Perspektif

Memantapkan Keberagamaan di Tengah Pandemi

4 Mins read

Pandemi virus corona jenis baru penyebab COVID-19 tidak hanya memberi kepastian duka. Justru lebih banyak ketidakpastian yang timbul karenanya. Ketidakpastian itu datang dari polah tingkah manusia. Terutama berkaitan dengan riuh informasi yang seperti bah. Namun, ternyata kita bisa belajar memantapkan keberagamaan di tengah pandemi.

Memantapkan Keberagamaan di Tengah Pandemi

Dari yang mempergunakan dalih sains hingga agama. Di beragam media, pejabat publik, tokoh publik, yang dikenal sebagai ustaz atau mubalig, hingga rakyat biasa sama cerewetnya. Jauh hari sebelum kasus positif COVID-19 pertama di Indonesia muncul ke publik, sekian pejabat yang memiliki otoritas (kekuasaan dan keilmuan) justru mengebiri temuan ilmu pengetahuan berkenaan dengan virus ini.

Kita tentu tidak bisa lupa dengan pernyataan “corona tidak tahan panas”, atau “corona akan mati dengan sendirinya karena cuaca panas”. Padahal penjelasan ilmiahnya tidak habis sampai di situ saja. Bahwa panas matahari baik untuk mempertahankan atau menambah daya tahan tubuh manusia. Virus corona pada akhirnya memang berpeluang kalah saat bersarang pada manusia yang daya tahan tubuhnya kuat. Maka, berjemur menjadi salah satu anjuran yang disarankan para ahli medis.

Senada, seorang yang dikenal sebagai ustaz dengan gegabah menyatakan bahwasanya corona adalah tentara Allah. Kedua pernyataan ini dampaknya meluber tak keruan. Jika kelas menengah atas yang memiliki akses informasi dan pengetahuan berhasil tak terpengaruh. Lain halnya dengan masyarakat di akar rumput (jumlahnya jauh lebih besar) yang tidak punya pemahaman literasi cukup.

Pernyataan menteri yang disiarkan berbagai media massa, serta ustaz yang sehari-hari kajiannya diminati begitu banyak orang sudah sah dianggap sebagai kebenaran. Mereka tidak hendak menilik lebih jauh apalagi mengkritisi informasi yang datang dari orang-orang yang selama ini dikenal memiliki otoritas.

Dalam kegaduhan dan kesimpangsiuran informasi itulah, cendekiawan muslim M. Quraish Shihab menulis “coretan” yang disusun menjadi buku berjudul Corona Ujian Tuhan (Sikap Muslim Menghadapinya). Buku ini bisa diunduh gratis oleh siapapun. Dapat digunakan sebagai bahan untuk memantapkan keberagamaan di tengah pandemi.

Baca Juga  Muktamar Muhammadiyah yang Menggembirakan

Perubahan Praktik Agama

Sampai bulan Ramadan memasuki 10 hari terakhir, kasus pandemi COVID-19 di Indonesia belum menunjukkan tren penurunan. Di beberapa daerah, kurva kasus positif COVID-19 memang cenderung landai. Salah satunya karena pemberlakuan pembatasan aktivitas sosial yang diresmikan dengan sebutan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Namun demikian, pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair Surabaya memberi imbauan agar kita tak lengah. Setelah PSBB usai, bukan tidak mungkin daerah-daerah ini akan mengalami pelonjakan angka positif COVID-19. Temuan mutakhir menyatakan virus corona jenis baru ini ada yang masa inkubasinya lebih dari 14 hari (masa pemberlakuan PSBB).

Maka, sudah tepat imbauan yang disampaikan MUI dan sejumlah cendekiawan muslim untuk salat tarawih dan idul fitri di rumah saja. Termasuk meniadakan sementara silaturahmi fisik, dengan saudara di lain daerah misalnya, kita lebih dianjurkan untuk melakukan silaturahmi daring.

Meskipun dalam praktiknya di akar rumput, imbauan untuk beribadah di rumah itu tidak serta merta diterapkan begitu saja. Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PBNU) Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur  mengeluarkan panduan ibadah Ramadan dan Syawal dengan konteks kedaerahan. Kawasan berzona merah atau dekat dengan zona merah dianjurkan tidak menggelar salat tarawih di masjid atau musala.

Namun, bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan yang jauh dari temuan kasus COVID-19 masih diperbolehkan menggelar jamaah tarawih, salat jumat, hingga Idul Fitri di masjid. Dengan catatan menerapkan protokol kesehatan COVID-19. Panduan ini pun disusun sebelum ada temuan kasus positif COVID-19 di Bojonegoro.

Meneladani Sikap Rasul

Dalam buku tipis ini, Shihab menghamparkan sejumlah kisah kesejarahan mengenai perubahan praktik agama baik di masa Nabi Muhammad SAW. Muhammad sendiri dikisahkan melaksanakan salat di malam hari bulan Ramadan di rumahnya. (Sebagai tambahan, di masa nabi belum ada sebutan “tarawih”. Sebutan ini muncul di masa Umar ra).

Baca Juga  Cara Menangani Korupsi dalam Al-Qur'an

Justru saat para sahabat beberapa kali berbaris menjadi makmumnya, Rasul di hari kemudian tidak melaksanakan salat itu. Beliau khawatir ibadah sunnah itu akan dianggap wajib. Keseharian sebagian besar kaum muslim di Indonesia menunjukkan gejala yang dikhawatirkan nabi. Tetangga yang tidak tampak berjamaah tarawih di musala akan menjadi bahan perbincangan, termasuk di masa pandemi seperti sekarang. Bahkan di sela-sela ibadah tarawih itu sendiri.

Salat Alkawf (QS. An-Nisa: 102) merupakan tuntunan dari Allah mengenai tata cara salat berjamaah yang berbeda dari yang biasa dilakukan. Tuntunan ini turun sebagai respons atas maraknya perang di masa nabi yang mengancam keselamatan kaum muslimin. Malah tuntunan ini dilakukan Nabi berkali-kali dalam situasi berbeda. Dalam konteks itu, Nabi dan kaum muslimin dipertemukan dengan dua “takut” sekaligus, takut kepada musuh dan takut kepada Allah (Quraish Shihab, 2020: hlm. 40).

Saat ini, kita pun dihadapkan pada dua takut itu. Takut kepada virus corona yang bisa mengakibatkan kematian dan takut kepada pemilik kehidupan alias Allah SWT.

Tapi, Allah melalui kekuasaan dan kasih sayangnya memberi manusia pilihan-pilihan. Termasuk dalam menghadapi wabah ini. Allah tidak menganjurkan manusia berpangku tangan sebelum berusaha. Mematuhi protokol kesehatan COVID-19 dengan beribadah, bekerja, sekolah di rumah menjadi bagian dari usaha nyata melawan penyebaran virus. Melindungi diri sendiri dan orang lain.

Bukankah telah nyaring di telinga kita perintah tentang perlunya mencegah mafsadah atau menghindari keburukan daripada mengambil manfaat. Inilah momentum yang tepat untuk mengaplikasikannya dalam kegiatan hidup sehari-hari. Masjid Jendral Sudirman di Jogja sudah jauh-jauh hari mengambil sikap demikian. Banner berisi pemberitahuan peniadaan salat jumat, tarawih, dan Idul Fitri di masjid yang bersangkutan dipasang di gerbang depan. Juga disiarkan di berbagai media sosial yang dikelola takmir.

Ikhtiar dan Doa

Banyak beredar penjelasan agama menggunakan ayat atau hadis yang penjelasannya tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya dimaksud ayat dan hadis tersebut. Salah satunya tentang klaim virus corona sebagai tentara Allah. Penjelasan Shihab yang pembaca amini lebih masuk akal dan tidak menimbulkan ketakutan. Bukankah jika virus itu tentara Allah maka akan merajalela berdasarkan janji Allah. “Dan sesungguhnya tentara kami pastilah menang.” (QS. Surat as-Shaffat: 173).

Baca Juga  Cocokologi Virus Corona dan Kitab Iqra’; Bagaimana Sikap Umat Islam?

Jika demikian, para dokter dan tenaga medis adalah musuh. Kita sepakat jawabannya tidak. Virus corona adalah “setan” yang harus dilawan dan dimusuhi, serta yang gugur dalam perang ini diharapkan menjadi syuhada di sisi Allah (hlm. 63-64).

Teks-teks keagamaan, di dalamnya ayat dan hadis bersifat statis. Sementara kasus-kasus di keseharian manusia terus berkembang. Oleh karenanya, diperlukan adanya ijtihad. Pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menemukan jalan keluar dengan tetap berpegang pada teks-teks keagamaan. Kita merasakan betapa bermanfaatnya ijtihad yang dilakukan sejumlah cendekiawan muslim tanah air dalam situasi pandemi ini. Kekhawatiran tentang berkurangnya pahala ibadah di rumah telah  dimentahkan oleh banyak kiai tradisional maupun para cendekiawan muslim.

Di hari-hari yang menunjukkan aplikasi ikhtiar justru dengan “seolah-olah tidak berbuat apa-apa” alias di rumah saja, umat muslim membutuhkan keteguhan sikap untuk mengalami keimanannya. Baik berupa panduan teknis maupun imbauan-imbauan dari para kiai dan cendekiawan muslim yang berpegang pada kemaslahatan umat.

Bersama itu, umat muslim tidak hendak lupa dengan keajaiban doa. Allah berjanji akan mengabulkan permintaan bagi hamba-Nya yang berdoa.

“Rabbana, Tuhan Pemelihara kami. Bagi-Mu segala puji, kendati telah berkepanjangan bencana ini, dan kendati keperihan masih terus melanda, kami memuji-Mu karena kami sadar bahwa ada ujian yang merupakan anugerah dan ada musibah yang mengandung hikmat, namun kendati demikian Ya Allah, afiat dan perlindungan-Mu lebih luas dan lebih kami harapkan.” (ibid., hlm. 114-115).

“Coretan” Shihab ini membawa pembaca meneguhkan ikhtiar dan doa dalam situasi wabah termutakhir. Alih-alih sibuk menerka ujian ini sebagai tanda kiamat yang sudah dekat. Tsah!

Editor: Nabhan

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds