Sebuah diskusi daring digelar oleh Prodi HKI UMM pada Senin sore (20/7/2020). Tema yang diangkat adalah Omnibus Law dalam aspek-aspek hukum. Pembicaranya rata-rata lulusan jurusan Hukum Islam twinning program dengan Fakultas Hukum. Saya hadir secara virtual sebagai salah satu pembicara, tapi saya menyinggung soal lain yang lebih krusial.
Biasanya, yang disebut “peduli lingkungan”, dalam benak kebanyakan umat Islam paling banter berupa program-program rehabilitasi-konservasi. Sedangkan gerakan bela lingkungan dari agenda-agenda politik-ekonomi dan pembangunan masihlah lemah. Gerakan yang sifatnya “melawan” ini rentan disebut gerakan tidak Islami. Seperti komunis saja.
Kesadaran Ekosistem dalam Kalangan Muslim
Menilik kecenderungan itu, saya tertarik pada mengapa kalangan aktivis dan akademisi gaduh karena Omnibus Law, sedangkan sebagian besar elit agama Islam adem ayem saja. Hemat saya, kesadaran lingkungan hidup di kalangan elit agama Islam memang masih lemah. Sebab, orientasi wacana Islam memang belum menyentuh isu keselamatan ekosistem.
Waktu Rakyat Gemulo di Kota Batu melawan penguasa feat. pengusaha yang beruaha mencaplok mata air, ada Kiai berfatwa berkali-kali dalam khutbah-khutbahnya. Bahwa membangkangi pemerintah itu haram, dan agenda pembangunan harus didukung. Kiai itu, lantas, ditemukan masyarakat tiba-tiba punya mobil baru, merenovasi rumah, dll.
Mungkin contoh itu tidak sungguh-sungguh tepat, karena bisa jadi Kiai itu cuma mata duitan. Tapi, bisa jadi ia memang tidak melihat pembangunan sebagai problem, dan ia menganggap bahwa niat penguasa selalu baik. Macam kata Luhut B. Panjaitan, tidak ada pemerintah yang berniat menyakiti hati rakyat. Begitulah jadinya bila Kiai tercerabut dari napas pemihakan.
Di Lombok Barat, ada tuan guru yang malah ikut meresmikan pembangunan pembangunan bendungan di sebuah bukit sumber air. Air itu nantinya akan dialirkan ke Lombok Tengah, untuk keperluan Sirkuit MotoGP. Tanah warga diganti terlalu murah; investor lantas ramai-ramai membeli tanah di luar keperluan bendungan, kemudian dijual berkali lipat lebih mahal.
Elit agama tidak melakukan kajian apapun mengenai akibat-akibat lingkungan hidup bisa jadi karena sudah menerima duit terima kasih. Atau, bisa jadi karena elit agama umumnya merasa bidang mereka hanya dalam urusan ibadah, dakwah, mengaji fikih dan teologi. Maklum: ini bukan zaman Abbasiyah di mana ulama menguasai ilmu agama sekaligus sains.
Dengan adanya gonjang-ganjing Omnibus Law ini, semestinya elit agama mulai membuka mata pada realitas dan mengembangkan satu etika lingkungan hidup Islami. Yang bukan cuma menghormati pohon dan hewan, melainkan juga membela keutuhan ekosistem dari agenda-agenda eksploitasi. Tapi, tantangannya tidak mudah.
Tantangan Teologi dan Fikih
Biasanya orang mengandalkan teologi untuk mulai membangun etika lingkungan Islami. Memang teologi menyingkapkan pada kita kita hakikat di balik setiap “yang-ada”, yakni Allah yang muhith (melingkupi, memenuhi). Konsekuensinya, muslim tidak boleh mengutak-atik ekosistem di luar kehendak Tuhan, sebab dalam ekosistem ada Tuhan.
Tapi teologi punya dua masalah. Pertama, memiliki pengetahuan tentang hakikat tidak otomatis melahirkan keharusan bela lingkungan. Kedua, porsi besar perhatian teologi adalah Tuhan dan manusia, dan alam hanyalah subordinat untuk menjelaskan keagungan Tuhan sekaligus untuk memuliakan manusia. Hal ini tampak dalam perdebatan ilmu kalam.
Asy‘ariyah bilang, “Sesuatu bernilai karena teks bilang begitu.” Alam bernilai bila teks mengatakan demikian. Masalahnya, Al-Qur’an tidak mengurai nilai alam secara rinci, sebab Al-Qur’an bukan kitab sains. Akhirnya, manusia diberi hak tafsir. Pada akhirnya, alam tetap menjadi subordinat tafsir linguistik. Rentan ia disewenang-wenangi nafsu manusia.
Muktazilah sebaliknya, berpendapat bahwa “nilai ada di luar teks; teks hanya memberi informasi.” Argumen ini kelihatannya bagus, sebab dengan demikian nilai intrinsik alam akan terakui. Tapi yang justru muncul adalah blunder baru, sebab Muktazilah adalah aliran teologi yang rasio-sentris. Nilai alam rentan menjadi subordinat rasio manusia.
***
Fikih lain lagi. Memang fikih itu praktis dan terperinci, akrab dengan masyarakat Islam. Dalam fikih juga sudah ada “terma hijau”. Misalnya, iḥyā al-mawāt (praktek menghidupkan tanah mati), himā’ (praktek konservasi kawasan tertentu), atau al-ṣayd wa al-dhabā’ih (praktek mengatur perburuan dan penyembelihan). Tapi, fikih punya sejumlah tantangan.
Pertama, fikih cenderung tekstual dan tertutup dari disiplin ilmu lain, hingga Islam terkesan “lamban merespon isu kontemporer.”
Kedua, kaidah fikih kadang kontradiktif. Kaidah “mencegah mafsadat didahulukan dari memeroleh manfaat” bertabrakan dengan kaidah “keharaman bisa dibatalkan bila ada maslahat kuat.” Akan ada adu tafsir.
Ketiga, tidak semua kajian lingkungan dalam fikih benar-benar bermotif kemaslahatan lingkungan. Iḥyā al-mawāt sesungguhnya merupakan konsep ekonomi: manusia dibolehkan menggarap tanah tak produktif demi kemaslahatan. Tapi dalam hal ini, yang disebut “menggarap” termasuk juga menjadikannya lahan pembangunan.
Mungkin hanya himā’ yang cocok diacu dimensi etisnya. Himā’ adalah konservasi lingkungan hidup, namun ia berbasiskan “hak rakyat kecil atas ruang berburu.” Ruang berburu tidak boleh dimonopoli oleh tuan tanah dan kelompok tertentu. Artinya, ada gagasan untuk melindungi suatu area dari tangan-tangan elit ekonomi atau politik.
Melawan Kemungkaran Ekosistem
Pembangunan memang ada yang bermanfaat, tapi kebanyakan destruktif. Kita tidak boleh abai dengan kenyataan itu. Kita bisa saja melakukan proyek pembangunan fisik dengan upaya memeroleh manfaat, tapi harus dengan menyadari bahwa pembangunan yang merusak tatanan dan integritas ekosistem akan mencelakakan biodiversitas.
Memang ada dilema: 7 miliar manusia modern sangat bergantung pada produksi industrial yang eksploitatif. Eksploitasi juga harus langgeng dan besar untuk menjawab itu. Sampai di sini, kelihatannya eksploitasi bermanfaat, tapi nyatanya, keuntungan hanya diraup oleh kapitalis. Adapun rakyat seperti lagu Payung Teduh: sedikit senang, banyak hancurnya.
Analisis kontekstual semacam itulah yang absen di banyak kebanyakan elit agama. Hanya sedikit ulama yang mengangkat tema lingkungan hidup sebagai kegelisahan dakwah.
Di Lombok, ada ulama bernama Tuan Guru Sibawaih, almarhum. Beliau menanam pohon, mengkonservasi bakau, dan menjadikan bebukitan sebagai tempat berkhalwat, agar bebukitan itu dikeramatkan masyarakat.
Ceramah beliau tentang ekosistem bernuansa tasawuf, tapi anjurannya tegas: “Jangan tebang pohon, di situ ada Allah”; “Jaga gunung, karena dalam Islam, semua nabi mendapatkan wahyu di gunung.”
Dengan begitu, Tuan Guru Sibawaih menjembatani kekurangan daya dorong teologi. Ada juga Tuan Guru Hasanain, yang terkenal dengan gerakan menanam pohon dan gerakan memusnahkan sampah. Pesantren dan santrinya terkenal karena aktivisme di bidang lingkungan hidup. Teladan mereka berdua bisa diikuti.
Perlawanan terhadap Omnibus Law bisa dibangkitkan salah satunya dengan cara menyentuh jantung rasa keagamaan umat. Umat Islam harus menyadari bahwa melawan kebijakan yang destruktif terhadap alam dan manusia sebagai bentuk dari jihad melawan kemungkaran. Dalam hal ini tentu saja: Kemungkaran Lingkungan Hidup. []
Editor: Zahra