Perspektif

Uang, Berhala Nyata pada Masa Modern

4 Mins read

Tuhan Itu Bernama Uang

Sepertinya tidak sulit bagi kita untuk menemukan kenyataan bahwa uang telah jadi alasan segalanya. Mengapa kita bersekolah? Agar bisa mencari duit. Mengapa seorang bekerja? Agar bisa mendapat harta kekayaan. Mengapa menikah? Agar bisa menafkahkan duit. Seolah kesuksesan hidup ini didefinisikan sekedar dari apakah seseorang bisa mengumpulkan dan menghabiskan uang.

Kita harus membenarkan beberapa orang yang mengamati jika lama-kelamaan, uang sudah bukan lagi harta. Ia telah menjelma menjadi Tuhan. Yang dipuja-puji, yang diidamkan dalam hati, yang jadi alasan seseorang bisa bermimpi buruk di malam hari, atau bangun dengan perasaan tenang di pagi hari.

Seseorang bahkan pernah menyinggung perihal fenomena ini lebih keras,”Bodoh sekali manusia. Hidup mereka hanya dihabiskan untuk mengumpulkan lembaran kertas kosong yang tak bernilai.”

Benar juga kata si bijak itu. Uang bernilai bukan karena dirinya memang mengandung nilai, namun karena manusia yang menyematkan nilai padanya. Sehingga, duit bisa berkuasa berdasar nominal yang melekat pada dirinya. Semakin besar dan semakin panjang berbaris angkanya semakin ia berharga.

Akankah kita tersadar bila mengingat fakta yang ironis berikut; bahwa manusia sendiri yang mencipta dan memanfaatkan uang. Manusia adalah Tuhan sejati dari uang. Namun, realitanya bukan duit itu yang mengabdikan diri untuk kebutuhan manusia, melainkan manusia itu yang bertekuk lutut dan bahkan bersujud di hadapannya.

Hal ini terasa semakin menggelisahkan, karena manusia jarang menyadari bahwa mereka sedang mempersekutukan Tuhan. Barangkali karena mereka menganggap bahwa asalkan tetap tekun menjalani segala amalan fisik kepada Tuhan, maka apa yang menghinggapi dalam hati, bahwa mereka berselingkuh rasa dengan uang menjadi tidak masalah bagi-Nya.

Berhala itu Tinggalnya di Hati

Tuhan telah memperingatkan, bahwa tidak ada satu makhluk pun di dunia yang dapat menyamai diri-Nya. Maknanya sangat mendalam, namun seringkali secara sempit dipahami. Sepertinya, sekedar telah beragama secara formal dan tidak menyembang patung-patung tertentu, maka seseorang sudah tidak berada dalam kemusyrikan.

Baca Juga  Khilafah HTI, Khulafaur Rosyidin dan NKRI Bersyariah

Tentu saja karena patung-patung itu mudah dikenali sebagai sekedar benda mati. Tiadalah seseorang mendapatkan sesuatu dari mereka, karena patung-patung itu tidak mampu memberi apa-apa. Namun manusia seringkali lupa bahwa dalam dunia modern ini, bukan patung-patung itu yang mereka pertuhankan, melainkan duit, harta-benda, serta berbagai jenis kekayaan lain.

Juga manusia sering lalai mengenai bukan pada berhala-berhala itu Tuhan menjadi murka, melainkan pada manusia yang meletakkan dalam hatinya rasa cinta dan penyembahan kepada berhala yang sejatinya adalah benda-benda ciptaan manusia sendiri. Berhala yang bisa jadi patung-patung atau juga uang serta segala bentuk harta kekayaan yang lain.

“Dan dia (Ibrahim) berkata,’Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah, hanya untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan di dunia, kemudian pada hari kiamat kamu akan saling mengingkari dan saling mengutuk…” (Q.S. Al-Ankabut [29], 25).

Dalam hati manusia itu pula, terletak keyakinan bahwa uang dan kekayaannya demikian berkuasa hingga mampu memenuhi segala kebutuhan mereka. Hal ini lagi-lagi adalah keliru besar yang telah diperingatkan Tuhan;

“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rizki kepadamu; maka mintalah rizki dari Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan.” (Q.S. Al-Ankabut [29]. 17).

Tentu uang bisa membeli rumah, namun tidak membeli keharmonisan rumah tangga. Bisa membeli kasur paling empuk, namun tidak membeli tidur nyenyak. Sebab nyatanya, mereka yang memiliki paling banyak sering tidak memiliki keduanya: kehangatan keluarga dan ketentraman hati.

Teori Fetisme Komoditas dan Pemberhalaan

Dalam lensa teori ini, uang dipahami telah bertransformasi menjadi fetis. Tentu saja bukan fetis dalam makna seksual. Fetisme yang dimaksud adalah ketika manusia menganggap duit sebagai sesuatu yang berdaya dan mandiri. Demikianlah, uang itu selayaknya berhala karena dianggap ‘bernyawa’ dan bisa menolong manusia (Q.S. Al-Ankabut [29]. 17).

Baca Juga  Seruan Boikot Produk Unilever, Bukti Umat Tak Solutif!

Sering ini disangkal dengan keyakinan, bahwa nilai tukar uang dari barang atau jasa berdiri di atas asas supply-demand yang objektif. Di mana nilai tukar uang atas benda/jasa bergantung pada banyak persediaan barang dibanding permintaan. Hasilnya, banyak barang namun sedikit permintaan akan menurunkan harga, sedangkan bila sebaliknya harga akan meroket.

Namun teori fetisme komoditas membongkarnya; bahwa bukan objektivitas nilai, melainkan subjektivitas manusia yang mengatur nilai barang. Uang hanya berkuasa ketika manusia meyakininya memiliki suatu ‘kekuatan magis’ yang melampaui manusia, yang dapat membantu kesulitan-kesulitan manusia. Padahal tidak demikian karena uang sebenarnya hanyalah “..makhluk (yang lemah) yang serupa juga denganmu (manusia)…” (Q.S. Al-A’raf [7], 194).

Maka di sini, kita mengerti bahwa prinsip demand-supply tidak berlaku. Kenyataannya kita tidak pernah tahu jumlah stok barang dan harga produksi yang sebenarnya. Maka, bagaimana kita bisa menentukan secara pasti suatu nilai berdasar prinsip demand-supply itu?

Sayangnya, fetisme uang telah begitu kronis hingga kebanyakan manusia meyakini semakin banyaknya duit maka semakin berkuasa dirinya. Diyakininya bahwa uang bisa menyajikan kepadanya segalanya, dan bahkan membantu mereka menguasai manusia yang lain (melalui beli jasa mereka). Dalam beberapa kondisi bahkan kelimpahan barang atau harta diyakini bisa menyelamatkan manusia di akhirat! (Q.S. Al-Mujadalah [58], 17).

Namun, ada lagi yang jauh lebih bermasalah dari kenyataan ini. Bahwa fetisme uang dan komoditas mengaburkan peran manusia sebagai pencipta harta dan barang. Jadilah manusia menuhankan uang yang seolah transenden karena ‘tak bermula’ dan ‘tak berakhir’. Disini jelas manusia sedang amnesia bahwa mereka sendiri adalah pencipta sekaligus ‘bahan baku’ dari uang.

Uang dan Eksplotasi Manusia

Pun kaburnya ‘asal-usul’ uang mengandung marabahaya lain. Ia membuat manusia gagal menangkap adanya eksploitasi dan kesenjangan pada buruh dalam proses produksi. Bahwa ada orang-orang yang terdzalimi karena jam panjang, upah kecil dan resiko kematian demi menghadirkan barang dan jasa itu dihadapan konsumen, si penguasa uang.

Baca Juga  Prof Baroroh Baried (3): Fungsi Wanita sebagai Pembina Umat

Tunjuk saja kasus misalnya, para buruh yang paru-parunya rusak karena menghirup zat kimia beracun bertahun-tahun atau para kurir yang seharian bisa menjelajahi puluhan kilo namun hanya diupah 1.500 rupiah per paketnya.

Tapi toh buat apa peduli. Para konsumen itu; mereka dan kita yang memiliki uang itu, hanya menjalankan hukum alamiah mengenai relasi manusia, alam dan harta kekayaan. Hukum itu berbunyi merdu sekali: ”Selama seseorang memiliki uang yang cukup, apapun bisa dibeli, bahkan alam semesta sekalipun.” Maaf, maksudnya merdu bagi para orang kaya atau berpunya.

Paling celaka barangkali karena sedikit yang sadar, bahwa harta itu sedang memperbudak manusia untuk terus-menerus memproduksinya agar semakin banyak dibelanjakan, semakin banyak beredar. Nyatanya, manusia sedang dipermainkan uang dalam kepentingan dirinya untuk terus beranak-pinak melalui keluguan warisan para manusia.

Editor: Saleh

Avatar
31 posts

About author
Dosen Fakultas Psikologi UMM dan Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds