Perspektif

Hari Lahir dan Fakta Terkait Bahasa Indonesia yang Luput dari Perhatian Publik

4 Mins read

Tanggal 2 Mei kemarin, telah jamak diketahui masyarakat Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Akan tetapi, fakta bahwa tanggal 2 Mei  juga merupakan hari lahir bahasa Indonesia, belum diketahui. Pandangan umum selama ini menyatakan bahwa bahasa Indonesia lahir dalam kongres pemuda II yang diselenggarakan pada tanggal 28 Oktober 1928 atau yang lebih dikenal dengan Hari Sumpah Pemuda.

Memang, pada tanggal tersebut bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa persatuan. Tetapi, istilah bahasa Indonesia telah dimunculkan oleh M. Tabrani sejak kongres pemuda pertama yang diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 1926. Apabila Tabrani tidak bersikukuh pentingnya nama Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, maka tidak mustahil bila kita tidak memiliki bahasa Indonesia, melainkan bahasa Melayulah yang menjadi bahasa pemersatu negara kepulauan terbesar di dunia ini.

Dalam buku yang berjudul Masa-masa Awal Bahasa Indonesia, Harimurti Kridalaksana seorang linguis dari Universitas Indonesia mengaskan temuannya bahwa hari lahir bahasa Indonesia adalah tanggal 2 Mei. Kridalaksana menyatakan tanpa ragu bila kelahiran bahasa Indonesia adalah 2 Mei, yaitu ketika M. Tabrani menyatakan bahwa bahasa bangsa Indonesia haruslah bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu.

Di penghujung kongres pemuda pertama yang terselenggara selama tiga hari, mulai 30 April sampai dengan 2 Mei 1926, tokoh-tokoh pemuda menyusun resolusi. Salah satu pemuda yang diberi tugas dalam penyusunan resolusi tersebut adalah M. Yamin. Dalam resolusinya, Yamin mengajukan konsep yang berbunyi;

“Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah satoe, tanah air Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa satoe, bangsa Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean Bahasa Melajoe”.

Konsep Yamin tersebut disetujui oleh Djamaloedin Adinegoro, namun ditolak oleh Tabrani. Menurut Tabrani, nama bahasa persatuan seharusnya bukan Bahasa Melayu, melainkan Bahasa Indonesia. Bila bahasa Indonesia belum ada, Tabrani mengusulkan hendaknya bahasa tersebut dilahirkan pelalui kongres pemuda pertama.

Baca Juga  Rakyat Sudah Berani, Kenapa Harus Ditakut-takuti?
***

Tulisan ini tidak hendak mengoreksi pelaksanaan bulan bahasa dari bulan Oktober menjadi bulan Mei. Akan tetapi, harapannya adalah memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai momen-momen penting dari bahasa yang telah mempersatukan lebih dari 200 juta jiwa penduduk Indonesia dari beragam latar belakang budaya dan bahasa daerah ini.

Pencetusan nama “Bahasa Indonesia” merupakan bagian penting dari sejarah bahasa persatuan ini. Karena meski bahasa yang dimaksud tidak berbeda jauh dengan bahasa Melayu yang dituturkan oleh sebagian besar masyarakat Asia Tenggara, pemberian nama “Bahasa Indonesia” dapat memperkuat identitas.

Hal itu disebabkan bahasa terwujud bukan semata-mata berlatar dari sistem ujaran yang membentuk sistem makna, melainkan lebih didasari oleh sikap, persepsi, dan kesepakatan penuturnya. Contoh yang dapat memperjelas uraian tersebut adalah fenomena yang terjadi pada penutur bahasa Urdu dan bahasa Hindi.

Ketika orang Pakistan yang berbahasa Urdu bertemu dengan orang India yang berbahasa Hindi, mereka tidak akan mengalami kesulitan berkomunikasi karena kedua bahasa tersebut memiliki sistem makna yang mirip. Meski demikian, penutur dari masing-masing bahasa akan menyatakan jikalau kedua bahasa tersebut berbeda.

Orang Pakistan akan menyebut bahasa yang dituturkannya adalah bahasa Urdu, sedangkan orang India akan tetap menyatakan bahasa yang dituturkannya adalah bahasa Hindi. Untuk membedakan dua bahasa yang memiliki kemiripan sistem makna tersebut, masing-masing pihak memberikan identitas khusus, yakni Aksara Arab untuk menuliskan bahasa Urdu dan Aksara Dewanagari untuk bahasa Hindi.

Semenjak diberi nama, bahasa Indonesia telah berusia hampir satu abad, tepatnya 94 tahun. Dalam perjalanan usianya, bahasa ini telah berjasa meleburkan ego kedaerahan dari setiap masyarakat Indonesia, sehingga mereka bersatu dan membentuk suatu sistem masyarakat negara yang harmonis.

Baca Juga  Karakter Hanif: Autentitas Manusia Rohani

Di usianya yang tak bisa dibilang muda, tantangan bahasa Indonesiapun ikut berkembang. Tidak hanya tantangan untuk bertahan menjadi identitas bangsa yang bisa dengan bangga dituturkan oleh masyarakat Indonesia, melainkan juga tantangan akan kesiapan bahasa ini untuk ditingkatan fungsinya menjadi bahasa Internasional.

***

Untuk merealisasikan hal tersebut, ada beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintah bersama para pegiat bahasa Indonesia diantaranya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 57 tahun 2014 tentang peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional dan pengadaan pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) yang tersebar di berbagai universitas di Indonesia dan beberapa lembaga kursus swasta.

Nyatanya, tak banyak yang peduli dengan internasionalisasi bahasa Indonesia. Fenomena yang ada menunjukkan bahasa Indonesia sering dinomorduakan di negaranya sendiri. Contohnya adalah banyak orang Indonesia yang justru merasa lebih berkelas ketika menggunakan bahasa asing, memberi merek produk dengan nama asing, dan mencampur tuturan bahasa Indonesia dengan bahasa asing yang sering kali tidak begitu perlu.

Memang di samping itu ada beberapa keadaan yang menjadikan bahasa Indonesia mengalami kendala internasionalisasi, salah satunya jumlah kosakata. Kosakata bahasa Indonesia jumlahnya memang masih sangat sedikit.

Bila kita berkaca pada bahasa Inggris yang telah menjadi bahasa Internasional, kosakatanya sudah mencapai 1.022.000. Sedangkan bahasa Indonesia di KBBI edisi terbaru, jumlah kosakatanya masih 91.000.

Meski demikian, internasionalisasi tak melulu soal menjadikan bahasa ini sebagai bahasa pengantar (lingua franca) dalam pergaulan internasional yang setara dengan bahasa Inggris. Akan tetapi, internasionalisasi bahasa Indonesia bisa juga ditujukan untuk mengenalkan bahasa Indonesia kepada masyarakat internasional. Keuntungan yang bisa diperoleh dari hal ini adalah nilai budaya bangsa Indonesia yang syarat dengan kearifan lokal semakin dikenal   masyarakat dunia.

Baca Juga  Masa Depan Pendidikan di Era Pandemi

Saat ini, ketangguhan para pegiat bahasa untuk memperjuangkan peningkatan fungsi bahasa Indonesia sedang diuji. Program BIPA yang selama hampir 30 tahun menjadi alat diplomasi lunak yang efektif harus ikut tersandung langkahnya karena wabah yang menyerang dunia di awal tahun 2020 yaitu covid-19.

***

Nyatanya, virus yang juga dikenal luas dengan sebutan virus corona yang mewabah ke seluruh dunia itu tidak hanya menghajar sektor kesehatan dan ekonomi, melainkan diplomasi kebahasaan juga tak luput dari dampaknya. Beberapa program BIPA yang biasanya mulai diselenggarakan setiap pertengahan tahun, tahun ini harus ditunda untuk waktu yang belum bisa ditentukan.

Satu di antaranya adalah program Critical Language Scholarship (CLS) yang biasanya diselenggarakan di Universitas Negeri Malang pada bulan Juni—Agustus, resmi dibatalkan. Tidak hanya itu, pelajar BIPA yang sudah belajar di Indonesia ditarik pulang oleh negara masing-masing lebih cepat dari waktu yang dijadwalkan.

Selain itu, pemberangkatan calon pengajar bahasa Indonesia ke berbagai negara masa tugas 2020 oleh Badan Bahasa Kemdikbud dan seleksi calon pengajar BIPA masa tugas 2021 juga ditunda. Pembatalan dan penundaan program-program BIPA berakibat pada penundaan riset-riset yang ditujukan untuk perbaikan kualitas pembelajaran.

Dari situasi pandemi dunia keBIPAan hendaknya menjadi cermat dalam menemukan dan mengatasi kelemahan unsur-unsur pembelajaran mulai dari bahan ajar, metode mengajar, media, ataupun perangkat evaluasinya. Adapun sejarah panjang bahasa Indonesia selayaknya dapat kita jadikan sebagai bahan renungan untuk lebih menghargai dan berkomitmen untuk melestarikan bahasa Indonesia.

Editor: Yahya FR
Avatar
1 posts

About author
Diah Ayu Puspitasari. Mahasiswa S2 PBI UM, Pengajar di Program BIPA JSI Universitas Negeri Malang, Kader IMM Malang Raya.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds