Nama lengkapnya Kyai Kanjeng Raden Penghulu Muhammad Wardan Diponingrat. Lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada Jumat, 19 Mei 1911 dan meninggal dunia di Yogyakarta, 3 Februari 1991. Ayahnya adalah Muhammad Sangidu atau yang lebih dikenal Kyai Penghulu Kanjeng Raden Haji Muhammad Kamaludiningrat, seorang Penghulu Kraton Yogyakarta tahun 1914-1940. Seperti napak tilas dan mewarisi apa yang telah dialami oleh ayahnya, Wardan selagi hayat pernah menjadi Penghulu Kraton Yogyakarta selama 35 tahun (1956-1991).
Wardan Diponingrat
Sebagai bagian dari keluarga abdi dalem, Wardan Diponingrat memeroleh pendidikan formal di Sekolah Keluarga Kraton. Sakit yang dideritanya memaksa Wardan pindah ke Standard School Moehammadijah Suronatan, Yogyakarta. Setelah tamat, ia meneruskan jenjang pendidikannya ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah dan lulus tahun 1930. Tidak putus asa dalam menimba ilmu, Wardan memutuskan belajar di Pondok Pesantren Jamsaren Surakarta, Jawa Tengah. Di pondok inilah dirinya meneruskan pendalaman dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan.
Wardan juga tercatat pernah memperdalam bahasa Belanda dan Inggris. Tahun 1932, Wardan masuk sekolah Nederland Verbond di Surakarta yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Sementara dalam belajar bahasa Inggris, ia kerap berguru secara privat kepada seorang pengajar keturunan Tionghoa yang berasal dari Singapura. Adapun gurunya dalam bidang ilmu falak adalah H. Siraadj Dahlan, seseorang yang banyak memengaruhi pola pikir Wardan terutama dalam bidang astronomis.
Berkat gurunya tersebut, hingga kini Wardan dikenal sebagai ahli falak Indonesia yang mempopulerkan metode wujudu al-hilal. Berkat kejeniusannya dalam bidang falak, karya-karya Wardan masih menjadi bahan kajian untuk pengembangan pemikiran hisab di Indonesia. Karya Wardan yang menjadi magnum opus dalam bidang falak adalah Kitab Ilmu Falak dan Hisab.
Sejak tahun 1960, Wardan menjadi anggota aktif Majelis Tarjih. Kelebihannya dalam ilmu agama, terutama di bidang falak, berdasarkan Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta, ia mengemban amanah menjadi ketua Majelis Tarjih tingkat pusat. Sejak tahun 1963-1985, selama 22 tahun tersebut Wardan mengabdikan dirinya di Majelis Tarjih yang memberinya ruang untuk mengaplikasikan temuannya dalam bidang astronomis.
Penggagas Hisab Hakiki
Kemunculan teori hisab hakiki yang digagas Wardan sejatinya didorong oleh kegelisahannya terhadap model penentuan awal bulan kamariyah konvensional atau yang lebih dikenal dengan hisab ‘urfi. Wardan tidak setuju bila sistem perhitungan kalender didasarkan pada peredaran rata-rata Bulan mengelilingi Bumi dan ditetapkan secara konvensional sebagaimana yang terjadi pada perhitungan awal bulan kalender masehi.
Wardan menyadari bahwa konsekuensi dari metode hisab ‘urfi adalah awal bulan kamariyah tidak selalu sejalan dengan kemunculan Bulan di langit. Dalam artian, bisa lebih dahulu atau bisa bersamaan atau bisa terlambat dari kemunculan Bulan di langit. Misalnya, bulan Ramadan dalam hisab urfi ditetapkan umurnya 30 hari karena merupakan urutan bulan kesembilan. Padahal, bulan Ramadan berdasarkan kemunculan hilal di langit bisa saja berumur 29 hari.
Wardan berpendapat bahwa penentuan awal bulan kamariyah seharusnya didasarkan pada perhitungan terhadap posisi-posisi geometris matahari, bulan, dan bumi yang sebenarnya, atau yang dikenal dengan sebutan hisab hakiki. Artinya, metode hisab hakiki dilakukan dengan menghitung gerak faktual (sesungguhnya) Bulan di langit. Sehingga bermula dan berakhirnya bulan kamariyah mengacu pada kedudukan atau perjalanan Bulan benda langit tersebut.
***
Dalam teori hisab hakiki, bulan baru kamariyah dimulai apabila tanggal 29 bulan berjalan, pada saat matahari terbenam sudah terpenuhi tiga syarat secara kumulatif, yaitu: 1) telah terjadi ijtimak bulan-matahari; 2) ijtimak terjadi sebelum terbenam matahari; 3) dan bulan di atas ufuk atau belum terbenam pada saat matahari terbenam. Dengan kriteria ini, hilal dianggap sudah wujud adalah ketika matahari terbenam lebih dahulu daripada terbenamnya hilal walaupun hanya berjarak kurang dari satu menit. Apabila salah satu dari ketiga kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan tiga puluh hari dan bulan baru dimulai lusa.
Pemikiran teori hisab hakiki Wardan ini menurut ahli Falak Muhammadiyah, Susiknan Azhari, merupakan jalan tengah antara sistem hisab ijtima’ (qabla al-ghurub) dan imkanur rukyat. Karenanya, kata Susiknan, sistem wujud al-hilal ini dalam memulai tanggal 1 bulan baru pada kalender hijriah tidak semata-mata proses terjadinya ijtima’. Melainkan juga posisi hilal saat matahari terbenam menjadi pertimbangan.
Modal Penyatuan Kalender Islam Global
Pengenalan hisab hakiki pada tahun 1950an oleh Wardan ini dapat dikembangkan lebih jauh. Meski pemikiran Wardan ini belum secara tuntas menjawab persoalan bagaimana menentukan batas paling barat dan paling timur suatu daerah (matla’). Menurut Susiknan, jika temuan Wardan dikembangkan secara kolektif-partisipatif, kelahiran kalender hijirah nasional bukan sesuatu yang utopis. Bukan hanya itu, pemikiran hisab hakiki juga bisa menjadi kerangka dasar metodologis dalam penyusunan kalender Islam global.
Hal tersebut berdasarkan paparan Syamsul Anwar yang mengatakan bahwa penyatuan kalender global tidak mungkin terwujud kecuali dengan menggunakan hisab. Sebagaimana kita menggunakan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat. Sebab sangat mustahil manajemen waktu terbuat dari aktivitas mengamati visibilitas hilal. Jika menggunakan visibiltas hilal dalam menyusun sebuah kalender, maka akan berakibat pada berbedanya tanggal hijriah di berbagai tempat. Sebab cakupan rukyat bersifat terbatas pada letak geografis tertentu pada hari pertama visibilitas hilal.
Hisab memang tidak menjadi metode utama yang digunakan Nabi Muhammad tatkala meninjau awal bulan. Namun, isyarat-isyarat di dalam literatur al-Quran dan al-Hadis telah menunjukkan bahwa hisab merupakan metode yang kuat secara nash. Selain itu, perubahan metode dari rukyat ke hisab hanya peralihan metode dan sama sekali tidak mengubah hukum ibadah mahdlah.
Dengan segenap pemikiran Wardan Diponingrat yang terbilang maju di zamannya, tidak berlebihan kiranya jika kita menempatkannya sebagai sosok ulama Indonesia paling penting abad ke-20. Meski beliau bukan lulusan perguruan tinggi serta tak memiliki titel akademis apapun, dirinya mampu tampil bahkan melahirkan gagasan yang mampu bersanding dengan para pemikir lainnya. Kedudukannya sebagai Penghulu Keraton dan ketua Majelis Tarjih tingkat pusat sedikit banyak menjelaskan bahwa kiprahnya untuk bangsa begitu besar, terutama dalam membangun budaya keilmuan.
Editor: Nabhan