Tarikh

Doktrin Messianisme dalam Sejarah Agama-agama Wahyu

4 Mins read

Sebuah bangsa yang senantiasa dijajah oleh bangsa lain yang jauh lebih kuat, baik dari segi ekonomi, politik maupun kebudayaan, niscaya menyandang mental inferior. Apalagi ketika bangsa tersebut tak memiliki daya upaya sedikit pun disebabkan karena lemah secara ekonomi, kalah secara politik, dan tersingkir oleh kebudayaan bangsa lain.

Dalam kondisi mental inferior muncul perasaan frustasi sambil mengkhayalkan bakal datangnya “juru selamat” yang diyakini dapat membebaskan mereka dari penjajahan yang penuh penderitaan. Semakin lama, impian “juru selamat” menjadi semacam semangat untuk terus bertahan hidup sambil menanti-nanti kedatangannya. Dalam kondisi mental semacam inilah sesungguhnya doktrin messianisme lahir.

Messianisme

Messianisme merupakan sebuah doktrin penantian akan kedatangan “sang juru selamat” yang diyakini bakal membebaskan suatu bangsa dari belenggu penjajahan. Secara kharfiah, messianisme berasal kata “messiah” (Ibrani). Artinya, secara etimologis, sepadan dengan makna kata “al-masih” dalam bahasa Arab.

Dalam konteks bahasa Arab, kata “al-masih” berarti “yang diusap.” Akan tetapi, pemaknaan secara literal ini, dalam konteks tradisi Yahudi, hanya sekedar untuk simbol. Dalam tradisi Yahudi, terdapat kebiasaan membasuh kaki dengan minyak zaitun untuk mengangkat seseorang yang dipuja-puja dan dikultuskan. Sosok tersebut dianggap sebagai tokoh spiritual atau sang pemimpin (raja) yang diyakini akan menyelamatkan bangsa ini dari penindasan. Tokoh spiritual atau sang pemimpin tersebut diberi julukan “Sang Messiah.”

Sesungguhnya, doktrin Messianisme sudah berusia kurang lebih 3000 tahun. Doktrin ini berasal dari tradisi bangsa Yahudi keturunan Nabi Ibrahim. Mereka adalah bangsa yang selalu ditindas oleh bangsa-bangsa lain. Bangsa ini harus hidup terlunta-lunta akibat kalah secara politik dengan bangsa-bangsa lain. 

Kita bisa mengambil beberapa pelajaran dari peristiwa sejarah bangsa ini. Setiap situasi penindasan senantiasa berpotensi melahirkan sosok pahlawan. Misalnya, sewaktu bangsa Yahudi ditindas oleh Fir’aun (Ramses II), kehadiran Nabi Musa‘ alaihis-salam yang berhasil menyelamatkan bangsanya kemudian dianggap sebagai “Sang Messiah.” Nabi Musa adalah tokoh spiritual dan pemimpin umat Yahudi pasca kehidupan di Mesir.

Baca Juga  Jilbab dan Cadar: Warisan Tradisi Pra-Islam?

Keterputusasaan Sebuah Bangsa

Pasca Nabi Musa, kehadiran sosok Yusa’ bin Nun yang berhasil memimpin bangsa Yahudi menaklukkan Palestina juga telah dianggap sebagai “Sang Messiah.” Karakteristik Yusa’ bin Nun lain dengan pendahulunya, Nabi Musa. Jika Nabi Musa adalah seorang tokoh spiritual dan pemimpin umat, maka Yusa’ bin Nun adalah pemimpin yang militeristik. Sekalipun demikian, dalam pandangan kaum Yahudi, julukan “Sang Messiah” tetap layak disandang oleh penerus Nabi Musa ini.

Pada abad Ketujuh Sebelum Masehi (SM), ketika bangsa Yahudi ditindas oleh Assyurbanipal (Assyur) dan Nebukednezar (Babilonia), kehadiran sosok Ezra (‘Uzair) dan Jeremiah juga dianggap sebagai “Sang Messiah.” Penghormatan kaum Yahudi kepada sosok Ezra sangat keterlaluan, karena mereka menganggap sosoknya melampaui sifat-sifat manusia. Adapun sosok Jeremiah, sekalipun oleh kalangan sejarawan Muslim dianggap sebagai “nabi palsu,” tetapi perannya cukup signifikan dalam konteks pembaruan spiritual kaum Yahudi pasca pembuangan dari Babilonia.

Pada tahun 135 M, ketika bangsa Yahudi ditindas oleh Romawi di bawah pimpinan Titus, mereka sedang menanti-nanti kedatangan “Sang Messiah” seperti yang dikabarkan oleh Nabi Musa. Pada masa-masa menjelang penaklukan Jerusalem oleh panglima Titus dari Romawi, di kalangan bangsa Yahudi telah hadir seorang nabi Tuhan yang diabaikan oleh para rahib. Oleh sebagian kalangan Yahudi, kehadiran sosok Nabi Isa ‘alaihis-salam juga dianggap sebagai “Sang Messiah.” Tampaknya, tradisi memberikan gelar “Sang Messiah” menjadi fenomena umum bagi bangsa ini untuk menghormati dan mengagungkan seorang tokoh atau pemimpin.

Jika ditilik secara psikologis dan sosiologis, doktrin messianisme merupakan luapan ekspresi keterputusasaan sebuah bangsa dalam menghadapi kehidupan yang selalu ditindas oleh bangsa-bangsa lain. Dalam keterputusasaan, terselip sebuah pengharapan akan datangnya “juru selamat” yang akan membawa mereka kepada kehidupan bebas dan merdeka. Walaupun pada mulanya paham messianisme merupakan sebuah luapan ekspresi psikologis dalam konteks sosiologis yang cukup luas, pada akhirnya keyakinan semacam ini menjadi doktrin teologis yang hingga saat ini masih tetap kokoh bertahan.

Baca Juga  Kapan Permusyawaratan Tertinggi Pertama Muhammadiyah Digelar?

Al-Masih dan Imam Mahdi

Messianisme merupakan bagian pokok dalam ajaran Yahudi dan Nasrani. Sementara dalam konteks ajaran Islam, karena sesungguhnya risalah Islamiyah merupakan mata rantai dari estafet kenabian sebelumnya, sudah barang tentu messianisme menjadi bagian dari doktrin agama ini. Sekalipun tidak sekental dua agama Semitik sebelumnya.

Dalam doktrin Islam memang dikenal konsep “al-masih” dan “imam al-mahdi.” Kedua konsep ini memang masih menjadi perdebatan di kalangan ulama, khususnya tentang imam al-mahdi. Adapun konsep al-masih, menurut keyakinan umat Islam, hanya ditujukan kepada sosok Nabi Isa ‘alaihis-salam. Dalam Al-Qur’an, setiap kali menyebut nama Nabi Isa selalu diikuti dengan penyebutan julukan ini, al-masih. Tentu saja keyakinan semacam ini cukup berbeda dengan tradisi Yahudi yang lebih luas cakupan pemahaman tentang “sang messiah.”

Adapun mengenai sosok imam al-mahdi, yang konon bakal datang bersamaan dengan kebangkitan kembali Nabi Isa Al-Masih pada detik-detik akhir zaman, memiliki subtansi yang hampir mirip dengan doktrin messianisme. Dalam beberapa aspek, konsep imam al-mahdi memang menyerupai konsep messianisme. Mungkin yang sedikit membedakan keduanya dalam konteks teologis. Jika kedatangan “sang messiah,” dalam tradisi Yahudi, mengandung makna psikologis dan sosiologis, maka konsep imam al-mahdi, dalam tradisi Islam, lebih mengarah pada konteks teologis.

Dalam catatan perjalanan sejarah umat Islam, doktrin tentang imam al-mahdi sempat diusung dan dipropagandakan secara sistematis oleh kaum Syi’ah, sebuah sekte dalam Islam yang mengikatkan diri sebagai pengikut Imam Ali bin Abi Thalib. Berbeda dengan kaum Sunni, bagi kelompok Syi’i, doktrin mahdiisme (kedatangan imam al-mahdi) merupakan bagian dari pilar-pilar keimanan mereka. Dari sinilah titik awal perselisihan teologis antara kaum sunni dan syi’i hingga saat ini. Perbedaan pendapat dalam memahami konsep imam al-mahdi ini tidak pernah mencapai titik temu di antara dua kelompok umat Islam ini.

Juru Selamat di Indonesia

Selanjutnya, doktrin teologi kaum Syi’ah yang meyakini kehadiran imam al-mahdi sebagai salah satu bagian dari pilar keimanan menjadi identitas politik kelompok ini. Sekalipun pada mulanya doktrin ini murni berawal dari persoalan teologis, tetapi pada akhirnya merambah ke wilayah politik. Setelah kaum Syi’ah memegang kekuasaan di Iran, maka konsep imamah merambah ke wilayah politik karena cukup strategis untuk melegitimasi kekuasaan. 

Baca Juga  Harato Pusako Tinggi, Harato Pusako Randah: Hukum Kewarisan dalam Adat Minangkabau

Doktrin messianisme ala Islam ini memang masih terus menjadi perdebatan sengit yang hingga kini tidak pernah mencapai kata sepakat. Bahkan, ulama kaum Sunni tidak banyak membahas persoalan ini. Sementara para ulama dari kaum syi’i telah melegitimasi doktrin ini menjadi bagian dari pilar-pilar keimanan dalam Islam. Pada akhirnya, konsep mahdiisme tidak hanya sekedar menjadi doktrin teologis, tetapi juga bernuansa politis.

Tampaknya, doktrin messianisme tidak hanya dikenal dalam tradisi Yahudi saja. Latar belakang psikologis dan sosiologis kelahiran doktrin ini memang berlaku dalam konteks umum. Artinya, siapapun orangnya dan di manapun tempat tinggalnya, jika dalam kondisi lemah dan terjajah sementara tidak ada daya upaya untuk melakukan perlawanan, maka pada saat itulah muncul “khayalan” tentang “sang penyelamat” yang bakal membebaskannya dari penjajahan.

Dalam konteks sejarah bangsa Indonesia, khususnya dalam ruang lingkup budaya Jawa, kita mendapati konsep yang sejenis dengan messianisme. Dalam literatur Jawa dikenal konsep “Ratu Adil” atau “Satria Piningit.” Layaknya bangsa Yahudi yang berkali-kali ditindas oleh bangsa lain, bangsa Indonesia yang pernah dijajah oleh bangsa lain selama berabad-abad mengenal konsep ini.

***

Dalam situasi terjajah memang sangat menyengsarakan. Kehidupan yang serba sengsara membawa kepada psikologi keterputusasaan. Di tengah-tengah rasa putus asa, orang-orang Jawa mengandaikan datangannya “Sang Pemimpin” yang bakal membebaskan mereka dari penjajahan. Lewat bumbu-bumbu mistik, kepercayaan terhadap “Ratu Adil” atau “Satria Piningit” menjadi mitos yang mengakar dalam khazanah kebudayaan Indonesia. 

Dengan demikian, sekalipun menggunakan terminilogi yang berbeda-beda, konsep “Al-Masih”, “Imam Al-Mahdi,” “Ratu Adil,” ataupun “Satria Piningit” memiliki kesamaan visi dan konteks. Visinya menghendaki “penyelamatan.” Konteksnya berupa situasi tertindas yang dialami oleh suatu kelompok atau bangsa.

Editor: Nabhan

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *