Bahlul bin Amr ash-Shairafi Abu Wahib (w. 190 H) merupakan seorang hukama yang alim. Ia lahir dan besar di Kufah pada masa khalifah Harun ar-Rasyid dan beberapa khalifah lainnya. Pada mulanya, Bahlul termasuk seseorang yang cerdas intelektualnya. Akan tetapi, Ia mengalami gangguan jiwa sehingga dikenal dengan laqab al-majnūn (si gila).
Namun, meskipun Bahlul mengalami schizophrenia, Ia bukan hanya mampu menyairkan aforisme yang penuh hikmah, tetapi juga petuah-petuah bijak yang tak kalah dengan petuah legendaris “when you want to succeed as bad as you want to breathe, then you’ll be successful” milik Eric Thomas.
Menjadi seseorang yang berbeda dengan orang pada mulanya menjadikan Bahlul sering terdiskriminasi. Cacian dan hinaan yang menyakitkan menjadi makanan kesehariannya. Sebutan “Bahlul al-Majnun” sering dilontarkan kepadanya untuk menertawakan dan mempermainkan dirinya. Sehingga Ia sering menyendiri di tempat kosong atau kuburan, karena merasa dirinya hina dan rendah.
Ada sebuah kisah menarik yang saya dapati tentang Bahlul dalam buku berjudul al-Atqiyā’ al-Akhfiyā’ al-Aṣfiyā’ karya Muhammad Ali (yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Kisah Para Wali). Dalam buku tersebut, Muhammad Ali mengutip Sariy as-Saqathi yang mengisahkan, bahwa suatu hari Ia melintasi makam. Dan tanpa diduga ada Bahlul yang berwajah melankolis sembari “ngutik-ngutik” tanah di sana.
***
“Engkau di sini tho rupanya?” as-Saqathi menyapa Bahlul.
“iya”, jawab Bahlul. “aku berada di tengah-tengah kaum yang nggak nyakitin aku. Dan ketika aku nggak berada di antara mereka, mereka nggak menggunjingku”.
Mendengar jawaban dari Bahlul itu, as-Saqathi termenung sejenak kemudian melanjutkan perkataannya, “Lul, kamu tahu nggak, harga roti sekarang sudah mahal lho”,
“Demi Allah, aku nggak peduli meski satu biji gandum seharga satu mitsqal sekalipun. Kewajiban kita itu mung beribadah kepada Allah seperti yang Allah perintahkan. Dan kewajiban Allah memberi rizki kepada kita, itu janji Allah”. Syahdan, Bahlul pergi sambil bersyair:
Wahai orang yang menikmati dunia dan hiasannya. Kedua matanya tiada pernah terlelap dari berbagai kenikmatan. Engkau habiskan usiamu untuk sesuatu yang tidak engkau ketahui. Apa kiranya yang akan engkau ketakan kepada Allah saat bertemu dengan-Nya?
Wejangan Bahlul kepada Harun ar-Rasyid
Selain kisah di atas, ada cerita menarik lainnya dari Bahlul. Bukan hanya Abu Nawas saja yang memiliki segudang cerita unik bersama dengan Harun ar-Rasyid, Bahlul pun juga demikian.
Cerita ini disampaikan oleh Fadhl bin Rabi, mentri Harun ar-Rasyid. Ketika Ia pergi haji bersama dengan khalifah kelima dinasti Abbasiyah ini, di Kufah Ia berpapasan dengan Bahlul yang sedang ngelantur. Karena Fadhl ingin memuliakan Khalifah, ia berkata kepada Bahlul:
“Woi, diamlah, Amirul Mukminin sedang lewat!”, Bentak Fadhl.
Bahlul terdiam. Ketika tandu khalifah Harun ar-Rasyid melintas tepat di sebelahnya, ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Aiman bin Nabil menceritakan kepadaku, ia berkata; Qudamah bin Abdullah al-Amiri memberitakan kepada kami bahwa ia melihat Kanjeng Nabi di Mina nunggangi unta, dan di bawah beliau ada pelana usang. Namun kanjeng Nabi nggak ngusir atau mukul, nggak pula berkata; “minggir, minggir!”.
Sedikit tambahan, terkait dengan hadits yang diberitakan oleh Bahlul, setelah saya cari, ternyata memang ada sebuah hadits yang memiliki matan demikian. Hadits tersebut saya temukan dalam Sunan ad-Dārimī, kitab al-Manāsik, bab Ramy al-Jimār Yarmīhā Rākiban, hadits nomor 1953. Selain terdapat dalam Sunan ad-Dārimī, hadits yang memiliki esensi makna yang sama juga saya temukan dalam Musnad Aḥmad, kitab Musnad al-Makkiyyīn, bab Ḥadīṡ Qudāmah ibn ‘Abdullah ibn ‘Ammār, nomor hadits 15448.
Dari apa yang dilakukan oleh Bahlul, dapat ditangkap dua hal penting; pertama, mengingat hadits yang disebutkan bahlul benar-benar ada, maka dapat dipastikan bahwa ia termasuk seorang penghafal hadits. Hebatnya, meskipun dia mengalami gangguan jiwa, hafalan-hafalan hadits masih tersusun sistematis di otaknya. Kedua, Bahlul ingin meluruskan kebesaran sultan yang ada pada diri Harun ar-Rasyid. Ia mengingatkan bahwa tunggangan Rasulullah bukan berupa kereta tandu, motor, atau bahkan mobil yang mewah. Akan tetapi hanya sebuah unta dengan pelana sederhana yang sudah kuno. Rasulullah tidak memiliki pengawal yang membukakan jalan untuk beliau dengan cambukan atau teriakan “minggir, minggir!”
***
Ketika ia mendengar ucapan Bahlul, Fadhl bin Rabi berbisik kepada khalifah, “Wahai Amirul Mukminin, dia ini Bahlul yang gila itu lho”
“Aku mengenalnya kok”, jawab Harun ar-Rasyid. “Bahlul, berbicaralah!”
“wahai Amirul Mukminin”, Bahlul menjawab dengan tegas seraya bersyair,
Anggaplah engkau telah memiliki bumi secara keseluruhan. Dan seluruh negeri tunduk kepadamu, setelah itu apa?. Bukankah tempat kembalimu esok hari adalah tanah?. Engkau kemudian dipendam dengan tanah ini kemudian tanah itu”
Nasihat Bahlul ini memberikan kekasyafan, “aha moment”, ketersingkapan batin kepada Harun ar-Rasyid. Esensi dari perkataan “si gila” ini adalah bahwa semuanya itu hanyalah titipan dari Allah. Ketika seseorang memiliki istri, suami, harta, tahta, jabatan, bahkan segala isi yang ada di bumi, setelah itu mau apa? Sekalipun engkau seorang khalifah, ketika meninggal dunia, tidak ada satupun dari materi dunia yang dibawa.
Mendengar perkataan Bahlul, Harun ar-Rasyid bertanya kepadanya, “Apakah engkau memiliki wejangan lainnya untukku wahai Bahlul”
“Ada, wahai Amirul Mukminin, barang siapa diberi Allah keelokan rupa dan kemewahan harta, lalu ia menjaga diri atas keelokannya, dan bertakwa dalam hartanya, maka ia dicatat sebagai orang-orang yang berbakti”.
Karena merasa kagum, Harun ar-Rasyid menawarkan pemberian kepada Bahlul, “aku punya sedikit pemberian kepadamu, terimalah”.
“Jangan begitu wahai Amirul Mukminin”, ucap Bahlul seraya menjauhkan tangannya dari bantuan tersebut. “berikan saja bantuan itu kepada yang butuh saja. Aku belum butuh bantuanmu”. ‒selesai‒
Hikmah yang Bisa Dipetik
Hikmah yang dapat kita petik dari cerita di atas adalah; pertama, jangan memandang rendah seseorang yang memiliki keterbelakangan mental, autis, disabilitas, ataupun difabel. Meskipun dalam perspektif psikologis seseorang yang mengalami schizophrenia berbeda dengan orang pada umumnya, akan tetapi bisa jadi ia memberikan kepada kita nilai-nilai rohani.
Ada pepatah bijak mengatakan “khuż al- ḥikmah walau min ahli an-nifāq”, ambilah hikmah walau dari orang munafik. Dari orang munafik saja, jika dapat dipetik hikmah, kita disuruh untuk mengambilnya, apalagi dengan seseorang yang masih seiman. Dalam pepatah lain dikatakan “unẓur ma qāla wa lā tanẓur man qāla”. Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan.
Kedua, dunia merupakan sebuah permainan. Lihatlah anak ketika bermain, penuh canda gurau, tertawa terbahak-bahak, berlari kesana kemari, sesekali menangis ketika terjatuh. Bila saatnya tiba, mereka akan kembali ke dekapan orang tuanya. Melepaskan lelah dipelukan bapaknya, merengkuh kasih dari belaian ibunya. Bila kehidupan dunia hanya permainan, maka tidak usah ngoyo untuk mengais kesenangan-kenenangan duniawi. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari materi yang kita punya. Semuanya milik Allah.
Maka dari itu, bersikap tawasuth dalam hubungan vertikal (ukhrawi) dengan horizontal (duniawi) itu bisa untuk dipraktikkan. Jangan terlalu banyak bermain hingga lupa orang tua. Begitu juga sebaliknya, jangan terlalu manja kepada orang tua hingga apatis dan lupa bermain, keluar rumah, ngopi, “cangkruan”, melihat kondisi sekitar, melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan. Inilah, kalau boleh pinjam istilah Muhammadiyah, disebut dengan teologi al-Maun yang patut untuk kita laksanakan.
Semoga Allah merahmati Bahlul al-Majnun, dan membalas keimanannya dengan syurga.