Bumi butuh istirahat—–Earth is taking a break. Kalimat ini saya temui pada sebuah status di media sosial. Cukup singkat tapi menggambarkan bagaimana situasi di pusat-pusat dunia yang berubah menjadi sepi akibat berhentinya aktifitas manusia. Saya termenung panjang ketika melihat suatu gambar yang menunjukkan hilangnya keramaian pada Il Piazza del Duomo, pusat kota termasyhur di Milan, Italia akibat keganasan virus corona.
Seketika ingatan saya berkelindan pada karakter Bodhi pada novel Supernova, yang diceritakan punya kemampuan untuk menjadi dan juga bisa merasakan hal yang sama pada setiap benda apa saja yang dia tatap. Jika dia melihat lalat, segala inderanya tiba-tiba seakan berubah menjadi lalat. Sembari mengingat memori itu, sejenak pandangan mata saya arahkan ke sawah dan perkebunan di sekeliling.
Tak sengaja, sebuah pertanyaan kemudian muncul di benak saya. How is it feel to be Earth ?
***
Saya larut membayangkan, bagaimana rasanya jika 80 % tubuhmu awalnya adalah hutan yang memproduksi oksigen sehingga membuatmu leluasa bernafas sekaligus menyuplai energi untuk tubuhmu berotasi. Namun, tiba-tiba hanya dalam jangka waktu sekitar 200 tahun, semua berubah dipenuhi bangunan-bangunan beton yang menghasilkan polusi sehingga membuat dadamu sesak ?
Mungkinkah sebagai bumi, kau akan marah pada manusia? yang notabenenya didaulat sebagai khalifah, bertugas untuk menjaga segala apa yang ada di dalam tubuhmu. Batin saya mendesak prihatin, sudah selayaknya Bumi marah. Dalam keseharian kita, kesakitan yang dalam justru berasal dari kekecewaan yang diperoleh karena terkhianati oleh kawan sendiri.
Manusia, berawal dari paham antroposentrisnya, kemudian menganggap bumi dan aspek yang lain adalah objek yang diperuntukkan untuk kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Pemahaman ini, juga menjadi basis dari perilaku ekonomi manusia.
Alam dengan segala kekuasannya dipandang sebagai sumber daya yang bebas dikeruk dan diolah, melalui kekuatan rasio dan sebebas insting manusia menuntun. Celakanya, ada sekitar 7,5 milliar manusia yang secara sukarela mengeksplorasi bumi agar tetap hidup. Sehingga nyaris pada setiap bagian di Bumi, dosa manusia dengan gampang ditelusuri jejaknya.
Manusia dan Alam
Kita urai satu per satu. Untuk menghasilkan makanan, proses awal, dan konvensional yang bisa kita lakukan adalah membuka lahan dengan menebangi pohon-pohon. Seiring berjalannya waktu, keinginan untuk menghasilkan sesuatu dengan instan membuat manusia menyakiti tanah.
Pupuk kimia digunakan untuk memperkuat sektor pertanian, yang kemudian mengubah struktur tanah menjadi gersang dan tak dapat dinikmati lagi oleh tumbuhan lainnya. Tak lama kemudian, kedigdayaan rasio membuat manusia semakin bertumbuh.
Alat produksi yang awalnya sederhana, dikembangkan menjadi jauh lebih revolusioner lewat kemajuan teknologi. Di awal abad 18, rivalitas cendekiawan menghasilkan suatu penemuan fenomenal; teknologi listrik, yang juga menjadi pondasi dari revolusi industri kedua.
Fase ini membuat manusia menjadi semakin ganas. Lahan-lahan hijau digusur, berganti menjadi hutan-hutan beton berwujud pabrik. Penemuan listrik pun menjadi loncatan tinggi bagi cara manusia memproduksi sesuatu; menjadi semakin cepat (effisien) dan dengan jumlah yang banyak (massif) tanpa memerlukan banyak waktu.
Kehadiran pabrik pun menjadi masalah besar bagi lingkungan. Karena tak hanya tanah yang direnggut, limbah hasil produksi pun dialirkan ke sungai-sungai sebagai wadah penampungan. Realitas akan tercemarnya sungai dan laut akibat bertumpuknya limbah hasil industri ataupun rumah tangga terpampang dengan jelas.
Hati saya semakin miris ketika membaca laporan soal matinya empat pesut (lumba-lumba) air tawar khas pulau Kalimantan di sungai Mahakam. Limbah rumah tangga maupun industri lagi-lagi menjadi penyebab utama memburuknya kualitas air di sungai Mahakam.
Setelah secara sadar menyakiti tanah, manusia beralih pada air.
***
Tak berhenti sampai disitu, manusia dengan aktifitas ekonominya bergerak untuk meracuni udara. Tak peduli jika udara adalah salah satu sumber vital manusia untuk bertahan hidup.
Emisi karbon akibat limbah pembangkit listrik dan pabrik, atau sistem pembakaran pada kendaraan punya sumbangsih besar pada pemanasan global dan perubahan iklim. Jadi air, tanah dan udara, tiga elemen penting pada Bumi menjadi saksi betapa mengerikannya aktifitas ekonomi manusia.
Sebenarnya, situasi kritis ini perlahan memunculkan kesadaran akan lingkungan dari berbagai orang. Satu dari sekian di antaranya adalah Gunter Pauli dengan konsep Ekonomi Biru-nya. Upaya untuk memadu-padankan antara aktifitas ekonomi dan keseimbangan lingkungan agaknya menempuh jalan buntu pada konsep Green Economy.
Sebabnya, konsep Green Economy dianggap mahal dan tidak solutif untuk diterapkan. Aliran yang bertumpu pada pola pikir modernisasi ekologi yang berusaha membuat proses produksi menjadi ramah lingkungan lewat mesin-mesin teknologi yang canggih. Alhasil, kritikan datang pada output proses ini berupa produk “ecolabel” yang cenderung mahal.
Maka, gagasan ekonomi biru bertumpu pada semangat untuk mengurangi limbah dengan menjadikan limbah sebagai bahan baku pada proses produksi selanjutnya, bukan berakhir sebagai hal yang tak berguna. Ide ini sesungguhnya bercermin pada cara kerja alam yang tak pernah menghasilkan sisa pada setiap proses produksinya.
Ajakan untuk menjadikan alam sebagai bahan integral dari pembangunan berkelanjutan ini juga disampaikan dengan indah lewat pidato Presiden SBY pada Konvensi Pembangunan Berkelanjutan PBB di Brasil tahun 2012 yang mengangkat tema sangat melankolis ” The future that we want “
Pembunuh Sebenarnya
Berbagai konvensi dilewati, sekian perjanjian telah disetujui. Namun, ironi tetap tak berhenti. Laporan dari IPBES [The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services] menyampaikan hal yang menyayat hati. Dalam prediksi dari 150 orang ilmuwan yang menyadur sekitar 15.000 hasil kajian, mereka mengungkapkan bahwa satu juta jenis spesies baik di darat dan di laut terancam punah akibat kerusakan ekologi.
Ketidakpedulian kita terhadap lingkungan agaknya mengganas dalam beberapa tahun terakhir. Selain sukses membunuh berbagai macam spesies, peningkatan produksi pangan manusia sebesar 300 % dalam 40 tahun terakhir juga telah mengorbankan hutan akibat perluasan budidaya pertanian dan perkebunan.
Saya pun terpikir, jika virus corona sampai tulisan ini dibuat telah membunuh hampir 8.000 orang di 152 Negara, bagaimana dengan pembunuhan berencana yang dilakukan manusia pada alam dalam beberapa abad terakhir? Siapa kira-kira yang lebih kejam? Apalagi, pada akhirnya obat penangkal pada virus ini akan ditemukan, namun pembunuhan berkelanjutan manusia pada alam adalah sesuatu yang sulit dihentikan.
Padahal, kalimat hikmah dari negara Bhutan di pegunungan Himalaya sudah mengingatkan kita “jika pohon terakhir sudah ditebang, sungai terakhir dikosongkan dan ikan terakhir telah ditangkap, saat itulah manusia menyadari bahwa uang tak memberikan kehidupan”.
Maka, terinspirasi dari tulisan seorang aktifis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), abang A.S. Rosyid, sebagaimana kita tak dapat mengembalikan setiap nyawa yang hilang akibat virus corona, manusia pun tak akan mampu memulihkan peradaban ekologis yang lenyap akibat dari aktifitas ekonomi yang sembarangan.
Jadi, virus corona mungkin menjadi pertanda yang nyata, bahwa Bumi mungkin butuh istirahat dari penatnya aktifitas manusia yang merusaknya. Misalnya saja, aktifitas bertransportasi yang menyumbang angka 70 % pada penyebab buruknya kualitas udara di Kota Jakarta yang mencapai level sangat tidak sehat.