Review

Dialektika Dua Pendekatan Salafi dalam Muhammadiyah

4 Mins read

Bukan sebuah kesalahan bila mengidentikkan Muhammadiyah dengan gerakan salafisme. Setidaknya, Din Syamsuddin, ketua umum periode 2005-2015, dan Haedar Nashir, ketua umum Muhammadiyah yang sedang menjabat, dalam buku Muhammadiyah dan Salafisme di Masa Transisi Demokrasi Indonesia: Perlawanan Cendekiawan Muhammadiyah terhadap Revivalisme Islam karya Muhammad Hilali Basya (2020), mengakui pengaruh salafisme dalam Muhammadiyah (hal. 36 dan 99).

Jebakan baru hadir saat mengidentikkan salafisme dalam Muhammadiyah dengan pola pikir tekstualis dan sikap radikal. Muhammad Hilali Basya telah mengafirmasi perkembangan sekaligus pergulatan salafisme dalam Muhammadiyah. Selanjutnya, buku yang diadaptasi dari tesis master penulis di Universitas Leiden (2010) ini menunjukkan respon sebagian cendekiawan Muhammadiyah ketika berhadapan dengan gerakan Islam revivalis pada masa awal transisi demokrasi Indonesia.

Penulis juga menjelaskan bagaimana ajaran salafisme dapat sejalan dengan demokrasi Indonesia. Sebagaimana ekspresi beberapa cendekiawan Muhammadiyah. Ketiga uraian tersebut menunjukkan berbagai variasi sekaligus kontestasi salafisme dalam Muhammadiyah.

Perkembangan dan Kontestasi

Dengan mengutip Khaled Abou El Fadl dan Madawi El Rasheed, penulis mendefiniskan salafisme sebagai gerakan yang menyerukan muslim untuk kembali ke Alquran dan as-Sunnah serta penafsiran para ulama as-salaf as-shalih. Terdapat beragam pendapat soal definisi ulama as-salaf as shalih tersebut. Ada yang hanya memasukkan satu generasi ulama setelah wafatnya Nabi Muhammad. Namun ada pula yang memasukkan dua generasi ulama pasca mangkatnya Rasulullah (hal 12).

Dalam perkembangannya, ditemukan beragam varian gerakan Salafi yang pada awalnya dipelopori oleh Ibn Taimiyah. Penulis menunjukkan berbagai klasifikasi salafisme menurut para ahli. Namun sebagai contoh, bisa disebut tiga varian salafisme yang berbeda. Pertama Wahhabisme, yaitu gerakan salafi yang cenderung lebih tekstual dalam menafsirkan Alquran dan hadis serta menggunakan cara-cara ekstrem (hal 21).

Ada pula salafi yang mampu berinteraksi dengan modernitas. Model salafi ini memberi porsi yang lebih besar pada akal ketika menafsirkan Alquran dan hadis. Muhammad Abduh adalah contoh utama salafisme yang progresif menampilkan aspek reformasi pemikiran Islam dibanding pemurnian ibadah dan akidah (hal 22).

Baca Juga  Instruksi Muhammadiyah Terkait Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat

Pasca Abduh dan Rasyid Ridha, berkembang variasi salafi yang cenderung radikal. Sayyid Quthb dinilai memelepori tipe salafi ini. Quthb mengajak umat Islam melawan dominasi Barat dan pemerintah yang dianggap menjadi agen Barat (hal 24).

Ia membuat klasifikasi “jahiliah modern” bagi pemerintah yang tidak menerapkan syariat Islam. Konsekuensinya, umat Islam diperbolehkan, bahkan diwajibkan memerangi pemerintah semacam ini. Aspirasi Quthb mirip dengan ciri-ciri Islam Revivalis yang diuraikan penulis dengan mengutip Piers Gillespie. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah contoh organisasi Islam Revivalis yang disebut penulis (hal 25 dan 67).  

Temuan penulis  menunjukkan, dalam tubuh Muhammadiyah terjadi perdebatan antara sayap salafi revivalis yang dipengaruhi Wahhabisme dan sayap salafi progresif. Kubu salafi konservatif berorientasi pada diskursus pemberantasan tahayul, bid’ah, churafat (TBC). Mereka juga mengkritik cendekiawan Muhammadiyah yang menerima demokrasi dan pluralisme (hal 100).

Sedangkan para cendekiawan di sayap progresif menggunakan teori-teori sosial dan politik modern dalam menafsirkan Alquran dan hadis, terutama dalam isu formalisasi syariat Islam. Mereka piawai mengkontekstualisasikan doktrin Islam karena lebih menekankan nilai-nilai daripada simbol-simbol Islam (hal 103).

Pada Bab V, penulis memotret salah satu perdebatan selama amandemen UUD45, sebagai contoh. Amandemen ini berlangsung pada periode 1999-2002. Di satu pihak, Islam revivalis, termasuk sebagian anggota Muhammadiyah sayap konservatif, berhasrat menerapkan formalisasi syariat Islam dan mengamandemen Pasal 29 UUD45.

Di pihak lain, sayap moderat-progresif lebih menekankan pentingnya penerapan semangat dan etika agama sebagai sumber nilai pembangunan negara dibanding penerapan formal syariat Islam. Syafii Maarif, Din Syamsuddin dan Moeslim Abdurrahman dapat disebut sebagai tokoh dalam sayap ini.

Para cendekiawan moderat-progresif seperti Syafii Maarif, Din Syamsuddin dan Syafii Anwar berperan aktif dalam dimensi struktural Muhammadiyah dan dimensi kultural (hal 101). Pendirian lembaga swadaya masyarakat dan pusat studi seperti Maarif Institute, Center For Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC) dapat dilihat sebagai upaya melibatkan tokoh-tokoh muslim dari organisasi lain dan mencegah mayoritas muslim agar tidak bersimpati dengan agenda Islam revivalis (hal 104).

Baca Juga  Hijrah, Memaknai Islam yang Ramah

Pendekatan Tekstual dan Kontekstual

Dalam potret yang lain tapi mirip, kita bisa melihat pertarungan dua kubu yang digambarkan oleh Hilali Basya, ke dalam dialektika pendekatan tekstualis dan pendekatan kontekstual. Sebagaimana yang dijabarkan Abdullah Saeed dalam Al-Quran Abad 21: Tafsir Kontekstual. Kedua model tafsir ini eksis dalam tradisi intelektual Islam. Deskripsi dalam tulisan ini bukan penghakiman benar atau salahnya salah satu model tafsir tersebut.

Pendekatan tekstual menekankan pemahaman teks berbasis riwayat, yang sering berbasis pembacaan teks secara literal. Tekanan kepada tekstualisme bertujuan untuk mempertahankan pemahaman berbasis riwayat setepat mungkin dan mendukung pemahaman itu dengan mengutip serangkaian teks, misalnya teks Alquran, hadis serta atsar (pendapat para teolog, ulama fikih dan mufasir generasi awal, hal 38).

Bagi kelompok tekstualis, gagasan bahwa seseorang seharusnya mempertimbangkan konteks saat menafsirkan teks Alquran, misalnya teks ethico legal atau teologi, adalah tidak relevan (hal 38).

Kaum kontekstualis meyakini bahwa ajaran Alquran sebaiknya dipahami dengan cara bagaimana ia dipahami dan dipraktekkan oleh generasi awal abad ke-7 M, dan sekaligus dengan cara bagaimana ia bisa dipraktekkan dalam konteks modern hal 43).

Kaum kontekstualis cenderung melihat Alquran terutama sebagai sumber pedoman praktis yang seharusnya diimplementasikan secara berbeda ketika perubahan dalam masyarakat membutuhkannya, sepanjang tidak melanggar hal-hal fundamental dalam Islam (hal 43).

Para penganut pendekatan ini berpendapat bahwa para ulama harus mempertimbangkan konteks sosial, politik, ekonomi, intelektual dan kultural dari proses pewahyuan dan sekaligus mempertimbangkan kondisi saat penafsiran ini dilakukan (hal 43).

Penolakan pihak Islam revivalis dan beberapa anggota Muhammadiyah terhadap konsep-konsep hak asasi manusia (HAM), demokrasi dan pluralisme mengindikasikan mereka cenderung enggan menerima gagasan baru. Gagasan yang tidak disebut secara tekstual-eksplisit dalam teks-teks utama dalam tradisi Islam.

Baca Juga  Hasnan Bachtiar; Intelektual Muhammadiyah, Kuasai 7 Bahasa, Baca Buku 12 Jam Per Hari

Sebaliknya, penerimaan beberapa cendekiawan Muhammadiyah moderat-progresif terhadap ide-ide baru tersebut di atas, membuktikan mereka menggunakan pendekatan kontekstual dalam merespon gagasan baru. Gagasan yang tidak disebut eksplisit oleh teks-teks utama dalam tradisi Islam.

Mereka mampu berinteraksi dengan ide-ide demokrasi, HAM dan pluralisme. Dapat disebut  Syafi’I Maarif (dengan Maarif Institute) dan Syafii Anwar (dengan ICIP), sebagai contoh sebagaimana disebut Muhammad Hilali Basya.

Gambaran Utuh

Buku ini memberi gambaran yang cukup utuh tentang salafisme berikut varian-variannya. Terutama dinamika interaksi Muhammdiyah dan salafisme. Di luar lingkup akademis, kebingungan membedakan Muhammadiyah, salafisme dengan Wahhabisme cukup mudah ditemukan. Tesis Hilai Basya ini dapat menguraikan kerancuan semacam itu.

Simpang susun penulis sebagai aktivis Muhammadiyah dan peneliti, membuat buku ini menjadi semakin layak dijadikan referensi. Penulis berhasil menyajikan perspektif orang dalam yang bertumbuh kembang dalam obyek penelitan dalam analisis obyektif.

Penelitian dalam buku ini membuka beberapa peluang riset lebih lanjut. Antara lain, riset tentang pertarungan kubu salafi tekstual (tekstualis) vs kubu salafi reformis (kontekstualis) dalam Muhammadiyah pada panggung Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Narasi agama seperti penodaan agama dan hukum memilih gubernur non muslim sangat dominan saat itu. Mengingat tesis ini mengambil panggung amandemen UUD45 pada tahun 1999-2002 sebagai contoh kasus.

Di luar konteks contoh yang harus ditimbang ulang setelah 18 tahun (2002-2020), buku ini pantas menjadi salah satu referensi bagi periset salafisme di Indonesia dan Muhammadiyah. Bagi pembaca awam, karya Muhammad Hilali Basya ini dapat membuat pembaca menjadi lebih kritis melihat salafisme di Indonesia, terutama dalam konteks Muhammadiyah.

Editor: Arif

Avatar
2 posts

About author
Warga Muhammadiyah
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds