Memenuhi ‘tantangan’ redaktur dan founder Alif.ID, kami berusaha sekuat tenaga untuk membalasnya dengan tuntutan: harus riang gembira! Kok pakai istilah sekuat tenaga? Iya, soalnya di Muhammadiyah memang sulit ditemukan kelakar atawa guyonan gitu. Harus pakai riang gembira pula? Ya iya, karena ‘tantangan’ yang dimaksud bukan ngajak tawuran, tapi untuk mengukur seberapa kuat selera—dan mungkin bisa dikatakan stamina—humor di kalangan aktivis Muhammadiyah dan NU.
Mas Hamzah Sahal telah menyampaikan ‘tantangan’ dengan cara mengirim ‘undangan’ lewat “Tiga Olok-Olok NU untuk Muhammadiyah” (baca di sini) yang kemudian kami publis ulang dengan judul “Begini Tiga Olok-Olok NU untuk Muhammadiyah” (baca di sini). Ada tiga bahan olok-olokan dari orang NU untuk Muhammadiyah. Pertama, tentang penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal yang jujur saja ini seakan-akan jadi ‘gesekan abadi’ antara Muhammadiyah dan NU. Kedua, tentang berkat tahlilan yang kadang masih diliputi rasa gengsi dari orang Muhammadiyah. Ketiga, tentang anekdot orang Madura yang kelewat masyhur dengan satirenya.
Nah, bagaimana respon pembaca IBTimes.ID dan Alif.ID? Khusus pembaca IBTimes.ID beragam warna komentar. Ada yang misuh-misuh (malah dianggap provokasi) dan ini paling banyak komennya. Ada yang memberi apresiasi positif, bahkan nambahin beberapa anekdot. Dan ada pula yang hanya kasih kode like tanda afirmatif. Tapi kita jujur bahwa konten tersebut memang langsung viral.
Merangkum beberapa bahan anekdot tentang hubungan antara Muhammadiyah dan NU, kami memilih tiga tema sindiran ringan. Tapi mohon jangan sepaneng apalagi sewot ya, wong ini cuma sindiran kok.
Pertama, Tentang Kirim Doa
Orang NU memang punya tradisi yang kuat dalam hal ritual. Termasuk ritual kirim doa kepada orang yang baru saja meninggal dunia. Tapi, menurut orang Muhammadiyah, ritual yang demikian dianggap tidak ada tuntunannya dalam agama Islam. Masing-masing debat dengan argumentasi yang berbeda, ngotot tidak mau kalah. Akhirnya, muncul analogi seperti ini:
NU: “Orang NU kalau kirim doa untuk orang yang meninggal dunia pasti sampai lah. Wong kirim SMS aja sampai ke tujuannya kok!”
MD: “Iya, orang kirim SMS kan ada tanda bukti kirimnya (notifikasi). Lha, kalau kirim doa untuk orang yang meninggal dunia, mana tanda bukti terkirimnya?”
Kedua, Tarawih Orang NU dan Muhammadiyah
Orang Muhammadiyah dianggap minimalis dalam praktik ibadah. Bacaan doa dzikir pilih yang ringkas. Shalat tarawih pilih yang 11 rakaat, bukan yang 23 rakaat.
NU: “Identitas orang beribadah yang minimalis itu ya Muhammadiyah. Tarawih aja pilih yang 11 rakaat.”
MD: “Iya, Muhammadiyah memang pilih yang 11 rakaat. Tapi kok ada yang terasa aneh ya mas. Orang NU tarawih 23 rakaat, tapi kok selesainya lebih cepat dari tarawih orang Muhammadiyah yang pilih 11 rakaat?”
Ketiga, Tentang Islam Nusantara
Wacana atau mungkin paradigma Islam Nusantara sudah menjadi identitas gerakan NU. Sedangkan orang Muhammadiyah menggunakan istilah Islam Berkemajuan. Islam Nusantara (sependek pengetahuan kami) adalah terjemahan dari prinsip Islam yang rahmatan lil ‘alamin yang berakar dari budaya Nusantara. Sedangkan Islam Berkemajuan (juga sependek pengetahuan kami) adalah paradigma Islam modernis plus progresif yang selalu memperbarui konsep-konsep beragama agar senafas dengan perubahan zaman.
Tapi ada sedikit ganjalan di kalangan orang Muhammadiyah ketika membaca paradigma Islam Nusantara dalam praktiknya.
Kira-kira begini ganjalannya: “Islam Nusantara tapi kok terasa lebih kental tradisi Arabnya ya. Literatur yang dipelajari orang NU jelas berbahasa Arab. Bahkan nama-nama para aktivis NU banyak yang diambil dari istilah atau nama Arab. Kok kayak kebalikan dari orang Muhammadiyah yang bacaannya kebarat-baratan dan nama-nama para aktivisnya justru Njawani, hehe.”
Nah, begitu kira-kira guyonan orang Muhammadiyah untuk NU. Sudah impas undangannya njih mas, hehe.
Editor: Nabhan