Sebelumnya, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai definisi shalat dhuha. Shalat dhuha ialah salat sunah yang dikerjakan pada permulaan siang, yaitu pada waktu naiknya matahari sampai matahari berkulminasi yaitu berada di tengah. Hal ini berdasarkan hadis Nabi saw riwayat Abu Hurairah:
أَوْصَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَقَالَ عِتْبَانُ بْنُ مَالِكٍ غَدَا عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بَعْدَ مَا امْتَدَّ النَّهَارُ وَصَفَفْنَا وَرَاءَهُ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ.
[رواه البخاري]
Artinya: “Nabi saw telah mewasiatkan aku agar melaksanakan salat dhuha dua raka’at. Dan ‘Itban bin Malik berkata: Aku pernah bersama Rasulullah saw dan Abu Bakar ra di waktu pagi hari hingga siang mulai meninggi, lalu kami berbaris di belakangnya kemudian salat dua raka’at.” [HR al-Bukhari]
Salat secara etimologi berarti doa. Doa adalah keinginan yang ditujukan kepada Allah SWT. Sedangkan secara terminologi, salat adalah ucapan dan perbuatan dalam bentuk tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Dalam pengertian terminologi ini, hakikat doa tidak terlepas dari salat, karena dalam ucapan (bacaan) yang dibaca terdapat permohonan kepada Allah, sebagaimana tergambar dalam bacaan dan perbuatan salat betapa pelakunya merendahkan diri di hadapan Allah seraya mengakui keagungannya.
Terlepas dari jenis salat, baik itu salat fardhu maupun salat sunat, pada hakikatnya salat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jika seorang hamba dekat dengan Allah, maka Allah akan mengabulkan doanya, sebagaimana firman Allah:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ.
[البقرة، 2: 186]
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” [QS. al-Baqarah (2): 186]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa tidak ada salat yang khusus untuk meminta rezeki, termasuk salat dhuha. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi kedudukan salat dhuha sebagai suatu ibadah sunat yang sangat dianjurkan oleh Nabi SAW.
Adapun tentang doa shalat dhuha yang sudah umum dibaca oleh masyarakat muslim itu tidak ditemukan di dalam kitab-kitab hadis maupun kitab-kitab fikih. Tidak ditemukan hadis yang menerangkan dan mengajarkan lafal-lafal atau doa-doa tertentu setelah selesai menunaikan shalat dhuha.
Sejauh ini, lafaz doa tersebut ada dalam kitab Syarah Minhaj dan I’anatut-Thalibin. Meskipun doa itu tidak berasal dari Nabi SAW, hal itu tidak berarti kita tidak boleh membaca doa tersebut setelah menunaikan salat dhuha, karena doa itu tidak dibaca dalam salat. Yang tidak boleh adalah meyakini bahwa doa itu berasal dari Nabi saw dan harus dibaca setelah shalat dhuha.
Di dalam ushul fikih kita mengenal lafaz amar (perintah) yaitu tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan. Setiap lafaz amar menunjuk kepada dan menuntut suatu maksud tertentu.
Lafaz amar tersebut memiliki beberapa tuntutan, salah satunya adalah untuk doa. Amar yang diucapkan oleh seorang hamba kepada Tuhannya tentunya tidak dapat dikatakan sebagai amar dalam arti sebagai perintah. Oleh karena itu, amar yang terdapat pada lafaz “Wa in kâna harâman fa thahhirhu … ” adalah amar yang bermakna permohonan (doa).
Wallahu a’lam bish-shawab.