Feature

Tafsir Klepon Islami: Logika Absurd yang Mengasyikkan

4 Mins read

KLEPON tiba-tiba naik kelas. Jajanan pasar yang murah dan bersahaja namun enak itu tiba-tiba jadi bintang di berbagai platform media sosial. Muasalnya adalah sebuah poster yang beredar luas dan diduga merupakan iklan sebuah toko makanan syari’ah. “Kue klepon tidak Islami.” Begitu bunyi judul iklan menyolok itu. Lalu, di bawahnya tertulis ajakan yang lebih eksplisit: “Yuk tinggalkan jajanan yang tidak Islami dengan cara membeli jajanan Islami, aneka kurma yang tersedia di toko syari’ah kami.”

Klepon Islami atau Tidak Islami?

Terus terang, saya tidak punya info memadai, apakah iklan klepon tidak islami itu fakta atau rekayasa, satire atau serius. Namun, apapun faktanya tentang iklan itu, tetap saja mengandung masalah. Mengikuti obrolan yang berkembang di media sosial, ada yang melempar analisis konspiratif. Bahwa iklan itu sebenarnya tidak ada. Toko makanan syar’i seperti disebut dalam iklan itu, sangat mungkin ada.

Tetapi, dalam iklim di mana persaingan ideologi antarkelompok Islam begitu menguat seperti di Indonesia belakangan ini, ada pihak-pihak yang sengaja membuat iklan seperti itu untuk memojokkan kalangan Muslim yang gemar sekali mengusung kata-kata Islami atau syar’i secara tidak tepat; atau bahkan mengusung halal haram tidak konteksnya.

Seandainya satire, itu satire yang tidak pada tempatnya. Bagaimana mungkin label Islami dibuat candaan justru oleh kelompok yang sangat getol mengusungnya? Seandainya itu adalah fakta dan karena itu iklan tersebut merupakan hal serius, aduh… rasanya lebih tidak pantas lagi. Di media sosial berkembang pandangan bahwa itu strategi pemasaran pemilik toko. Berarti serius. Ah, seandainya itu memang strategi pemasaran, lebih tidak elok lagi.

Tak eloknya adalah, bagaimana mungkin hal-hal serius dan sesakral agama “hanya” dijadikan sebagai legitimasi pemasaran. Rasanya rendah sekali nilai agama. Juga, jika benar itu strategi pemasaran, saya menyimpulkan bahwa iklan itu sama sekali tidak menghalalkan segala cara, meskipun ngawur. Namun, yang terjadi adalah “mengharamkan semua makanan” di luar yang mereka jual.

Baca Juga  Ngaji Bareng Kang Boy: Mengenal Tafsir al-Manar

Nah, dalam arti apapun kita memahamai kontroversi klepon tidak islami ini, saya melihat memang di sini ada hal-hal yang absurd namun mengasyikkan.

Tafsir Klepon

Eh, saya kok jadi begini serius memberikan komentar tentang “klepon yang tidak islami” ini. Baiklah, biar tidak terlalu serius, saya ingin menawarkan tafsir atas fenomena klepon ini. Namun, masih dalam koridor absurditas tadi.

Biar makin absurd, sebut saja tafsir ini dengan “Tafsir Klepon.” Ini bukan tafsir dalam arti yang sesungguhnya, seperti dikenal dalam tafsir Al-Qur’an. Namun, ini tafsir dalam arti pemahaman. Jadi, saya ingin memahami klepon dengan menggunaan akal yang absurd. Berikut adalah beberapa poin absurd yang saya tawarkan.

Pertama, saya curiga, jangan-jangan klepon ini berasal dari bahasa Arab qalbun yang artinya hati. (Harus saya tegaskan, qalbun pakai “qaf”, bukan pakai “kaf”, karena jika menggunakan “kaf”, artinya bisa lebih absurd lagi. Ingat kalbun itu artinya anjing). Ini absurd dan spekulatif.

Tapi saya kira ada hal-hal lain yang serupa yang juga sama absurd dan spekulatifnya dengan ini. Sebut saja spekulasi yang menyebut janur (daun kelapa yang masih muda dan berwarna kuning) dianggap berasal dari bahasa Arab ja’a nur (cahaya datang).

Spekulasi ini dihubungkan dengan fakta Islamisasi Tanah Jawa yang menghadirkan cahaya Islam setelah Tanah Jawa lama berada dalam cengkraman kegelapan fahaman animisme dinamisme yang membelenggu. Atau contoh lainnya adalah tokoh antagonis dalam dunia pewayangan yang bernama Togog.

Secara spekulatif, ini dihubungkan dengan kata kerja (fi’il) thagha (yang artinya melampaui batas seperti dalam Surah an-Naziat ayat 17). Atau dihubungkan dengan kata thaghut yang maknanya sesembahan selain Allah, seperti digunakan dalam Surah an-Nahl ayat 36.

Baca Juga  Bapakku dan Pak Wakidi: Praktik Nahi Munkar dengan Amar Ma'ruf

Jika Anda percaya pada spekulasi absurd ini, maka sebenarnya klepon itu jajanan ideologis, karena nama itu membawa sebuah missi tentang nilai-nilai tertentu. Dengan menelisik akar katanya, maka klepon dalam arti “hati” yang berasal “qalbun” tadi itu sebenarnya membawa missi pendidikan (tarbiyah) dan pengadaban (ta’dib) yang berdimensi syari’ah dan sekaligus sufistik. Sampai di sini, jika Anda setuju, silahkan lanjutkan membaca. Tetapi jika tidak, sebaiknya berhenti.

Kelapa dan Warna Hijau

Mari kita lanjutkan absurditas kedua tentang tafsir klepon islami atau tidak islami ini. Bagian paling luar klepon dilapisi parutan kelapa berwarna putih. Warna putih itu lambang kesucian. Maknanya, itu mengandung pesan tampilkanlah diri dalam balutan-balutan luar yang menyejukkan pandang. Warna putih parutan kelapa itu juga bermakna tampilkan lakumu, tutur katamu, dalam balutan kesantunan. Kenapa laku dan tutur kata? Karena itulah dimensi terluar dari diri manusia yang dengan mudah dilihat.

Orang lain mula-mula mengenal kita dari tutur kata dan laku. Lalu kenapa parutannya kecil-kecil? Dengan berbentuk butiran kecil itu, lalu parutan kelapa mudah menyebar dan menempel. Merata. Kemerataan itu egalitarianisme. Maknanya, untuk jadi egaliter kita mesti menjadi butiran-butiran kecil. Ikut merasakan apa yang dirasakan bagian paling kecil dari masyarakat.

Absurditas ketiga. Parutan kelapa itu menempel pada bulatan berwarna hijau. Bulatan itu paling kelihatan dan dominan, sehingga tanpanya, mungkin sulit disebut klepon. Saya menganalogikan bulatan klepon berwarna hijau itu institusi dan pemimpin. Butiran kelapa kecil-kecil adalah rakyat atau bawahan. Parutan kelapa itu itu menempel. Maka itu bermakna, rakyat itu bersandar kepada pemimpin. Klepon itu lembut, dan karena lembut itu, maka parutan kelapa itu bisa menempel dengan mudah.

Makna spekulatifnya, menjadi pemimpin itu jangan kalah dengan klepon yang mampu menjadi tempat bersandar bagi ribuan butir parutan kelapa karena fleksibilitas dan kelembutannya. Kalau sebagai pemimpin tak bisa jadi tempat bersandar dan tidak memiliki daya fleksibilitas dalam menghadapi konteks situasi, maka itu ibarat klepon tanpa urapan. Apakah masih bisa disebut klepon? Masih, tentu saja. Tetapi kurang lengkap.

Baca Juga  Menimbang Kebenaran Tafsir ala Ibnu Taimiyah

Gula Merah

Absurditas keempat adalah bagian paling dalam klepon, yaitu gula merah. Nah, di balik dua bagian itu ada gula merah yang tak terlihat. Namun begitu diceplus, rasa manis terasa dan menjadikan seluruh bagian klepon terasa nikmat. Warna gulanya merah kecoklatan. Itulah menjadi ibarat bagi hati. Karena hati adalah segumpal darah, warnanya coklat. Seperti gula yang menjadi inti rasa bagi klepon, demikian pula hati. Hati adalah inti. Karena intinya adalah gula, maka klepon menjadi manis.

Bagaimana jika bagian ini diganti dengan garam, maka semua rasa klepon akan berubah menjadi asin. Kira-kira seperti itulah ibarat hati. Tak terlihat, tersembunyi, namun menjadi penentu rasa semua bagian jasad. Hadits menyebut: “Ingatlah! Di dalam tubuh ada segumpal darah. Jika baik darah itu, baiklah seluruh tubuh, dan apabila buruk darah itu, maka buruklah seluruh tubuh. Ingatlah segumpal darah itu adalah hati.”

Klepon Tidak Islami: Penafsiran yang Absurd

Sampai di sini saya ingin berhenti menebar absurditas. Inilah tafsir klepon itu islami absurd yang saya fahami. Anda tidak setuju? Silahkan membuat tafsir klepon dengan versi yang berbeda. Namun, kita patut pula berterima kasih kepada pencetus iklan “klepon tidak islami” yang absurd itu. Karena berkat adanya iklan itulah, lalu tafsir absurd ini lahir. Lebih penting lagi, iklan larangan membeli klepon itu, justru menjadikan klepon makin laris setelah ini. Selamat naik kelas, klepon!

Editor: Yahya FR
37 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds