Perspektif

Oligarki Media: Gagal Beradaptasi, Hadang Medsos di MK

2 Mins read

Kehadiran media sosial dan platform ikutannya tidak hanya mengancam industri televisi, melainkan juga oligarki yang menanam saham dalam iklim ini bertahun-tahun. Pilihannya kemudian dua; berusaha untuk terus beradaptasi agar mendapatkan perhatian penonton ditandai dengan rating mingguan dari survei AC Neilsen atau menghadang media sosial melalui jalan UU Penyiaran.

Tidak hanya kelabakan, pilihan pertama tampaknya membuat mereka kebingungan di tengah arus media sosial. Dimana orang-orang beramai-ramai memberikan pengetahuan secara gratis dan di satu sisi, distribusi pengetahuan mereka didominasi oleh google sebagai pemain tunggal. Karena pemain tunggal, Google kemudian memungkinkan memberikan mereka google AdSense atas setiap individu yang menonton. Tidak berhenti di sini, mereka yang terkenal melalui inovasi video dengan menarik jumlah penonton/followers banyak akan mendapatkan sejumlah endorsement dari produsen yang ingin barangnya diiklankan.

Dalam situasi ini, orang-orang yang menjadi mikro-selebriti benar-benar tidak membutuhkan medium televisi untuk menjadi populer. Akibatnya, kondisi ini membuat industri televisi yang mengambil sebagian kelas urban, tidak hanya ditinggal oleh penonton, melainkan juga oleh iklan. Mau tidak mau, mengikuti selera pasar dan kemudian apa yang viral di media sosial menjadi bagian dari adaptasi yang tidak terelakkan.

Adaptasi Net TV dari sebelumnya sebagai Televisi Masa Kini dengan sejumlah acara yang lumayan kreatif dan berkualitas, misalnya, justru mengalami kerugian. Kondisi ini kemudian memaksa mereka membuat dan mengeluarkan program yang memang diminati oleh pasar. Sementara itu, Indosiar, karena sudah menancapkan pasarnya sebagai masyarakat kebanyakan, dengan menyentuh wilayah sebagian besar Indonesia, mereka benar-benar menyiarkan acara yang benar-benar diminati. Meskipun itu terlihat tidak masuk akal.

Gugatan Oligarki Media

Saat upaya adaptasi menjadi sulit, menghadang para mikro-selebriti dengan jalan UU Penyiaran melalui MK kemudian sebagai jalan realistis yang harus ditempuh. Melalui gugatan ini, RCTI meminta kepada MK agar siaran langsung di media sosial harus mendapatkan izin penyiaran. Jika ini dikabulkan, dampaknya akan sangat massif dan mengubah lanskap media sosial dan penggunanya. Misalnya, jika saya ingin live Facebook cara membuat tempe goreng dan kemudian yang nonton cuma 3 orang, saya bisa terkena UU Penyiaran karena dianggap belum mendapatkan izin dari Kominfo.

Baca Juga  Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

Di sisi lain, dalam distribusi pengetahuan keagamaan, misalnya, semua tokoh agama dan intelektual, mau tidak mau harus mendapatkan izin terlebih dahulu. Saya pribadi tidak mengkhawatirkan, siaran langsung Facebooknya Iqbal Aji Daryono hilang, karena memang beliau jarang live Facebook gratisan. Yang saya khawatirkan justru pengajian Ihya Online yang dikelola oleh mba admin Ienas Tsuroiya dan Gus Ulil Abshar Abdalla. Ini karena, selain sudah membangun tradisi mengaji online, mereka telah menyebarkan pengetahuan secara sukarela kepada publik. Kehadiran UU Penyiaran ini akan memaksa pengajian Ihya ini harus mendapatkan izin Penyiaran layaknya industri televisi yang lain.

***

Gugatan UU Penyiaran ini juga akan menghancurkan produksi penyebaran pengetahuan yang diadakan oleh akademisi, intelektual publik dan praktisi saat mengadakan acara webinar. ng disiarkan baik di youtube, instagram, maupun Facebook di tengah pandemi covid. Selain itu, inisiatif kecil dalam membangun kantong-kantong pengetahuan yang secara sukarela digerakkan oleh pelbagai komunitas akan mengalami kendala yang sama; perizinan.

Memang, upaya gugatan yang dilakukan oleh tim RCTI ini sah dalam iklim Demokrasi di Indonesia. Namun, cara bermain yang mereka tempuh dengan menempatkan arus media sosial sebagai media yang sama dengan mereka adalah sebuah persoalan di tengah pola konsumsi media yang berubah. Gugatan ini justru menjadi ancaman demokrasi itu sendiri sebagai bagian dari melanggengkan investasi kapital oligarki media yang terganggu. Ibarat pepatah, “buruk muka cermin dibelah”. agal beradaptasi untuk membuat konten yang menarik justru membuat mereka menghadang penggunaan media sosial itu sendiri.

Editor: Yusuf

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

This will close in 0 seconds