Saya tak pernah mengenalnya secara mendalam, tetapi semua orang pasti kehilangannya. Seorang wartawan sejati yang mengabdi sepenuhnya untuk mengabarkan pemberitaan yang mencerahkan masyarakat. Itu sebabnya, saya memantau terus pemakaman melalui streaming YouTube. Melihat peziarah entah itu pejabat negara, pengusaha, dan wartawan semuanya memberikan penghormatan kepada Pak Jakob Oetama. Kita pun bisa belajar dari wasiat Pak Jakob Oetomo.
Wasiat Pak Jakob Oetomo
Setiap headline media koran terus menulis tentang perjalanan Pak Jakob Oetama dalam memulai karirnya sebagai seorang wartawan. Bagi generasi milenial seperti saya, mungkin hanya media Kompas yang besar sekarang dan Gramedia toko buku menjadi peninggalan berharga bagi seorang yang lahir di Borobudur itu.
Saya mencoba membaca perjalanan dari beberapa media koran yang saya baca. Untuk mengenal Pak Jakob secara lebih mendalam.
Pertama, saya menguntip tulisan Pak Suryopratomo, Dewan Redaksi Media Group pada Media Indonesia yang terbit Kamis 10 September 2020. Guru bagi Pak Jakob Oetama merupakan sebuah panggilan hidup. Jauh sebelum menjadi wartawan, ia seorang pendidik. Ia mengajar di SMP Mardi Yuana di Cipanas, Jabar dan SMP Van Lith di Matraman, Jakarta.
Pesan yang disampaikan ‘menjadi wartawan ialah panggilan hidup’. ketika seseorang memilih wartawan sebagai profesi, pekerjaan itu harus dijalani dengan harus dijalani dengan tanggung jawab. Mengapa? Karena tugas pertama ialah menghasilkan karya jurnalistik yang bisa mencerdaskan dan mencerahkan pembaca.
Menurut Pak Jakob dalam pengukuhannya gelar doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada pada 2003, ketika menulis berita, wartawan harus berada dalam kondisi in fear and trembling in anguish. Mengapa harus takut dan gelisah? Karena ketika keliru menulis berita, ia akan membuat pembacanya salah dalam memahami masalah.
Simbol Orang Jawa
Bagaimana menjadi wartawan yang terbaik agar selalu akurat selalu bisa menulis secara benar dan akurat? Pak Jakob selalu mengingatkan agar menulis harus disadari niat baik. Pekerjaan seorang wartawan itu merupakan pekerjaan mulia. Oleh karena itu, kita harus selalu melakukan dengan niat yang bersih.
Hal lain yang harus selalu menjadi bagian pekerjaan wartawan ialah sikap totalitas. “Tuhan itu tidak suka kepada orang yang bekerja setengah-setengah,” begitu pesan yang sering disampaikan dengan welas asih agar kita memahaminya.
Kedua, Tulisan Dahlan Iskan memotret bagaimana memuat perjalanan hidup Pak Jakob Oetama yang ia tulis di Dis’way pada Jumat, 11 September 2020.
Baginya seorang Pak Jakob adalah orang yang sabar, kalem, tenan, kalau berjalan tidak bergegas, kalau bicara lirih, ritme kata-katanya lamban dan wajahnya sering datar-tidak bisa terlalu kelihatan gembira atau terlalu kelihatan sedih.
Bagi Pak Dahlan, Pak Jakob merupakan sosok simbol orang Jawa yang sangat sempurna. Kesantunan Pak Jakob itu mungkin karena budaya desa di Jawa Tengah sangat merasuk ke jiwanya. Mungkin, karena roh Borobudur ikut mewarnainya. Mungkin sekali latar belakangnya sebagai guru masih terus terbawa. Mungkin pula kultur sekolah Seminari Katolik masih ada padanya–meski beliu tidak menyelesaikan seminarinya.
Kesantunan Pak Jakob dicontohkan oleh gaya pemberitaan koran yang dilahirkannnya, Kompas. Jurnalistik Kompas adalah jurnalistik yang santun. Terutama dari Tajuk Rencana, rubrik yang bagi pengkritiknya dianggap tajuk dengan gaya muter-muter.
Nyatanya Kompas menjadi media masa di Indonesia. Lalu menjadi raja toko buku: Gramedia. Raja hotel: Santika-Amaris. Dan Banyak lagi.
Tantangan Kekinian
Bahkan bisnis Kompas melebar kemana-mana, perkebunan, jalan tol dan bank–Bank Media yang kemudian dilepas. Kini, bisnis ini memiliki stasiun nasional Kompas TV yang menawarkan beragam acara inspiratif.
Dua tulisan seorang wartawan senior yang telah menceritakan ulasan Pak Jakob Oetomo kepada saya. Membuktikan beliau merupakan sosok yang tak tergantikan di media pers Indonesia. Tentu, kita semuanya akan sulit mencari penggati yang mampu memwarnai dalam dunia jurnalistik di Indonesia.
Sebagai generasi muda seperti saya, petuah-petuah Pak Jakob Oetomo menjadi wasiat dalam prinsip-prinsip jurnalistik. Di era sekarang pun, tak susah menjadi seorang wartawan. Tinggal mengetik dan membuat konten-konten dan mengabarkan kepada pengikutnya di media sosial. Sudah di anggap wartawan.
Tetapi, akurasi informasi hingga ujaran kebencian menjadi salah satu tantangannya. Setiap hari kita menemukannya itu. Entah mengabarkan, berita bohong atau tidak. Yang jelas peristiwa tidak mencerahkan pembaca. Membuat orang terkotak-kotak dan hingga sampai salah paham.
Mencerdaskan dan Mencerahkan Pembaca
Kita semua harus memegang wasiat Pak Jakob Oetomo, menulis secara akurat dan benar. Agar orang mencerdaskan dan mencerahkan pembaca. Tak hanya itu, tetapi kita harus memulanya aktivitas hati yang tulus, agar tak salah niat dalam memulainya.
Terimakasih Pak Jakob atas dedikasimu terhadap dunia jurnalistik Indonesia. Namun, kami anak-anak muda tentu akan merawat pikiran besar, nilai-nilai yang ditinggalkan akan terus mewarnai pers nasional. Selamat jalan Pak Jakob. Doa kami menyertaimu.
Editor: Nabhan