Inspiring

Zuhdi Zaini: Potret Keseimbangan Zikir dan Pikir

4 Mins read

Banyak sebenarnya dosen-dosen pemikiran Islam yang keren di UIN Jakarta. Cuma entah mengapa, saya hanya terkagum-kagum pada dosen yang satu ini. Beliau adalah Dr. M. Zuhdi Zaini. Di satu sisi, ia adalah intelektual dengan pikiran-pikirannya yang tajam dan sering tak terduga. Namun di sisi yang lain, beliau sering tampil layaknya seorang murabbi dengan nasehat-nasehatnya yang sejuk nan menyentuh. Itulah yang mungkin membuat saya kagum pada dosen yang juga merupakan Ketua Umum PCIM Iran ini. Sosok yang padanya saya melihat keseimbangan zikir dan pikir.

Celetukan-celetukannya sering menggugah nalar liar saya. Bagi saya, paling tidak berdasar pengalaman selama dua semester diajar oleh beliau, ia adalah sosok pendidik yang tidak hanya melakukan transfer informasi dan pengetahuan, namun juga membangun emosi para pendengarnya. Retorikanya selalu mampu menghipnotis. Seluruh mahasiswa akan terkagum saat melihatnya menyampaikan kuliah. Diksi-diksinya dan intonasi suaranya sangat menarik.

Ada satu nasehat yang membuat saya kaget ketika mendengarnya keluar dari lisan beliau. Yaitu ketika beliau laksana seorang murabbi berpesan: Kalian itu mahasiswa tafsir. Jadi dalam sehari paling tidak harus ada baca al-Quran. Bahaya jika anak tafsir tidak membaca al-Quran. Malu sama jurusan. Saya sendiri, sehari saja tidak membaca al-Quran pasti akan gelisah. Coba tanamkan hal itu dalam diri kalian.

Kesalehan Ritual

Yang menjadikan saya kaget adalah karena beliau seorang intelektual yang terkenal dengan pikiran-pikiran nakal dan liarnya. Nasehat-nasehat seperti itu, sependek yang saya dengar, amat jarang dilontarkan oleh intelektual-inetelektual seperti Dr Zuhdi. Beliau tak ubahnya seperti para Ayatullah di Iran sebagaimana yang digambarkan oleh Pradana Boy dalam catatan perjalanannya menyusuri negeri Persia. Di sana Pradana menemukan suatu fakta yang unik dan menarik tentang hubungan kesalehan ritual dan pemikiran intelektual.

Baca Juga  Mengapa Kristen jatuh Sekuler dan Islam tetap Autentik?

Para ulama Iran, setidaknya yang ia jumpai, rata-rata berpikiran terbuka. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan filsafat. Justru di semua lembaga pendidikan di sana, filsafat dipelajari. Filsafat merupakan salah satu landasan penting bagi semua generasi muda terpelajar di Iran. Makanya tidak mengherankan, pemikiran mereka menyangkut hal-hal keagamaan bersifat sangat terbuka, yang dalam ukuran Indonesia hari ini sangat mungkin disebut liberal. Namun menariknya, mereka senantiasa menjaga kesalehan ritual. Begitulah gambaran secara umum tentang sosok Zuhdi Zaini.

Rindu dengan Iran

Selain nasehat di atas, ada satu hal lagi yang membuat saya menganggap Dr Zuhdi adalah orang yang saleh secara ritual, yakni ketika suatu hari beliau menyatakan kerinduannya akan suasana di Iran. Di kampus Iran, cerita beliau, hampir di setiap sudut kampus ada halaqah-halaqah keilmuan. Kampus hampir tidak pernah sepi dan kering dari mahasiswa yang berkumpul dengan semangatnya dalam satu forum untuk berdiskusi.

Di UIN Jakarta sebenarnya juga ada halaqah-halaqah semacam itu. Namun beliau mengatakan sangat berbeda dengan yang ada di Iran. Lingkar-lingkar diskusi yang ada di UIN Jakarta sangat amburadul atau kapuraca dalam bahasa kaili. Abu rokok, gelas atau bungkus minuman berserakan di mana-mana. Di Iran, lanjut beliau, diskusi melingkarnya sangat rapih.

Orang-orang datang dan duduk melingkar. Kemudian sebelum dimulai, peserta diskusi mengambil wudhu terlebih dulu. Bukan untuk shalat, tapi dengan maksud agar diskusi yang akan dijalankan diberkahi Allah dan senantiasa dibimbing pada kebenaran. Terus membaca al-Quran barang selembar secara keliling. Sangat islami bukan? Barulah setelah kedua ritual tersebut dilakukan, diskusi akan digelar.

Di situ lah perang pendapat dimulai. Antara satu dengan yang lain akan saling bantah. Segala uneg-uneg dikeluarkan. Dari yang soft dan biasa saja, sampai kepada yang liar dan nakal. Mereka menjadikan forum sebagai tempat pertarungan bebas segala pikiran. Inilah yang mungkin dalam bahasa orang-orang sering disebut: liberal dalam pikiran dan konservatif pada perbuatan. Artinya tetap taat dan beradab. Pak Zuhdi, begitu kami menyapa beliau, dengan sangat jujur berceritera bahwa dirinya sangat rindu dengan suasana itu.

Baca Juga  Tentang Soekarno dan Cita-cita Kesetaraan Gender

Pemikiran Intelektual

Dialog di kelas yang saya paling ingat dengan beliau adalah ketika membahas tentang ijma’ (kesepakatan seluruh ulama Islam dalam satu perkara) dan pembahasan tentang mana yang lebih tinggi akal atau al-Quran.

Pertama, ijma’. Saat itu pemakalah mengatakan dengan mengutip pendapat Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, bahwa kini ijma‘ telah tiada. Ia telah berhenti pada masa sahabat. Sebab wilayah Islam saat itu masih kecil. Hanya terbatas pada Makkah dan Madinah. Jadi memungkinkan untuk seluruh ulama Islam untuk bersepakat dalam satu perkara. Berbeda dengan sekarang di mana dunia Islam begitu luas. Terbentang jauh dari Timur ke Barat, dan dari Asia ke Afrika.

Namun ketika itu saya membantah. Saya mengatakan ijma’ masih ada pada zaman sekarang. Buktinya adalah adanya Konferensi Ulama Islam Internasional di Yordania. Di mana para dari seluruh dunia Islam berkumpul dan membuat kesepakatan dalam satu perkara. Setelah saya dan pemakalah selesai berdebat barulah beliau masuk.

Ia mengatakan bahwa untuk masalah yang kami perdebatkan, solusinya cuma dua: Segera rekonstruksi definisi ijma’ agar tetap relevan dengan masa kini atau hapus saja ijma’ sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam. Karena pada nyatanya ia tak bisa lagi dipakai. 

Kemudian untuk masalah yang kedua, akal dan wahyu. Beliau ternyata sempat mendengar pembahasan seorang pemakalah yang mengatakan bahwa seluruh pemikiran yang merupakan produksi akal harus disandarkan pada wahyu. Karena hasil dari akal bisa saja salah. Beliau membantah pernyataan tersebut.

Saat itu ia dengan gagahnya seperti berdemonstrasi di depan mahasiswanya mengatakan: Akal tidak pernah salah. Akal akan selalu mengantarkan anda pada kebenaran. Yang salah itu bukan akal tapi nafsu yang menggerogoti akal. Adapun terkait mana lebih tinggi akal atau wahyu, beliau mengatakan akal. Karena tanpa akal, wahyu tidak akan memiliki fungsi kebudayaan dan kemanusiaan sama sekali. Persis seperti pandangan Fazlu Rahman yang pernah saya baca.

Baca Juga  Giordano Bruno, Seorang Martir Ilmu Pengetahuan
***

Sungguh apa yang beliau sampaikan saat itu benar-benar menggugah saya dan menambah kekaguman saya kepada beliau. Namun kini, semua nasehat-nasehatnya dan pikiran-pikirannya akan menjadi hal yang paling terakhir kami dengar dari lisan beliau. Kemarin malam (18 Februari 2020), saya mendapatkan kabar bahwa beliau telah tiada. Beliau sudah pergi meninggalkan kami semua, menghadap kekasihnya. Telinga kami tidak akan pernah lagi mendengar kelakar-kelakar beliau. Di mana yang begitu popular dan hampir seluruh mahasiswanya menghafalnya, yaitu slogan beliau: Cerdas dikit. Tololnya jangan dibanyakin.

Kepergiannya menggoreskan sedih yang mendalam pada mahasiswa-mahasiswanya. Bahkan banyak yang masih mengiranya adalah mimpi. Tapi apa hendak dikata, takdir beliau telah menghantarkannya kepada keharibaan Allah. Akhirnya kami hanya mampu berkata: selamat jalan murabbi. Semoga seluruh ibadah, pengabdian, dan perjuanganmu diterima di sisi Allah. Selamat mengakhiri penat dan semoga khusnul khatimah.

Editor: Yahya FR
Avatar
21 posts

About author
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Ciputat
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds