Inspiring

Politik Kebangsaan Muhammadiyah: Pelopor Nasionalisme Indonesia

3 Mins read

Sewaktu Muhammadiyah dideklarasikan (1912), nusantara masih dalam kondisi tercerai-berai. Bangsa Indonesia belum terbentuk. Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi pilar pendiri NKRI ini belum mengenal konsep ”bangsa” (nation) dan ”negara” (state), apalagi ”negara-bangsa” (nation-state). Tetapi nalar kebangsaan sudah melekat dalam imaji para pendiri dan pengurus Muhammadiyah. Lewat keputusan Tanwir tahun 1969 (Ponorogo), Muhammadiyah bercita-cita membentuk ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”

Muhammadiyah

Selama tiga periode pertama kepemimpinan Muhammadiyah (KH. Ahmad Dahlan, KH. Ibrahim, dan KH. Hisyam) tidak banyak menyinggung perdebatan tentang visi kebangsaan. Tetapi gagasan tentang persatuan umat menjadi visi bersama para pendiri Muhammadiyah. Setelah memasuki periode kepemimpinan KH. Mas Mansur (1936-1942) dan Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953), Muhammadiyah baru berperan aktif dalam merumuskan visi kebangsaan Indonesia. Konstelasi politik nasional pada waktu itu memang memaksa ormas Islam modernis ini terlibat langsung dalam perjuangan politik demi merebut kemerdekaan.

Lewat kepemimpinan KH. Mas Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo, Muhammadiyah memainkan peran politik kebangsaan yang cukup signifikan. KH. Kedua tokoh Muhammadiyah ini dikenal sebagai ulama, intelektual, dan aktivis pergerakan nasional. Secara tidak langsung, Muhammadiyah turut memberikan warna tersendiri dalam proses pembentukan visi kebangsaan Indonesia.

Di samping sebagai tokoh pergerakan nasional dan intelektual yang cemerlang, KH. Mas Mansur adalah seorang ideolog besar. Kepemimpinan KH. Mas Mansur di Persyarikatan Muhammadiyah tidak kalah pentingnya dengan kiprahnya di pentas perpolitikan nasional. Sebagai seorang ideolog, KH. Mas Mansur termasuk tokoh yang paling berjasa dalam membentuk dan mengisi jiwa gerakan Muhammadiyah (Mustafa Kamal Pasha, Adabi Darban, 2003).

Sikap KH. Mas Mansur sangat tegas kepada pemerintah kolonial Belanda. Sikapnya yang cukup tegas ketika menentang ordonasi guru dan pencatatan perkawinan oleh pemerintah Belanda. Di bawah kepemimpinannya, pada tahun 1937, lewat kongres XXVI, Muhammadiyah mencanangkan program perbaikan ekonomi bagi bumi putra (bangsa). Lewat kebijakan ini, Mas Mansur menghendaki agar bangsa Indonesia kuat dan mandiri secara ekonomi.

Baca Juga  Mengapa Jumlah Kyai di Muhammadiyah Semakin Menurun?

Di bawah kepemimpinan KH. Mas Mansur, Muhammadiyah menentang ordonansi sidang dan mengganti semua istilah Hindia Belanda dengan bahasa Indonesia (Melayu). Pada kongres XXVIII di Medan (1939), Muhammadiyah mendukung gerakan kebangkitan nasional yang dipelopori oleh kaum muda di tanah air dalam menggunakan bahasa nasional.

Menjelang kemerdekaan (1942), Muhammadiyah kembali memainkan berperan aktif dalam politik kebangsaan, khususnya pada periode kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo. Ki Bagus Hadikusumo juga dikenal sebagai ideolog besar. Perannya dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) cukup besar dalam merumuskan Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar (UUD).

Pada mulanya, Ki Bagus Hadikusumo adalah tokoh yang sangat getol memperjuangkan Islam dalam konstitusi negara. Dalam perumusan Preambule UUD 45, tokoh Muhammadiyah ini lebih sepakat mengacu pada Piagam Jakarta yang menggunakan struktur redaksi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya.”

Sikap keras Ki Bagus Hadikusumo hampir saja melahirkan perpecahan di kalangan PPKI. Jika unsur Islam dimasukkan ke dalam konstitusi negara, maka orang-orang dari Indonesia Timur mengancam memisahkan diri. Lewat diplomasi Mr. Kasman Singodimejo, seorang tokoh Muhammadiyah pula, Ki Bagus Hadikusumo merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan bangsa (HS. Prodjokusumo, 1983).

Meskipun secara eksplisit tidak dapat menerapkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, tetapi secara implisit umat Islam berhasil menerapkan ajaran tauhid sebagai sila pertama. Hasilnya, semua kalangan umat beragama di Indonesia menyepakati rumusan sila pertama tersebut. Umat Islam harus berbangga hati karena secara politik telah berhasil mewujudkan ajaran tauhid sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.

Karena usulan atas rumusan sila pertama merupakan buah dari perjuangan Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Kasman Singodimejo, maka Muhammadiyah patut berbangga hati karena dua tokohnya berhasil memperjuangkan rumusan Dasar Negara Republik Indonesia.

Baca Juga  Tarmizi Taher: 'MATI' di Era Klenik

Visi Kebangsaan

Muhammadiyah tidak bercita-cita mendirikan ”Negara Islam”, tetapi justru berupaya mewujudkan ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Dalam Khittah Ujung Pandang (1971), Muhammadiyah merumuskan diri sebagai gerakan dakwah Islam yang beramal dalam bidang kehidupan manusia dan masyarakat. Muhammadiyah tidak memasuki politik praktis sebagai bidang garapan. Persyarikatan ini juga tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak berafiliasi pada suatu partai atau organisasi apapun.

Muhammadiyah memandang bahwa proses membangun masyarakat jauh lebih sulit ketimbang mendirikan sebuah negara. Menurut Amien Rais (2009), proses mendirikan sebuah negara harus melewati kekuasaan politik. Kekuasaan politik itu bisa diraih lewat proses demokrasi melalui pemilu, bisa juga lewat kudeta atau pemberontakan. Atas dasar ini, Muhammadiyah tidak percaya bahwa misi keislaman bisa dilaksanakan semata-mata lewat kekuasaan. Sebab, kekuasaan itu sangat rapuh. Menurut mantan ketua PP Muhammadiyah ini, proses membangun masyarakat jauh lebih langgeng. Menurutnya, masyarakat adalah kumpulan dari tiap individu yang membentuk sebuah bangsa dengan segala macam aspirasi, impian, dan cita-cita. Dalam konteks inilah, Muhammadiyah tidak membidik Negara Islam, tetapi mewujudkan ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”

Tampaknya, para pendiri dan tokoh Muhammadiyah telah menyadari betul konsekuensi dari cita-cita terbentuknya ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Cita-cita ini jauh lebih luhur dan langgeng ketimbang menghendaki terbentuknya sebuah Negara Islam. Membentuk sebuah negara membutuhkan kekuasaan politik. Padahal, menurut Amien Rais, kekuasaan politik itu rapuh. Sementara membentuk masyarakat membutuhkan proses transformasi mental, gagasan, cara hidup, dan etika.

Berdasarkan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH), Persyarikatan Muhammadiyah menjalankan misi berjuang mengajak semua komponen bangsa untuk mengatur dan membangun tanah air agar menjadi masyarakat yang adil dan makmur yang diridlai Allah swt.

Baca Juga  Syekh Nawawi al-Bantani: Pendidikan itu Harus Menggembirakan!
Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *