Tajdida

Empat Ciri Masyarakat Madani Menurut Nurcholish Madjid

4 Mins read

Oleh: Zainal Arifin

Ciri Masyarakat Madani Menurut al-Farabi

Menurut al-Farabi (dikutip oleh Dunlop dalam Muh. Anwar, 2006: 347-348), ciri masyarakat madani pada tahap rendah, masyarakatnya saling bekerjasama sekedar untuk memperoleh keuntungan pribadi. Sedangkan pada tahap lebih tinggi, masyarakatnya saling bahu-membahu untuk membina budi pekerti yang luhur. Yaitu menegakkan kebenaran, mencapai kebahagiaan, memupuk kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memakmurkan masyarakat dengan hal yang baik dan mulia. Dalam pembentukan masyarakat madani, menurut al-Farabi (dalam Muh. Anwar), dibutuhkan ilmu madani (peradaban). Yaitu ilmu yang membuat masyarakat mencapai kebahagiaan.

Al-Farabi membagi ilmu madani (science of civilization) menjadi dua, yaitu: pertama, ilmu tentang berbagai jenis perlakuan dan cara hidup manusia, naluri, tabiat, akhlak, dan keadaan jiwa manusia. Ilmu ini juga membahas falsafah kebahagiaan, bahwa akhir kehidupan manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan abadi yang bisa dicapai dengan siafat-sifat terpuji, baik dan mulia.

Kedua, ilmu yang membahas (1) akhlak, budi pekerti, etika, moral dalam masyarakat, (2) fungsi institusi politik (pemerintah) dalam mengatur moral bangsa dan negara, dan (3) program yang menjamin ketertiban masyarakat yang baik. Jadi ruang lingkup ilmu madani meliputi asas-asas ilmu kemanusiaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan, seperti antropologi, sosiologi, psikologi, etika, politik, ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan (Muh. Anwar, 2006: 345-346).

***

Menurut Nurcholish Madjid, ciri masyarakat madani sebagai warisan Nabi Muhamad saw sebagai berikut: (1) egalitarianisme, (2) penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), (3) keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan (4) penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan. Kondisi ini hanya berlangsung selama 30 tahun setelah Nabi wafat, yaitu masa khilāfah rāsyidah (khulafaur Rasyidin). Sesudah itu, sistem sosial madani digantikan dengan sistem yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra-Islam, kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan (geneologis).

Baca Juga  Mengapa Takut Dengan Salafi?

Ciri Masyarakat Madani Menurut Nurcholish Madjid

Berikut ini landasan normatif dari ciri masyarakat Madani menurut Nurcholish Madjid (dalam Budhy Munawar-Rachman (peny.): 3968, 3969, 4572-4573, dll). Pertama, Egalitarianisme. Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa faktor paling fundamental dan dinamis dari etika sosial yang diberikan oleh Islam ialah egalitarianisme. Dalam Encyclopaedia Britannica, egalitarianisme diartikan sebagai semua anggota keimanan itu, tidak peduli warna kulit, ras, dan status sosial atau ekonominya, adalah partisipan yang sama dalam komunitas. Nabi Muhammad Saw mencontohkan tindakan egaliter dengan memutuskan hukum secara adil untuk siapa saja.

Sabda Nabi Saw, “sebenarnya hancur mereka sebelum kamu karena mereka menegakkan hukum atas rakyat jelata dan meninggalkan hukum atas orang besar. Demi Dia — Allah — yang jiwaku ada di Tangan-Nya, seandainya Fathimah berbuat jahat maka pasti aku potong tangannya,” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Nasa’i, Ahmad, Darimi).

Keadilan harus ditegakkan tanpa memandang siapa meskipun mengenai diri sendiri, kedua orangtua atau sanak keluarga (QS. An-Nisa’ [4]: 135): “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.”

Bahkan keadilan juga harus ditegakkan terhadap orang yang membenci kita, meskipun sepintas lalu keadilan itu akan merugikan kita sendiri (QS. Al-Maidah [5]: 8): “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Baca Juga  Taman Pustaka (1): Literasi Muhammadiyah di Masa Kolonial

***

Kedua, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain). Menurut Madjid, Islam mengajarkan penghargaan manusia melalui kerjanya (prestasinya), bukan prestisenya. Dalam sosiologi disebut achievment orientation.

Nabi Muhammad Saw pernah kedatangan seorang sahabat yang membawa orang lain. Sahabat Nabi ini menceritakan bahwa orang lain ini (orang yang dibawanya ini atau diajaknya itu) adalah ahli keturunan atau ahli hisab. Maka Rasulullah menjawab, “Ilmu keturunan itu adalah ilmu yang tidak bermanfaat dan kebodohan yang berbahaya.”

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Najm [53]: 38-42: “…(yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, (38) dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, (39) dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), (40) kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, (41) dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya (segala sesuatu).”

***

Ketiga, keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat. Menurut Madjid, kedaulatan rakyat adalah inti dari partisipasi umum rakyat dalam kehidupan bernegara sebagai wujud kebebasan dan kemerdekaan. Kedaulatan negara dalam hubungannya dengan negara-negara lain adalah kelanjutan kedaulatan rakyat.

Hal ini terbukti dengan nyata sekali dalam saat-saat kritis negara menghadapi ancaman. Pemerintahan mana pun akan akhirnya bersandar kepada rakyat untuk menanggulangi ancaman kepada negara, dan dalam keadaan yang sulit itu akan tampil dengan nyata siapa sebenarnya kalangan anggota masyarakat luas yang benar-benar berkepentingan kepada keselamatan bangsa dan negara. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam bernegara adalah partisipasi sosial-politik yang menurut Madjid sebagai wujud lain ajaran tentang musyawarah (syūrā).

Allah SWT berfirman dalam QS. [42]: 38: “…dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Baca Juga  14 Nasihat dan Wasiat KH. Ahmad Dahlan

***

Keempat, penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan. Umat Islam semula menentukan pemimpin melalui pemilihan, kemudian berubah melalui keturunan (geneologis).

Oleh karena itu, ketika Mu’awiyah memutuskan untuk mengangkat anaknya sendiri, Yazid, menjadi khalifah dan kemudian disampaikan pada orang Madinah. Maka orang Madinah dan Makkah menentang dan menuduh Mu’awiyah telah menyelewengkan Islam, meninggalkan sunnah Rasul dan sunnah Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib).

Dalam Islam tidak ada konsep keturunan dalam menentukan kepemimpinan. Nabi Ibrahim as ditegur oleh Allah SWT dalam firman-Nya, QS. Al-Baqarah [2]: 124: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”

* Dosen Prodi MPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selengkapnya klik di sini

Baca artikel terkait: Perbedaan Konsep Masyarakat Madani dan Civil Society

Editor: Arif

Admin
185 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds