Perspektif

Ustadz Jadi Bintang Iklan, Boleh Ya?

5 Mins read

Saat itu, saya sedang berada di Bandara Soekarno-Hatta. Saat check-in pesawat, mata saya tertuju pada sebuah baliho besar dengan warna dominan merah. Segera saya menyadari bahwa baliho itu adalah iklan sebuah layanan telepon seluler. Tetapi ada sesuatu yang membuat saya tak mengalihkan pandangan. Model yang membintangi pariwara itu sepertinya bukan sosok yang asing. Dia adalah seorang pendakwah/ustadz.

Setelah beberapa saat, saya tersadar bahwa sang model iklan adalah seorang ustadz rutin di televisi yang baru-baru ini memikat banyak penggemar dengan ceramah kocaknya. Ini agak ganjil. Bukankah umumnya bintang iklan adalah seorang artis? Mengapa seorang ustadz pun kini menjadi bintang iklan? Lebih dari itu, isi iklan itu tak kalah menarik untuk dicermati. Karena iklan itu berkisah tentang murahnya berkomunikasi dari Tanah Suci Makkah ke Tanah Air, semasa menjalankan ibadah haji atau umrah.

Materi iklan itu sangat biasa saja, sebenarnya. Tetapi menjadi tidak biasa karena dikemas dengan bungkus agama. Apakah ini normal dan bisa dibenarkan? Pikiran itu tetap terbawa bahkan ketika saya menaiki pesawat dan kemudian mengudara. Di tengah situasi itu, di dalam pesawat saya membuka-buka majalah yang saya beli di bandara. Saya betul-betul terperangah, karena di majalah itu juga termuat selembar halaman dengan dominasi warna kuning berisikan iklan penyedia layanan telepon seluler lainnya, dengan seorang ustadz kondang sebagai model iklannya. Ustadz ini lebih dulu terkenal dan memiliki penggemar yang tak kalah banyaknya. Materi iklannya pun sama, yakni tentang tarif murah berkomunikasi selama berhaji atau umrah di Makkah.

Agama Sebagai Legitimasi Bisnis

Dua fenomena ini menarik untuk diamati, setidaknya karena dua hal.

Pertama, belakangan ini penggunaan simbol-simbol dan legitimasi agama dalam aktivitas ekonomi begitu menonjol. Terlebih pada momen-momen keagamaan tertentu, intensitasnya akan semakin meningkat. Misalnya pada bulan Ramadhan atau musim haji. Gejala ini bisa disikapi secara positif maupun negatif, bergantung kepada dari sudut pandang mana kita melihatnya. Secara positif, kita bisa melihat itu sebagai bentuk peningkatan religiusitas masyarakat. Tetapi secara negatif, kenyataan seperti itu bisa dikaitkan dengan pemanfaatan agama untuk kepentingan ekonomi dan bisnis, atau yang sering diistilahkan sebagai “komodifikasi agama”.

Kedua, lahirnya gejala semacam ini tidak bisa dilepaskan dari revolusi teknologi informasi khususnya revolusi digital, yang mau tidak mau memaksa agama memasuki ruang-ruang digital agar agama tetap mampu menjadi warna dalam kehidupan masyarakat.

Baca Juga  Jangan Tergesa-gesa dalam Belajar Agama

Tetapi pada titik ini, seringkali terjadi pengkaburan konteks. Di antara dua domain (agama dan revolusi digital) itu manakah yang sebenarnya lebih dominan. Apakah agama memanfaatkan revolusi digital agar ia tetap mampu memberikan makna dan warna bagi kehidupan? Ataukah agama justru dimanfaatkan oleh kekuatan kapital yang bergerak di balik revolusi digital itu, mengingat daya tarik agama bagi masyarakat demikian tinggi dan berpotensi menjadi pengusung kapital?

Beberapa dekade silam, para sosiolog pernah meramalkan kebangkrutan agama di tengah masyarakat industrial. Preposisinya adalah bahwa ketika masyarakat menjadi semakin rasional, maka ketergantungan mereka terhadap segala hal yang berbau spiritualitas dan religius semakin berkurang. Nyatanya, ramalan itu tidak menjadi kenyataan, nihil.

Ia tidak hanya tidak terbukti, tetapi bahkan gejala masyarakat saat ini menunjukkan perkembangan yang sebaliknya. Semangat religiusitas mengalami peningkatan secara signifikan, bukan hanya pada tingkat lokal dan sporadis; tetapi kebangkitan agama itu terjadi pada level global dan serempak. Bukan hanya pada level individual, tetapi juga secara komunal dan massif.

Ustadz, Agama, dan Revolusi Digital

Karena perpaduan kebangkitan agama dan revolusi digital itu, maka sekarang ini menjadi semakin biasa, terjadi penampakan simbol-simbol dan hal-hal yang berbau agama di ruang publik secara mencolok. Di televisi, misalnya, saat ini ceramah-ceramah agama menghiasi layar kaca secara massif. Bukan dengan kemasan yang konvensional, tetapi dalam kemasan-kemasan kontemporer yang kadang-kadang justru menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai yang sedang diceramahkan.

Bahkan, seiring dengan semakin bertambahnya jumlah stasiun televisi, semakin bertambah ketat pula persaingan penyajian kemasan-kemasan agama dalam bungkus budaya populer. Sehingga bukan lagi penyajian ajaran agamanya yang menjadi hal penting melainkan kemasan dan sejauh mana mampu menarik perhatian, dan pada akhirnya keuntungan material.

Akibat lanjutannya adalah para pendakwah agama lewat televisi itu tidak lagi bisa disebut sebagai agamawan dalam arti konvensional. Di masa lalu, pengakuan terhadap kredibilitas seorang agamawan adalah karena keteladanannya. Keteladanan itu bisa berwujud dalam bentuk kesederhanaan dan kebersahajaan dalam menjalani kehidupan atau kedalaman ilmu yang diwujudkan dalam tutur kata dan perilaku yang menyejukkan. Kini susah dibayangkan itu akan terjadi.

Baca Juga  Anak Nasionalis itu Bernama Santri

Apakah keteladanan dalam bentuk kesederhanaan dan kebersahajaan bisa berlangsung, ketika seorang pendakwah dimanfaatkan oleh pelaku industri untuk kepentingan mereka? Pakaian yang mereka kenakan, misalnya, tak mungkin sederhana, karena kesempatan seperti ini akan digunakan oleh pelaku industri tertentu untuk menampakkan produknya.

Ketika seorang pendakwah memakai pakaian tertentu, hampir bisa dipastikan itu akan menjadi kecenderungan yang diikuti oleh masyarakat. Dan bagaimana pula membayangkan kesederhanaan, jika para pendakwah itu ternyata bertarif mahal.

Saya tidak tahu persis bagaimana proses seleksi seorang pendakwah menjadi juru dakwah di televisi. Tetapi satu hal yang saya yakini adalah bahwa media, termasuk televisi, saat ini merupakan bagian penting dari industri. Sebagai sebuah industri, televisi tentu akan bertumpu pada pemenuhan keuntungan. Dalam hal ini, setiap program televisi selalu didesain secara berhati-hati agar mampu mendatangkan keuntungan itu.

Program-program agama pun tak lepas dari hal itu. Sehingga pada dasarnya tayangan keagamaan di televisi didesain pula sebagai mesin pencentak keuntungan yang efektif. Ini bermakna bahwa bukan para pendakwah itu yang harus mendiktekan nilai-nilai agama dalam setiap rancangan program yang mereka lakoni, tetapi mereka adalah aktor yang harus selalu menyesuaikan diri dengan kehendak pemegang dan perancang skenario.

Dengan kata lain, sedalam apapun ilmu yang dimiliki oleh seorang agamawan atau setinggi apapun kemampuannya, sepanjang ia tidak mampu berkompromi dengan kemauan pemangku modal dan kepentingan, maka sulit dibayangkan ia akan mampu menjadi bagian dari fenomena digitalisasi agama itu.

Di Indonesia, televisi adalah media digital yang memberikan pengaruh sangat cepat pada pembentukan kognisi dan alam mental masyarakat. Dengan demikian, televisi adalah model yang dengan mudah diikuti oleh masyarakat, tak peduli baik atau buruk.

Misalnya, saya berkeyakinan bahwa salah satu faktor meningkatnya tingkat kejahatan di Indonesia adalah karena televisi secara ekspresif dan tak terkendali memberitakan kejahatan dan kriminalitas setiap saat. Disadari atau tidak, pemberitaan itu mempengaruhi cara masyarakat berpikir tentang kriminalitas sebagai mekanisme penyelesaian masalah.

Dalam situasi inilah, maka para ustadz yang kerap menghiasi layar televisi itu juga menjadi model dan idola baru masyarakat. Sayangnya bukan model dan idola yang berkaitan dengan nilai-nilai agama yang lahir, melainkan model sebagai selebritas.

Baca Juga  Berpikir Positif, Bukan Menganggap Semua Baik-Baik Saja.

Dengan sendirinya, para ustadz televisi itu tidak lagi menikmati kehidupan sebagai agamawan, tetapi lebih sebagai bagian dari kalangan selebritas. Sebagai contoh, kini tidak ada lagi bedanya seorang juru dakwah dan seorang penyanyi atau bintang film, ketika mereka sama-sama menjadi bahan berita gosip.

Ketika pendakwah telah menjelma menjadi bagian dari kalangan selebritas, maka seperti halnya selebritas yang menjadi agen penjaja budaya-budaya populer, para pendakwah selebritis itu pun akan dianggap sebagai pembawa budaya pop tetapi dalam ranah agama.

Di antara ciri budaya pop adalah bersifat temporer, fluktuatif, dan menghibur. Dengan demikian, ajaran agama sebagaimana yang didakwahkan oleh para pendakwah selebritas itu akan mengalami resiko dianggap sebagai nilai-nilai yang bersifat sementara, fluktuatif, dan semata-semata hiburan.

Bisa dibayangkan, jika agama yang sesungguhnya menjadi nilai pengatur justru diatur; agama yang bersifat abadi dan menjadi stabilisator justru dianggap sementara dan fluktuatif; sesuatu yang seharusnya menjadi tuntunan justru kini dianggap sebagai hiburan atau tontonan; maka kehadiran pendakwah-pendakwah selebritis itu tidak lain hanyalah merupakan wujud semu kebangkitan agama.

Namun ada juga sisi positif yang bisa kita ambil dari fenomena-fenomena yang telah dijelaskan di atas. Setidak-tidaknya, di permukaan, telah terjadi pembiasaan di kalangan masyarakat untuk membawa agama dalam ranah kehidupan mereka. Di samping itu, sekali lagi pada level permukaan, ekspose dakwah-dakwah agama lewat televisi itu bisa juga dimanfaatkan sebagai media pengembangan karakter bagi masyarakat. Catatannya adalah bahwa tidak seharusnya acara seperti itu mengumbar humor yang berlebihan, karena itu akan mengaburkan esensi agama.

Nilai positif itu sebenarnya tidak hanya akan terjadi pada level permukaan jika para pendakwah selebritis itu menyadari bahwa hendaknya mereka melakukan fungsi-fungsi katalisator bagi perubahan sosial yang seimbang dan bukan malah menjadi roda yang digerakkan orang lain. Roda yang digerakkan oleh setir bernama kapital.

Selebihnya, hendaknya keteladanan dalam bentuk kesederhanaan menjadi bagian yang difikirkan. Jika hal-hal seperti ini tidak bisa dilakukan, dan para penda’i selebritis itu sepenuhnya mengabdi kepada kepentingan industri, sesungguhnya keberadaan mereka tidak lebih hanyalah seperti bunga yang indah rupawan wujudnya, namun tak mengeluarkan bau apa-apa.

Pradana Boy ZTF: Resiko Menjadi Ustadz di Televisi
Editor: Yahya FR
Desainer: Galih QM
37 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds