Feature

Ulama dan Pandemik Covid-19: Mengapa Dominan Fikih daripada Sains?

1 Mins read

Hampir satu bulan krisis global Covid-19 dan umat Islam di berbagai dunia pada umumnya merespons krisis wabah ini hanya dengan respons keagamaan, seperti fatwa-fatwa bagaimana sholat atau ibadah mahdhah lainnya sah atau tidak sah dilakukan.

Sedangkan respons ilmiah dan teknologi didominasi saintis dan teknokrat yang mayoritasnya disebut “non-Muslim.” Ada sesuatu yang sangat kurang di dunia Muslim sekarang ini: Mengapa masih terbelakang dalam sains dan teknologi?

Padahal kata “ulama” mencakup mereka yang paham dunia batin dan dunia lahir, paham “al-din” dan “al-dunya”, seperti kita baca dalam Surat 35 ayat 28, “Dan diantara manusia dan makhluk yang berjalan dan hewan ternak, semua itu berbeda-beda warnanya..sesungguhnya hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya adalah “ulama”…” Ayat sebelumnya, “Tahukah kalian bahwa Allah menurunkan dari langit air dan lalu Kami keluarkan darinya buah-buahan berbagai jenis, dan dari gunung-gunung ada trek-trek putih dan merah, juga hitam, dan berbagai warna lain.” juga tentang alam.

Juga Surat 58:11, “Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan yang berilmu…” Dan banyak ayat lain yang mengajak berpikir, mengamati, bereksperimen alam sekitar. “Apakah kalian tidak berpikir?” “Apakah kalian tidak mengamati”? yang lebih mengarah pada ayat-ayat kauniyah, alam, termasuk penyakit, sebab, dan pencegahannya.

Jika yang kita maksud adalah “ahli agama”, istilah yang lebih Qur’ani adalah “yatafaqqahu fi al-din”, atau “mutaffaqqih” dalam surat 9:122:”Janganlah orang beriman itu semuanya ikut terjun ke medan perang; karena harusnya ada sebagian saja dari “mereka yang menguasai urusan agama” dan “menjadi pengingat” kaum mereka ketika mereka yang berperang itu kembali…”

Evolusi “ulama” menjadi “ahli agama saja”, terjadi sejak lama, khususnya abad pertengahan dan mengkristal pada zaman moderen ketika kerajaan-kerajaan dan negara-bangsa Muslim mayoritas mengalami diferensiasi ilmu menjadi ilmu umum dan ilmu agama. Birokrasi pemerintahan, konflik politik keagamaan, spesialisasi ilmu yang makin banyak, kesulitan dan kelemahan umat untuk menguasai banyak jenis keilmuan, juga menjadi faktornya.

Baca Juga  Diskusi Ushul Fikih dengan Mahasiswa Ateis

Dokter, perawat, ahli wabah penyakit, teknokrat media komunikasi dan pendidikan, ekonom, dan sebagainya, berada di garda depan dalam respons pandemik ini. Sementara para ahli agama, lebih sibuk mencari dalil-dalil tekstual dan terus berdebat sah tidak sahnya ibadah ritual.

Kasus pandemik ini, dimana tampaknya umat Islam lebih dominan respons agamisnya, mengingatkan kembali betapa umat Islam yang jumlahnya kedua di dunia setelah umat Kristen saat ini. Saya kira perlu berbenah dalam sistem dan budaya keilmuan dan pendidikan, sejak dini di rumah, hingga universitas. Saya pun bertanggung jawab, khususnya pada anak-anak dan keluarga, demi masa depan mereka.

15 posts

About author
Associate Professor, Jurusan Kajian Agama, Direktur Program Studi Timur Tengah dan Islam, University of California, Riverside.
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds