketidakpercayaan masyarakat.

Ketiga, buzzers dan logika algoritma. Awalnya orang berkomentar terhadap peristiwa yang kemudian ditanggapi oleh orang lain. Namun seiring dengan makin beraninya ia bicara, membuat orang lain kemudian mengikutinya. Jumlah followers yang banyak dan keharusan untuk memproduksi konten, membuatnya terus memproduksi karya, di mana orang kemudian tidak begitu peduli terkait dengan latarbelakang keilmuannya. Asalkan logikanya pas dengan perasaan dan yang dibayangkan oleh followers-nya, biasanya akan terus diikuti. Konteks ini semakin tajam ketika terjadi polarisasi politik. Karena itu, orang percaya isu Komunis dari mulut Jonru ketimbang sarjana yang bertahun-tahun menekuni isu ini.

Baca Juga  Ahlussunnah wal Jama'ah: Potret Islam Moderat di Tengah Dua Kubu Ekstrem
***

Keempat, kemunculan pandit politik. Karena isu politik bisa dibahas oleh siapa saja tanpa mengenal latarbelakang seseorang, pandit politik ini kemudian mengisi ruang media online untuk menawarkan perspektif sekaligus dapat receh dari analisisnya tersebut yang kemudian diterbitkan. Intensitas tulisan dan terus-menerus memproduksi konten, pandit inilah yang kemudian dipercaya oleh warganet. Di sisi lain, mereka yang melakukan studi politik dan tidak terlibat aktif dalam media online, posisinya tergerus dan diambil alih oleh mereka.

Kelima, ahli yang tak mau populer. Tidak sedikit sarjana yang tekun di bidangnya jarang dan tidak mau terlibat ketika diundang oleh media, baik cetak, televisi, maupun radio. Selain sudah terlalu sibuk, mereka kerapkali benar-benar menghindari untuk terlibat di jalan sunyi ilmu pengetahuan. Akibatnya, saat media membutuhkan mereka, yang keluar justru para medioker yang memang bisa ngomong apa saja. Dalam konteks ini kita bisa melihat kehadiran Rocky Gerung yang hadir di kebanyakan acara televisi kita. Bukan karena ia populer, tetapi memang karena orang media juga memiliki keterbatasan referensi orang yang mau diwawancarai.

Keenam, akibat gelombang post-modernism. Harus diakui kehadiran perspektif post-modernism yang menghancurkan logos sebagai pusat kebenaran, memberikan ruang kebenaran-kebenaran yang lain dan menantang kebenaran absolut. Melalui post-modernism, kebenaran bisa dibangun oleh siapa saja. Di sini persoalannya, kebenaran yang subyektif memberikan jalan kepada kebenaran-kebenaran lain, mengakibatkan tergerusnya kebenaran yang diemban oleh otoritas tertentu.

Ketujuh, ketidakpedulian negara. Harus diakui, pengelola negara ini juga memiliki kepentingan dan jaringannya. Dalam mengurus negara, mereka akan memilih orang-orang yang memang cocok sesuai dengan selera mereka. Di sini kualitas keahlian seringkali menjadi terabaikan. Akibatnya, banyak kebijakan-kebijakan penting justru melenceng, karena memang tidak benar-benar mengundang para pakar di bidangnya. Kalaupun mengundang, mereka akan melihat dengan irisan jaringannya, apakah memiliki nafas spirit yang sama dengan mereka atau tidak. Di sini, kemampuan yang disebut pakar kemudian menemukan ajalnya.

Baca Juga  Pemanfaatan Dana Infak Masjid Menurut Muhammadiyah dan NU

Editor: Yahya FR

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds