Perspektif

Virus Corona dan Bangsa Ngeyelan

3 Mins read

Masyarakat Indonesia itu membangun peradaban bukan dengan ilmu pengetahuan, apalagi mendasarkan diri pada basis rasionalitas untuk menimbang sebab akibat yang kemungkinan akan terjadi. Sebaliknya, intrik politik, ilham, dan firasat adalah tiga faktor utama bagaimana bangsa ini membangun dirinya. Akibatnya, pasca rejim Orde Baru tumbang, sedikit produk inovasi dan teknologi yang lahir dari rahim masyarakat Indonesia.

Karakter bangsa kita dengan tiga faktor itu kemudian membentuk semacam sikap ngeyel, pada level individu, komunitas, masyarakat, maupun negara. Di tengah karakter itu, ironisnya, kita hanya tunduk dengan narasi agama. Percaya kepada narasi agama ini memang penting, persoalannya adalah para pendakwah yang seringkali didengarkan itu justru yang memiliki karakter semacam itu pula. Ditambah dengan narasi yang tekstualis dan asal jeplak serta menghibur tentu saja.

Virus Corona dan Takdir

Lihat saja respon Abdul Shomad ketika virus Corona muncul pertama kali di Wuhan, yang menganggap itu merupakan tentara Allah untuk menyerang negara China. Sementara kelompok Muslim Uighur tidak terkena. Hal ini menurutnya, karena kelompok Muslim itu sering berwudhu, yang menandakan cuci tangan juga.

Konteks mencuci tangan bisa saja benar. Namun, menggunakan konspirasi teori seolah-olah kelompok Muslim Uighur tidak terkena itu argumen fatal. Ini karena, Iran saja dengan kelompok Muslim terbesar juga kena dan bahkan menjadi masyarakat yang terbesar yang terkena dampaknya. Sekarang, saat virus corona sudah berkembang di Indonesia, ia tidak mengklarifikasi ceramahnya, meskipun sejumlah ceramahnya yang sudah terjadwal kemudian dibatalkan dengan alasan keamanan.

Cara beragama dengan pemahaman gotak-gatuk, disambung-sambungkan tanpa adanya dasar data dan argumen ilmiah dan pemahaman yang kuat terhadap konsep jabariah yang seakan menerima takdir begitu saja secara mutlak juga memperkuat tingkat kengeyelan masyarakat kita. Jamak terdengar dalam menyikapi virus corona ini bahwasanya kematian itu takdir. Kalau memang akhirnya dijemput oleh Sang Khalik itu memang sudah jadi nasib kita.

Baca Juga  Cermin Retak: Jangan Mudah Baper

Argumen ini benar seratus persen, jika kematian ini hanya dia saja yang mengalami. Masalahnya, kematiannya ini bisa menyerang orang yang sehat yang berada di sekitarnya. Dengan kata lain, tingkat keparahannya menerima takdir menyebabkan kesulitan orang lain, yang sedang berikhtiar mencari takdir lainnya.

Bangsa Ngeyelan

Salah satu bentuk kengeyelan itu bisa dilihat dengan cara menyikapi beraktivitas di rumah. Alasan mengapa pemerintah pusat dan daerah meminta kita bekerja di rumah sekaligus meliburkan anak-anak untuk bersekolah itu untuk memutuskan mata rantai penyebaran virus. Istilah populernya dalam bahasa Inggrisnya yang sekarang kita kenal adalah social distance. Dalam arti bebasnya, menjaga jarak dengan orang lain, minimal 1, 5 meter.

Ini karena, jika orang yang terinsfeksi itu bersin dan mengeluarkan cairan, jarak yang disebutkan itu bisa menghindari orang yang berada di dekatnya terinfeksi juga.  Sebaliknya, hal itu ditanggapi sebagai momentum liburan dan jalan-jalan sambil merasa dirinya sehat dengan membawa anak-anaknya. Sementara itu, anak-anaknya sendiri tidak diberikan pengertian yang pahit bagimana virus corona ini sedang berkembang serta bagaimana mereka harus bersikap.

Telepon genggam pintar dan mahal yang dimiliki bukan digunakan untuk membaca informasi penting dan krusial, melainkan sekadar untuk swafoto dan cari hiburan film atau drakor yang menarik, sambil berkeyakinan bahwasanya virus ini tidak akan kena dengan dirinya.

Saat ada informasi melalui Whatsapp dengan data yang serius mengenai dampak virus corona sekaligus adanya peringatan orang-orang terdekat akan dibilangnya ngawur. Saat memberitahu orang tersebut ngawur, ia biasanya kemudian meyakinkan diri dengan video-video keagamaan untuk menguatkan. Bukan menyelesaikan persoalan.

Karakter semacam ini biasanya cuma diingatkan oleh satu hal yang membuatnya sadar; mengalami sendiri dan berdampak terhadap keluarga terdekatnya. Masalahnya, jika kesadaran ini harus dialami terlebih dahulu dan kemudian menyesal sementara penyebaran wabah virus baru yang berkembang begitu cepat dan kemudian memunculkan banyak korban baru, negara kita benar-benar tidak siap dengan adanya fasilitas rumah sakit. Baik yang dimiliki pemerintah maupun swasta. Kondisi ini bisa berakibat menjadi bom waktu yang akan meledak.

Baca Juga  Membela Agama, Membela Planet Bumi

Apa yang terjadi di Italia saat ini misalnya, para dokter kemudian hanya menyeleksi orang-orang yang lebih muda saja yang bisa diselamatkan. Sementara orang-orang tua, dibiarkan saja. Mengingat memang terbatasnya alat medis yang diperlukan di tengah membludaknya pasien Covid-19.

Sebelumnya, konteks yang terjadi di Italia persis mirip dengan Indonesia; ngeyel terhadap informasi yang penting. Kemudian masih keluar rumah untuk sekedar nongkrong dan jalan-jalan. Harus diakui, ikatan komunal yang kuat, membuat masyarakat Italia resisten awalnya terhadap kebijakan itu. Namun, saat semua sudah merebak dan kemudian dilakukan lockdown, tidak sedikit masyarakatnya yang akhirnya menerima.

Hanya Bisa Berdoa

Ironisnya, kondisi ini dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk memainkan polarisasi politik, baik dari kubu Jokowi maupun non-Jokowi (karena era cebong-kampret sudah selesai) dalam mengontrol wacana publik. Kritik atas lambannya Jokowi dalam melakukan tindakan dan kebijakan dianggap merongrong wibawanya yang membuat pendukungnya marah.

Sebaliknya, orang-orang yang anti-Jokowi merasa memiliki momentum untuk memainkan isu penting memblejeti kebijakan Jokowi. Padahal, di tengah adu ngeyel-ngeyelan itu, kita semua juga akan terkena virus ini jika tidak ada pemutusan rantai penyebaran virus corona. Jika sudah begini, hanya tinggal menunggu waktu dan berdoa kepada Sang Khalik saja agar bangsa ini diberikan keajaiban di tengah sikap kengeyelan akut. Bagi saya itu satu-satunya jalan dan harapan di tengah data dan informasi akurat yang tidak didengarkan.

Mengapa saya kemudian pada akhirnya menjadi fatalistik seperti jabariah? Ya, saya sudah berusaha menyebarkan informasi sebanyak mungkin akan bahaya ini, tetapi tetap dianggap sampah bagi yang membacanya.

Editor: Nabhan

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian….
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds