Pada sekitar akhir 2008, Vedi R. Hadiz yang kini menjabat sebagai Professor of Asian Studies dan Direktur pada Asia Institute, University of Melbourne, sedang melakukan penelitian di Indonesia. Atas jasa kawan baik saya, Benni Setiawan, saya dihubungkan dengan sang peneliti ini. Di sebuah hotel di pusat kota Yogyakarta, kami bertemu dan berdiskusi serius bersama Vedi Hadiz tentang gerakan-gerakan sosial di Indonesia, tidak terkecuali membahas posisi Muhammadiyah dalam konteks pembentukan civil society.
Muhammadiyah adalah Payung Besar
Muhammadiyah adalah organisasi payung yang besar sekali. Tetapi ia memayungi banyak elemen berbeda-beda. Masing-masing elemen mempunyai derajat loyalitas atau rasa afiliasi terhadap Muhammadiyah yang berbeda-beda pula. Ada yang dekat, tentu ada juga yang jauh, bahkan ada yang hijrah ke tempat lain. Menurut Vedi Hadiz, Muhammadiyah itu payung besar yang cukup bervariasi dibanding yang lain.
Di Indonesia, organisasi massa yang sepadan dengan Muhammadiyah adalah NU. Sebenarnya, NU juga sama dengan Muhammadiyah. Dalam arti, ia sebagai payung yang besar, tetapi elemen-elemennya sangat variatif. Antara satu sama lain belum tentu akur, karena masing-masing memang memiliki rasa afiliasi yang berbeda-beda.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, Muhammadiyah telah menjadi salah satu embrio civil society yang paling penting. Muhammadiyah berkontribusi terhadap kemajemukan karena kondisi internalnya. Karena dalam perjalanan sejarahnya, ada berbagai kelompok civil society yang berkembang, kemudian mempunyai jalan sejarahnya sendiri. Setelah puluhan tahun ditengok kembali, satu sama lainnya ternyata memiliki jarak yang sudah lumayan jauh.
Muhammadiyah memiliki slogan yang sangat bagus, yaitu menuju “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Tetapi dalam pengamatan Vedi Hadiz, kemungkinan untuk dicapai dalam jangka waktu pendek sangat kecil. Hal ini disebabkan karena, pertama, merumuskan masyarakat Islam itu suatu perdebatannya sangat panjang. Apalagi perdebatan Islam yang sebenar-benarnya lebih panjang lagi. Kedua, merumuskan siapa Muhammadiyah yang sebenar-benarnya juga suatu perdebatan yang panjang.
Negara dan Civil Society
Menurut Vedi Hadiz, masyarakat sipil yang utama adalah kemampuan untuk merepresentasikan kepentingan anggotanya, kemampuan untuk bergerak dalam kondisi semi otonomi dari negara, dan kemampuan untuk merumuskan parameter-parameter dari ruang publik. Sebetulnya, banyak orang menganggap ada semacam hubungan zero-some, antara negara dan masyarakat. Yaitu ketika negara naik, masyarakat turun. Atau ketika masyarakat naik, negara turun. Dalam teori-teori ilmu sosial memang ada pendapat seperti itu. Tetapi, menurut Hadiz, pendapat itu salah.
Ada juga teori-teori lain yang mengatakan, bisa saja negara lemah dan masyarakat lemah, bisa juga negara kuat dan masyarakatnya kuat. Bisa kita lihat, misalnya, ketika negara lemah dan masyarakat lemah adalah negara Somalia. Mungkin bisa kita lihat negara Swedia, misalnya, negara kuat dan masyarakatnya kuat. Negara mempunyai kemampuan untuk mengatur berbagai kehidupan, misalnya memaksa untuk membayar pajak. Masyarakat juga mempunyai kemampuan untuk memperjuangkan kepentingan anggotanya, misalnya organisasi serikat buruh dan organisasi pengusaha cukup berpengaruh. Mereka relatif otonom dari negara.
Tidak ada salahnya apabila Muhammadiyah bersikap kritis terhadap pemerintah. Salah satu peran dari kelompok civil society adalah sebagai pressure group. Sebagai pressure group pantas saja Muhammadiyah mengritik pemerintah. Yang jadi persoalan adalah apakah yang akan dikritik, apakah yang dikritik itu sifatnya konstruktif untuk perkembangan civil society lebih lanjut ataukah tidak? Di sinilah, menurut Vedi Hadiz, kurang jelas.
Hal ini disebabkan antara lain karena adanya pertautan antara Muhammadiyah dan negara yang dibangun pada masa akhir Orde Baru yang menyebabkan komplikasi dalam hubungan ini. Kalau terlalu dekat, nanti dibilang di bawah ketiak pemerintah. Kalau terlalu kritis, nanti dibilang masuk ke lahan politik. Civil society itu mengemukakan argumen-argumen politik, bukan sesuatu yang di luar jalurnya. Menurut Vedi Hadiz, pendapat demikian salah.
Sebagai contoh, organisasi buruh pantas berkomentar terhadap perkembangan politik di negerinya, karena itu memang berpengaruh terhadap dirinya. Organisasi Islam juga pantas berkomentar terhadap perkembangan politik di negerinya, karena itu berpengaruh terhadap kepentingan umat Islam. Ini tidak masalah, menurut Hadiz, tetapi masalahnya adalah apa yang menjadi sasaran kritik itu.
Muhammadiyah Sedang Bimbang?
Dengan memahami latarbelakang sejarah Muhammadiyah, organisasi ini telah membuat social service untuk kepentingan umat, yang memang tidak disediakan oleh negara kolonial dan negara pasca kolonial. Jadi, organisasi Islam ini mengisi kevacuman yang negara sendiri tidak menjalankan tugasnya untuk memberikan social service.
Muhammadiyah memiliki sejarah yang panjang dalam hal ini. Hanya saja, banyak kegiatan tersebut sekarang semakin berhimpitan dengan kehidupan komersial, berhimpitan dengan tuntutan-tuntutan ekonomi pasar. Di satu pihak, amal usaha yang didirikan Muhammadiyah harus memberikan social service, tetapi di lain pihak, secara ekonomi harus terus bertahan.
Akibatnya, memang ada dilema, karena terkadang service yang diberikan itu menjadi teramat mahal. Umat yang bukan dari kelas menengah terlalu jauh untuk bisa menjangkau service yang diberikan oleh Muhammadiyah.
Solusi untuk mengatasi dilema tersebut langkah pertama yang harus diambil secara prinsip, apakah kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan Muhammadiyah bertujuan ekonomi atau sosial. Kalau secara prinsip adalah kegiatan sosial, maka yang dikejar adalah tujuan-tujuan sosial, walaupun pada akhirnya harus menanggung rugi. Kalau secara prinsip adalah kegiatan-kegiatan ekonomi, maka yang dikejar adalah tujuan-tujuan ekonomi dan tujuan-tujuan sosial harus dikurangi.
Sekarang ini, tampaknya Muhammadiyah sedang bimbang. Tapi Muhammadiyah memang harus mengambil posisi dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya. Kalau kegiatan-kegiatan Muhammadiyah untuk tujuan sosial, terus menjadi rugi, itu adalah konsekuensiya. Jika kegiatan-kegiatan untuk tujuan ekonomi, lalu ditinggal oleh umat, itu juga sebuah konsekuensi.
Muhammadiyah Masih Relevan?
Muhammadiyah akan tetap mengawal civil society di Indonesia ke depan, walaupun banyak tantangan. Masyarakat Indonesia ke depan akan mengalami diversifikasi, sehingga basis sosial Muhammadiyah tidak bisa dianggap serta-merta selalu Muhammadiyah. Misalnya, sekarang ini ada elemen-elemen baru di kancah ormas Islam, seperti PKS, Hizbut Tahrir, dan lain-lain.
Mungkin Muhammadiyah saat ini masih cukup kuat, tetapi karena organisasi ini besar, tua, dan dihormati, sehingga saat ini masih aman. Tetapi Muhammadiyah tidak bisa menganggap tantangan-tantangan tersebut di masa depan akan seperti sekarang. Tantangan yang sekarang muncul tersebut, di masa depan, bisa menjadi semakin besar.
Kalau Muhammadiyah tidak pintar memposisikan dirinya menghadapi perubahan yang dihadapi masyarakat, merespon kebutuhan-kebutuhan baru dari masyarakat, menjadi panutan untuk masyarakat Indonesia yang aspirasi, pikiran, keinginan, dan kekecewaan mereka yang semakin kompleks, Muhammadiyah jelas akan menjadi kurang relevan di masa depan.
*) Diolah dari wawancara Mu’arif dengan Vedi R. Hadiz tahun 2008 di Yogyakarta
Editor: Arif & Azaki