Perspektif

Kisah Nabi Musa dan Ramadan #DiRumahAja

3 Mins read

Ramadan identik dengan bulan untuk meningkatkan ibadah guna meraih predikat takwa. Selain berpuasa, dikerjakan pula ibadah tarawih, tadarus al-Qur’an, i’tikaf di masjid pada 10 malam terakhir Ramadan, hingga memperbanyak bersedekah. Tahun ini, Ramadan datang di tengah musim pandemi Covid-19 yang telah menimbulkan banyak korban jiwa. Dengan kondisi tersebut, Ramadan kali ini dijalani dengan sepenuhnya di rumah. Kita pun dapat belajar dari kisah Nabi Musa.

Musibah ini datang dari Allah, untuk menguji siapa diantara hamba-Nya yang beriman dan bersabar. Karena itu, musibah ini perlu dihadapi dengan pikiran dan sikap positif. Kendati tidak bisa melakukan tarawih berjamaah dan i’tikaf di masjid, seluruh rangkaian ibadah tetap bisa dijalankan di rumah bersama keluarga tercinta, dengan penuh kedamaian dan kekhusukan.

Kisah Nabi Musa

Menjadikan rumah sebagai pusat aktivitas beribadah, menggantikan masjid, karena alasan keamanan dan keselamatan orang-orang mukmin pernah ada contohnya dalam al-Qur’an.

Kisah Nabi Musa dan kaumnya ini diabadikan dalam QS Yunus: 87, yang artinya “Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: “Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman“.

Dalam al-Jami li Ahkam al-Qur’an, Imam al-Qurtubhi menceritakan bahwa kejadian ini terjadi di zaman Nabi Musa. Pada awalnya Nabi Musa dan seluruh pengikutnya tidak menjalankan ibadah shalat melainkan di masjid. Perintah untuk menjalankan shalat di masjid itu dijadikan sebagai sarana syiar agama dan dakwah kepada masyarakat luas. Nabi Musa pun lantas mendapatkan perintah dari Allah untuk berdakwah kepada Fir’aun dan kaumnya agar bertauhid kepada Allah.

Baca Juga  Ingin Covid-19 Segera Tuntas? Bumikan Paham Moderasi Islam!

Fir’aun—atas saran dari Haman—justru melawan. Dengan kekuasaan dan kekuatan besar di genggamannya, Fir’aun justru mendaku sebagai tuhan. Ia memaksa seluruh rakyatnya untuk menyembah dirinya. Mereka yang melawan dan enggan menyembah diperkusi dan dibunuh. Ketika menyadari bahwa istrinya, Asiyah binti Muzahim, beriman kepada Allah, Fir’aun pun murka. Segera, ia perintah pasukannya untuk menyiksa istrinya hingga meninggal.

Nabi Musa dan pengikutnya dijadikan musuh utama kerajaan. Untuk menghentikan, mematikan dakwah Nabi Musa, Fir’aun mengerahkan bala pasukannya untuk menutup dan menghancurkan semua masjid.

Karena kondisi yang demikian berbahaya, turunlah ayat tersebut yang memerintahkan kepada para pengikut Nabi Musa untuk tetap tinggal di rumah, menjalankan ibadah salat secara diam-diam di rumah supaya tidak terdeteksi oleh Fir’aun. Strategi itu diambil agar Nabi Musa dan pengikutnya selamat.

Ramadan #DiRumahAja

Menurut Ibn Katsir, dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-Adzim, ayat yang menggambarkan kisah Nabi Musa ini bisa dipahami melalui dua lensa. Pertama, dalam kondisi yang mengkhawatirkan, membahayakan keselamatan jiwa. Pelaksanaan shalat yang semula biasa dilakukan di masjid secara berjamaah dapat dipindahkan ke rumah sampai kondisi aman kembali.

Pesannya jelas, bahwa dalam keadaan darurat, maka rumah dialihfungsikan sebagai tempat beribadah sementara pengganti masjid. Saat itu, Nabi Musa dan pengikutnya menjalankan ibadah di rumah untuk menghindari ancaman Fir’aun. Ketika umat Islam saat ini sedang dihadapkan dengan bahaya pandemi Covid-19 yang telah banyak menyebabkan kematian, maka aktivitas ibadah Ramadhan dapat dijalankan #DiRumahAja.

Inilah sisi humanisme Islam. Aturan dan hukumnya tidak rigid. Keselamatan jiwa diprioritaskan. Jika keluar ke masjid berbahaya, diperintah untuk beribadah di rumah. Karena itulah, ormas-ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan MUI pun sudah mengeluarkan fatwa mengenai penggantian shalat Jum’at dengan shalat dzuhur di rumah.

Baca Juga  Strategi Konselor Berbasis Spirituality Learning Project

Jika hingga nanti bulan Ramadhan datang belum ada tanda-tanda Covid-19 ini menurun, tarawih pun sebaiknya dilakukan di rumah bersama keluarga. Hikmahnya, selain dapat meningkatkan kedekatan, kebersamaan dengan keluarga inti, beribadah bersama keluarga juga meningkatkan kualitas menuju keluarga sakinah.

Perbanyak Salat

Kedua, menurut Ibn Katsir, ayat diatas juga bisa dipahami bahwa dalam menghadapi situasi yang membahayakan. Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk memperbanyak ibadah seperti membaca kitab al-Qur’an, dzikir dan membaca istighfar memohon ampunan kepada Allah Swt.

Secara lebih khusus, umat Muslim diperintahkan untuk melakukan berbagai bentuk ibadah shalat. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS al-Baqarah: 45 “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.”

Rasulullah telah mengajarkan agar dalam menghadapi masalah, hendaknya orang yang beriman lebih rajin melaksanakan salat.

Dari Hudzaifah, ia berkata: “Apabila Rasulullah menemui suatu kesulitan, maka beliau segera mengerjakan shalat”. Rasulullah mengajarkan berbagai macam ibadah shalat sunnah yang dapat dilakukan di rumah. Dari Abdillah ibn Syaqiq berkata: Saya bertanya kepada Aisyah RA tentang shalat tathawwu’nya Rasulullah. Aisyah menjawab: “Rasulullah shalat di rumahku 4 rakaat sebelum shalat dhuhur, lalu kemudian shalat berjamaah di masjid. Ketika masuk ke rumahku, Rasulullah shalat 2 rakaat. Setelah Rasulullah shalat maghrib berjamaah di masjid, setelah masuk rumah Rasulullah kembali shalat 2 rakaat, lalu shalat berjamaah di masjid dan ketika pulang kembali ke rumah Rasulullah shalat dua rakaat.” [HR Muslim] 

Urgensi melakukan shalat ketika menghadapi musibah juga terlihat dari perilaku para sahabat Rasulullah, yang melakukan salat dalam menghadapi musibah itu bahkan di pinggir jalan.

Dari Unaiyyah ibn Abdirrahman dari ayahnya bahwa Ibnu Abbas pernah diberi kabar meninggalnya saudara laki-lakinya yang bernama Qutsam, sementara Ibn Abbas dalam perjalanan. Kemudian Ibn Abbas mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un), menepi ke pinggir jalan, mengikat kendarannya, dan kemudian melaksanakan shalat dua raka’at. Setelah itu Ibn Abbas membaca ayat “Dan minta tolonglah dengan sabar dan shalat” tersebut.

Baca Juga  Peci Hitam: Simbol Kepribadian dan Nasionalisme

***

Dengan demikian, belajar dari kisah Nabi Musa dan Ibnu Abbas ra di atas, ketika masjid ditutup sementara, itu bukan alasan untuk tidak memperbanyak shalat kita. Dengan Ramadhan #DiRumahAja, kita memiliki peluang untuk untuk melakukan berbagai bentuk ibadah sebagai upaya mencari pertolongan dari Allah agar umat dan bangsa selamat dari pandemi Covid-19 ini.

Dengan Ramadan #DiRumahAja, kita berharap pahala dan pertolongan dari Allah Swt segera turun dan pandemi ini segera berakhir. Amin.

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds