Feature

Belajar Islam Kepada Muallaf, Apa Tidak Keliru?

2 Mins read

Berburu ke Padang datar

Dapat rusa belang kaki

Berguru kepalang ajar

Bagai bunga kembang tak jadi

***

Kebo nyusu gudel. Orang Jawa memang pintar. Termasuk bagaimana membuat rumusan tentang belajar kepada guru yang belum matang. Belajar kepada anak kecil yang belum memiliki kecukupan. Bisa ditebak bagaimana hasilnya.

Tak ada larangan belajar kepada siapapun, termasuk belajar kepada orang yang tidak seiman. Bahkan, Nabi malah menganjurkan kita berguru hingga ke negeri China. Berburu ilmu pengetahuan di manapun sepanjang untuk kemaslahatan, kenapa tidak? Tapi sangat berbeda ketika kita belajar kepada guru sebelum masak. Seperti kebo nyusu gudel. Menarik disimak di tengah kerumunan keilmuan yang tak bisa dinalar.

Kefaqihan bukan sekedar berapa ratus ayat al-Quran atau berapa puluh hadits bisa dihafal. Kefaqihan itu butuh kualitas. Pengalaman hidup dan kualitas iman. Maka Nabi SAW memberi hak terlebih dulu kepada siapa memeluk Islam dan hijrah menjadi salah satu syarat Imam shalat. Bahkan, lama belajar juga penting. Setidaknya, adab muta’allim dapat dijadikan sandaran agar tak sembarang berguru.

***

Bersyukur kita dapat saudara baru seiman. Sebut saja beberapa nama yang tiba-tiba menjadi beken dan populer menjadi da’i. Mereka mengajarkan tentang Islam kepada kita. Memang tak ada salah dalam hal belajar dan menuntut ilmu, termasuk kepada para muallaf atau komunitas baru hijrah sekalipun. Berbeda dengan “muallaf” pada agama lain yang tidak mendapatkan perlakuan spesial dan istimewa seperti halnya pada agama Islam.

Yang menarik adalah para muallaf yang baru belajar dan masuk Islam itu seakan menjadi guru terbaik. Panutan dan teladan. Bahkan, mengalahkan posisi para ulama yang sudah puluhan tahun mendalami Islam. Layaknya guru, mereka mengajari kita bagaimana cara berakidah yang lurus dan beribadah sesuai sunnah.

Baca Juga  Masjid Quba, Masjid yang Pertama Kali Dibangun oleh Nabi SAW

Dan hasilnya? Banyak yang tidak sesuai dengan pemahaman jamaah kebanyakan. Dan ini tentu sangat membedakan. Bias ini terus berlanjut, apalagi kalau kemudian dijadikan hujjah oleh sebagian muslimin. Memang tak ada persyaratan kapan seorang muallaf berhak mengajar ilmu agama yang baru dipeluk. Islam tak mengenal kerahiban. Maka siapapun berhak menyampaikan, termasuk muallaf meski satu ayat.

***

Lho… Saya bukannya tak mau belajar kepada muallaf. Belajar tentang proses mencari dan perjuangan mendapat hidayah, itu mungkin. Atau sekedar share pengalaman beragama masih mending. Tapi kemudian menjadi soal ketika mereka mengajari kita tentang cara berakidah yang lurus atau belajar beribadah sesuai sunnah.  Ya nanti dulu.. Bukan saya bermaksud takabur. Pemahaman dan pendalaman tak bisa didapat secara instan. Apalagi dengan waktu singkat dalam pandangan yang baru mengerti — seperti orang yang tertidur sekian lama kemudian terbangun dan menyalahkan semua yang telah ada—maaf, pasti naif.

Related posts
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…
Feature

Tarawih di Masjid Sayyidah Nafisah, Guru Perempuan Imam Syafi’i

3 Mins read
Sore itu, sambil menunggu waktu buka, saya mendengarkan sebuah nasyid yang disenandungkan oleh orang shaidi -warga mesir selatan- terkenal, namanya Yasin al-Tuhami….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *