Beberapa hari yang lalu, Menteri Agama yang terpilih, yaitu Gus Yaqut, baru saja mengucapkan pernyataan yang sangat menarik. Gus Yaqut berkata, “…agama sebisa mungkin tidak lagi digunakan alat politik baik untuk menentang pemerintah maupun merebut kekuasaan…”
Menarik ketika beliau mengatakan bahwa agama tidak boleh lagi digunakan untuk melawan kekuasaan, dan tidak boleh lagi digunakan untuk memberontak terhadap pemerintah. Namun, pertanyaan sebaliknya langsung terlintas di kepala. Apakah salah jika agama dijadikan alat kritik, jika memang faktanya terjadi realitas yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis?
Pertanyaan baru muncul tidak kalah liarnya ialah bukankah Al-Qur’an dan hadis tidak dapat berbicara, lalu siapakah yang berhak berbicara atas nama Al-Qur’an dan hadis?
Siapakah yang berhak menilai bahwa suatu perilaku, atau bahkan suatu kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis? Apakah ulama mempunyai hak itu? Bagaimana jika justru para ulama memanfaatkan firman-firman Allah hanya untuk kepentingannya semata?
Teks dan Otoritas Tuhan
Setiap umat Islam berharap agar dirinya senantiasa dekat dengan Allah Swt. Karena dengan kedekatannya dengan Allah Swt., maka dia akan selalu mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan dari Allah Swt., baik di dunia maupun di akhirat.
Namun, tidak semua umat Islam dapat berkomunikasi dengan Allah, hanya Nabi Muhammad saw. sajalah yang mampu berkomunikasi dengan Allah, dan hanya ia yang mampu menerima wahyu-wahyu Allah Swt.
Masalah baru muncul ketika wahyu turun, yaitu tidak semua orang mampu memahami apa yang dimaksud oleh wahyu. Dalam konteks itu, Nabi Muhammad tampil sebagai seorang mufasir, menjelaskan kepada umat tentang maksud dari ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah melalui dirinya itu.
Tafsir Nabi Muhammad atas Al-Qur’an itulah nanti yang kita sebut dengan hadis. Dan dalam perkembangannya, seluruh laku hidup Nabi Muhammad dianggap otoritatif, yang terangkum dalam hadis. Karena itu, hadis menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Semenjak Nabi Muhammad wafat, tidak ada lagi individu yang otoritatif secara mutlak. Otoritas mutlak hanya dipegang oleh teks-teks Al-Qur’an dan hadis.
Oleh sebab itu, dibutuhkan pemahaman yang komprehensif untuk menggali ajaran yang terkandung dalam teks-teks agama, terutama Al-Qur’an. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah menangkap makna sebenarnya yang dikehendaki oleh Allah Swt. dalam teks-teks tersebut.
Ulama dan Monopoli Tafsir Agama
Dalam Islam, tidak dikenal institusi resmi, seperti Gereja (Katolik Roma), yang menjadi otoritas tunggal yang berhak menafsirkan kehendak Tuhan di muka bumi.
Sebagai gantinya, Islam memiliki institusi bernama ‘ulama’. Ulama bukanlah organisasi seperti gereja dalam tradisi Kristen, melainkan individu-individu yang mengabdikan hidupnya untuk mengkaji agama dan mengajarkannya kepada umat Islam secara umum.
Tidak seperti peradaban Barat Kritsen, di era klasik, masing-masing individu ulama memiliki pendapatnya sendiri tentang hukum-hukum keagamaan. Tidak ada tafsir tunggal, yang ada hanya kehendak tunggal untuk mencapai ridho Allah Swt., melalui pemahaman atas teks-teks kegamaan Islam.
Umat Islam diperbolehkan untuk memilih pendapat siapa pun, dan tidak ada paksaan untuk mengikuti pendapat ulama tertentu.
Sayangnya, penghargaan umat terhadap perbedaan pendapat itu kian menyusut sangat drastis ketika pemikiran hanya dibatasi menjadi empat mazhab fikih besar.
Sejak saat itu, pemikiran umat Islam seolah terkunci, dan taklid pun menjalar di seantero penjuru dunia Islam. Kondisi diperparah ketika ulama-ulama ini nantinya masuk ke wilayah politik. Di mana ulama-ulama sering kali dimanfaatkan untuk menjustifaksi orang-orang tertentu untuk meraih kekuasaan.
Dalam praktik riilnya kini, para ulama sering dimanfaatkan suaranya untuk memenangkan pemilu atau pilkada.
Kiai, Sang Otoritas
Dalam kehidupan bermasyarakat ada adagium yang sangat populer, terutama di daerah Jawa, yaitu Manut Kiai. Di mana ulama tidak hanya dilihat sebagai penafsir otoritas (Al-Qur’an dan hadis), melainkan Kiai inilah sang otoritas.
Dalam pandangan mereka, Kiai adalah representasi dari Al-Qur’an dan hadis Nabi itu sendiri. Barang kali karena kesalehan, dan sekaligus karena pemahaman atas Al-Qur’an dan hadis itulah, ulama sebagai individu, dimaknai sebagai pemegang otoritas baru menggantikan Nabi.
Padahal menurut El-Fadhl, umat Islam harus mampu membedakan mana yang otoritas dan mana yang otoriter. Menaruh otoritas pada manusia (bahkan seorang ulama sekalipun) secara mutlak, akan berpotensi besar melahirkan sikap otoriter dari si ulama.
Pemberian wewenang yang amat luas terhadap ulama, meminjam Khaleed Abu El-Fadhl, berpotensi menghasilkan otoritarianisme dalam menafsirkan agama.
Si penafsir (reader), terjebak dalam pikirannya sendiri, dan memaksa orang lain untuk mengikuti pikirannya. Ulama sebagai reader telah memperlakukan text (Al-Qur’an dan hadis) secara sewenang-wenang, di mana ia seolah-olah mengetahui secara mutlak maksud si author.
Dalam agama, ini sangat berbahaya, karena tanpa dia sadari, si penafsir dengan angkuh merasa dialah yang paling mengetahui kehendak dari Allah Swt, si author dari Al-Quran.
Pembacaan otoriter atas teks Al-Qur’an sama halnya menafikan peran Tuhan sebagai pencipta. Produk tafsir yang mempunyai kecenderungan dan bias adalah model pembacaan ceroboh dan tidak bertanggung jawab yang dilakukan penafsir.
Memaksakan kehendak dalam menafsirkan ayat Tuhan akan menjerumuskan pembaca pada sikap otoritas yang telah merampas otoritas Tuhan.
Bersikap Proporsional
Untuk menghindari otoritarianisme yang timbul, maka sikap proporsional harus diambil oleh umat Islam. Sebagaimana yang sudah dilakukan umat Islam di era klasik dulu. Baik oleh para ‘alim maupun mereka umat Islam awam.
Untuk para ulama, Abu El-Fadhl menawarkan beberapa prinsip pengendalian diri dalam memahami teks agama, terutama Al-Qur’an, yaitu kejujuran, pengendalian diri, kesungguhan, komprehensif, dan rasionalitas.
Prinsip tersebut sebagai kontrol pembacaan yang tidak bertentangan dengan etika dan moral. Sehingga, jangan sampai para ulama dengan angkuh merasa bahwa hasil pikirnya lah yang paling benar, sehingga seolah-olah ia mengambil peran Allah Swt. Para ulama pun tidak boleh mengklaim pemikirannya yang paling benar dan mutlak.
Bagi kaum awam pun juga tidak boleh sembarang menafsir teks keagamaan. Membebaskan secara penuh orang-orang awam menafsirkan teks keagamaan juga dapat menghasilkan chaos yang tidak kalah besar mudharatnya. Ia harus tetap mengikuti para ulama dengan tetap menjunjung sikap kritis.
Selain itu, sikap toleran dan saling menghargai juga harus diterapkan apabila ulama yang ia ikuti tidak sama dengan orang lain. Jangan lantas memberi cap orang lain itu salah, kafir, bid’ah dan sebagainya. Tanamkan dalam hati bahwa, “saya yakin bahwa saya benar, tapi belum tentu orang lain salah,” bisa jadi kita hanya melihat satu realitas dari sudut pandang yang berbeda.
Editor: Lely N