Tidak hanya mengubah cara bagaimana masyarakat berkomunikasi, platform digital juga memberikan pelbagai kemungkinan setiap individu untuk menjadi semacam mikro-selebriti dengan banyaknya followers dan viewers yang dimiliki. Untuk menjadi mikro-selebriti, orang tidak perlu menjadi sesuatu; memiliki pendidikan tinggi dengan kuliah di kampus terkenal dan hebat, mempunyai spesialisasi terhadap bidang tertentu dalam pendidikan, ataupun telah mengikuti spesialisasi tertentu di bidang yang ditekuni.
Asalkan apa yang yang diproduksinya laku, ya persetan dengan yang namanya otoritas, yang dibangun melalui pendidikan, ketekunan, dan kerja keras untuk berkhidmat di bidang tertentu. Yang perlu dilakukan adalah provokasi, berani, sekaligus konsisten terus-menerus memproduksi konten.
Perubahan Platform Digital
Terkait dengan hal itu, saya bukan miris saat membaca artikelnya Iqbal Aji Daryono, tetapi justru malah ketawa terkait dengan artikelnya dimuat di detik.com 18 Februari 2020 dengan judul, Matinya Informasi di Tangan Youtuber. Tulisan itu mengkritik kehadiran Youtuber yang kemudian mematikan kerja-kerja wartawan melalui media online sekaligus media online terkait dengan seretnya iklan yang mereka dapatkan di tengah beralihnya iklan yang didominasi oleh Google melalui adsense-nya.
Ini karena, kehadirannya sebagai mikro-selebriti yang didengarkan oleh para pengagumnya untuk bicara apa saja juga mematikan fungsi dan kerja-kerja para intelektual yang memiliki otoritas dibidangnya sehingga tidak bisa bersuara secara luas terkait isu yang didalaminya. Kehadiran Youtuber, sebenarnya predator baru dalam ekosistem digital, yang bisa menggantikan siapa saja. Kini para Youtuber ini yang mematikan nasib para buzzers di media sosial di tengah sepinya dukung-mendukung politik seperti Pilkada dan Pilpres.
Bandul ekonomi dan politik yang fokus terhadap dunia teks yang selama ini dimiliki oleh para buzzers, baik di Twitter dan Facebook kini telah berganti kepada audio-visual, dalam hal ini podcast dan video. Karena itu, orang kemudian berlomba-lomba membuat dua hal tersebut; memproduksi konten video di Youtube yang kemudian bisa dipindahkan untuk menjadi podcast dengan menghilangkan gambarnya. Jika, para buzzers ini tidak beralih seperti yang mereka lakukan, ya siap-siap saja tergilas juga seperti para intelektual yang mereka cibir.
Harus diakui, di tengah era kematian pakar, bakulan apa saja bisa menguntungkan sekaligus berbahaya. Dalam taraf tertentu justru bisa menjerumuskan, apabila orang tidak memiliki otoritas di bidang tertentu. Meskipun harus diakui, pasarnya sudah terbentuk yang terlihat dari banyaknya followers yang dimiliki sehingga seorang mikro-selebriti memungkinkan untuk menangguk untung dari produksi konten yang dibikin.
Kasus terbaru terkait dengan Dedy Susanto, ahli psikoterapi, yang mengaku-ngaku sebagai psikolog dengan membuka konsultasi persoalan psikologi, misalnya, justru mencelakakan para pasiennya yang sebenarnya ingin menyembuhkan diri. Bukan disembuhkan, Dedy malah melakukan pelecehan seksual dengan kerentanan korban.
Kekalahan Regulasi
Kehadiran Rocky Gerung yang dianggap sebagai Profesor Filsafat yang diundang oleh pelbagai universitas dan ruang-ruang diskusi juga mengalami proses hal yang sama. Orang sangat kagum bagaimana ia membangun retorik publik yang memiliki pertautan di tengah polarisasi Pilpres.
Kehadirannya, dengan demikian, menggantikan para intelektual kampus, yang dianggap tidak kritis kepada pemerintah seperti yang dilakukan oleh Rocky Gerung. Ia seperti oase intelektual dalam masyarakat Indonesia yang membutuhkan seorang penyelamat. Setelah Pilpres selesai dan kemudian akunnya dibajak, satu-satunya medium yang digunakan oleh Rocky kini ILC.
Dengan biaya yang cukup murah sekaligus pasar yang tersedia, menjadi mikro-selebriti merupakan lahan yang masih terbuka lebar. Siapapun bisa melakukannya dan mengerjakan apa saja. Asalkan ia memiliki ceruk pasar yang diambil.
Kondisi ini tidak bisa dicegah, apalagi diatur dengan sebuah regulasi. Platform digital adalah sebuah pasar, di mana setiap individu memiliki peluang yang “sama” untuk bersaing dan mendapatkan perhatian dari publik Indonesia. Boleh saja kamu menganggap seorang mikro-selebriti itu bodoh dan enggak berfaedah, tapi kalau ada yang melihat dan kemudian membagikannya ke publik sebagai sesuatu yang dianggap penting, lalu kamu bisa apa?
Ya, gerundulan dengan jengkel di ruang-ruang informal bisa saja, tetapi itu tidak menyelesaikan persoalan.
Apa yang Perlu Dilakukan?
Yang perlu dilakukan, jika kamu memiliki otoritas atas keilmuan tertentu yang dilakukan adalah dengan memulai melakukannya sebagai selemah-lemahnya iman; menggunakan akun media sosial, menyebarkan informasi yang dianggap penting menurutmu dengan menyesuaikan otoritas di bidang yang kamu geluti.
Jika kemudian memungkinkan dan siap, ya menggunakan Youtube untuk menyebarkan gagasanmu yang dianggap penting. Hal ini sudah dilakukan oleh Martin Surjaya dengan membuat video yang berisi mengenai Filsafat dan Persoalan di dalamnya.
Ya, tidak mudah menjalankannya dan sangat melelahkan, apalagi bersaing dengan mikro-selebriti yang sudah tumbuh besar dan memiliki followers begitu banyak. Apalagi, mereka mengerjakan itu bukan waktu luang, melainkan karena memang pekerjaannya disitu.. Setidaknya itu langkah pertama yang bisa dilakukan untuk memulainya.
Di sisi lain, jika tidak bisa melakukannya, setidaknya membangun semacam sensor diri terkait dengan informasi yang sampai kepada orang-orang terdekat sebagai bentuk kampanye literasi digital dengan mempertanyakan siapa yang menyampaikan, bagaimana proses pendidikan sebelumnya, dan dalam konteks apa ia menyampaikan hal tersebut.
Editor: Nabhan