Feature

Warga Muhammadiyah ini Jadi Saksi Kedamaian Kota Singkawang

3 Mins read

Di pagi hari menjelang siang itu, ratusan warga Singkawang berbondong-bondong mengunjungi Kantor Walikota setempat. Tepat pada tanggal 17 Oktober 2023, Kota Singkawang merayakan ulang tahunnya ke 22, perayaan itu dibarangi dengan acara Festival HAM yang digawangi oleh empat instansi; Komnas HAM, Kantor Staf Presiden, Pemerintah Kota Singkawang, dan INFID.

Saya, beserta 3 teman media yang lain, diberi kesempatan untuk meliput acara yang cukup meriah itu. Di antara keempat orang yang hadir sebagai utusan media, hanya saya lah yang berlatar belakang Muhammadiyah, tiga yang lain dari Nahdlatul Ulama. Sesampainya di sana, kami melakukan liputan, dan dilanjutkan makan siang bersama setelah acara.

Setelah makan siang, 3 teman tadi menggiring saya ke sebuah ruangan. Saya menduga itu adalah ruang VIP yang dikhususkan untuk tempat makan siang pejabat-pejabat penting, terlihat dari desain interior dan tampilan furniture ruangan yang terkesan eksklusif. Meja-meja bundar bertaplak terhampar di sana, kami menghampiri seseorang berbaju adat, berkacamata, dan berpeci hitam.

“Ini dari media Muhammadiyah, Pak” salah satu teman memperkenalkan saya ke orang itu. Rupanya dia adalah tokoh penting yang ada di Kota Singkawang, ia adalah Ketua Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Singkawang, namanya Edy Purwanto Achmad. Dengan ramah, dia mempersilahkan saya untuk duduk bersama sembari saya memperkenalkan diri.

Edy Purwanto Achmad, Ketua PCNU Singkawang

Jujur, tak banyak pengetahuan saya tentang Singkawang sebelum bertemu Kyai Edy, begitu kami memanggilnya. Tujuh belas menit kita ngobrol, saya berkesimpulan bahwa Kyai Edy ini punya cukup banyak informasi tentang Singkawang, mulai dari sejarah, lanskap demografi, hingga kondisi sosial-masyarakatnya.

Kami menikmati perbincangan itu, dan rupanya Kyai Edy juga cukup senang dengan kehadiran kami. Setelah 45 menit mengobrol, Kyai Edy kemudian mengajak kami untuk berkunjung di gedung PCNU Singkawang yang baru. Sepanjang perjalanan, kerap kali kami melihat klenteng-klenteng berdiri. Saat masuk gang menuju kantor PCNU, kami masih mendapati klenteng-klenteng kecil didirikan di sela-sela pemukiman penduduk. “Di area kantor PCNU sini, banyak warga Tionghoanya Mas, di sini juga banyak warga dari Maduranya”. Dari sekilas info dari Kyai Edy tentang Singkawang dan dari apa yang saya lihat selama perjalanan, saya sudah bisa sedikit menyimpulkan, bagaimana kondisi kehidupan di kota ini.

Baca Juga  Belajar Moderasi Beragama di Amerika Serikat
***

Singkawang adalah kota yang berhasil menyabet tiga kali gelar kota paling toleran menurut survei Setara Institute, yakni pada tahun 2018, 2021, dan 2022. Kota itu terletak di Kalimantan Barat. Ia diapit oleh gunung-gunung dan berbatasan dengan tepi laut. Berdasarkan keterangan tour guide yang menemani kami, penamaan Singkawang diambil dari bahasa Tionghoa “San Kew Jong” yang artinya “Gunung Mulut Lautan”. Jadi masuk akal penamaan ini melihat dari kondisi demografisnya.

“Ada tiga suku besar, Mas, yang tinggal di kota Singkawang; Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Suku-suku lain juga ada seperti Jawa, Madura, Bugis, Minang, tapi mereka tidak sebanyak tiga suku tadi,” ujar Kiai Edy kepada kami. Saat itu kami berbincang di atas lantai teras gedung PCNU yang baru. Menurut keterangan Kyai Edy, gedung PCNU ini banyak mendapat bantuan dari pemerintah Kota Singkawang.

“Pembangunan Gedung PCNU ini bisa cepat diselesaikan karena bantuan hibah dana dari pemerintah Singkawang, Mas. Gedung ini dibangun di atas tanah wakaf dari Bapak Abdul Wahid,” ujar Kyai Edy.

Ia begitu bersyukur pemerintah Kota Singkawang sangat mendukung dibangunnya fasilitas-fasilitas keagamaan, seperti gedung PCNU ini.

“Saya tak lupa berterima kasih sedalam-dalamnya, kepada pemerintah Kota Singkawang, khususnya kepada Pj. Walikota yakni Bapak Sumastro dan Ketua DPRD Kota Singkawang Bapak Sujianto. Warga NU Singkawang, sungguh mengapresiasi langkah ini,” imbuh Kyai Edy.

Menurut Kyai Edy, hampir tidak pernah terdengar terjadi konflik horizontal yang dilatarbelakangi sentimen suku dan agama di Kota Singkawang. Mereka hidup damai berdampingan.

Salah satu teman penasaran mengenai potensi terjadinya konflik di Singkawang ini, yakni terkait kemungkinan terdapat preseden yang memicu percikan konflik horizontal di masyarakat, ia pun menanyakan hal itu kepada Kyai Edy.

Baca Juga  Malam jadi NU, Siang jadi Muhammadiyah: Kok Bisa?

“Ada, Mas, biasanya konfliknya itu pemicunya ya agenda politik. Hasrat-hasrat politik yang kemudian diseret-seret ke isu etnis dan agama, nah, biasanya pemicunya dari situ. Kalau konflik karena murni gesekan agama atau etnis, selama ini belum ada,” ujar Kyai Edy.

Saking asyiknya kami berbincang-bincang santai, azan zuhur pun berkumandang. Kami diajak Kyai Edy untuk salat zuhur berjamaah di Kantor PCNU Singkawang yang baru. Katanya, ini baru kali pertama Kantor PCNU dipakai salat berjamaah. “Wah, Mas Yahya jadi satu-satunya warga Muhammadiyah pertama-kali yang salat jamaah di sini,” celetuk Kyai Edy diikuti gelak tawa 3 teman yang lain.

***

Selepas salat zuhur, kami pun berpamitan kepada Kyai Edy dan beranjak untuk berkeliling-keliling di Kota Singkawang, dipandu oleh seorang tour guide yang merangkap menjadi supir. Kami mengunjungi Vihara Tri Dharma Sui Kheu Thai Pak Kung, vihara paling besar di kota Singkawang.

Masjid Raya Singkawang yang terletak 200 meter dari Vihara Tri Dharma Raya

Setelahnya, kami berkunjung ke Vihara Tri Dharma Bumi Raya, Vihara yang menjadi ikon Kota Singkawang sekaligus menjadi Vihara tertua di sana. Uniknya, 200 meter dari Vihara itu, berdiri kokoh Masjid Raya Singkawang. Pemandangan ini menyimpulkan suasana harmonis Singkawang, suasana yang digambarkan panjang lebar oleh Kyai Edy tadi.

Editor: Saleh

Yahya Fathur Rozy
39 posts

About author
Researcher | Writer | Project Manager
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds