Dr. Imaduddin Abdulrahim (1931-2008), biasa dipanggil Bang Imad adalah legenda intelektual kharismatik dari Masjid Salman ITB. Sebagai intelektual dan personal, “kepribadiannya menjulang di antara yang lain,” demikian tulis Haidar Bagir di Tempo, 11 Agustus 2008.
Tidak hanya dikenal sebagai intelektual, Bang Imad juga dikenal sebagai pribadi yang jujur, tegas, berani, dan cerdas. Nama dia tercatat dalam benak penerusnya serta para pengkaji perkembangan gerakan intelektual, atau gerakan masjid kampus di Indonesia.
Mengajar Agam Islam di ITB
Awalnya, Bang Imad menolak saat diminta mengajar agama Islam karena tidak punya ijazah apa-apa dalam Islam, basis pendidikannya teknik elektro. Ketika ITB butuh dosen agama Islam, dia menolak, tapi terngiang dalam benaknya pesan dari ayahnya, “wajib menghormati guru sama dengan dengan orang tua.”
Maka, Bang Imad menemui Mohammad Natsir (1908-1993), intelektual-ulama dan pejuang kemerdekaan yang juga pemimpin Partai Masyumi dan mantan perdana menteri. Pak Natsir menasihatinya: “Bukankah belajar itu paling efektif dengan mengajar?” Dengan mengajar agama, lanjut Pak Natsir, “saudara akan lebih mudah memahami agama itu.”
Masuk ke kamarnya, Pak Natsir keluar membawa buku karangan ulama kontemporer, seperti Sayyid Qutb, Abul A’la Al-Maududi, Abdul Qadir Audah, dan lainnya. Pak Natsir berpesan: “Baca buku-buku ini dan susunlah kuliah yang sistematis, dan sajikan ke hadapan mahasiswamu. Saya yakin mereka akan senang mendapat kuliah dari saudara yang bisa berbicara satu bahasa dengan mereka, karena sama-sama orang eksakta.”
Sejak September 1968 itu, Bang Imad rutin mengajar agama Islam di ITB di samping mata kuliah lain di jurusan teknik elektro. Selanjutnya, ceramah-ceramah agamanya kemudian dibukukan, dua karyanya, yakni Kuliah Tauhid (1979) dan Islam Sistem Nilai Terpadu (2002). Khusus yang terbit 2002 ini, kata ‘Sistem Nilai Terpadu’ adalah usulan dari intelektual muslim Dawam Rahardjo untuk mengganti judul awal Sistem Nilai yang Lengkap.
Hadir Bagir, pendiri grup Mizan, bercerita tentang Bang Imad, “tak ada encounter [pertemuan] yang lebih mengesankan saya seperti ketika mengikuti Latihan Mujahid Dakwah yang dimotorinya.” Bang Imad juga membuka wawasannya terkait Islam dengan rasa keimanan yang amat kuat, bahkan puritan ~semacam perjuangan untuk pemurnian doktrin dan tata ibadat~ yang disampaikan secara logis dan saintifik.
Syahganda Nainggolan, alumni ITB, belakangan menjadi petinggi KAMI, mengakui bahwa ceramah-ceramah Bang Imad membuat Islam kembali hadir dalam dirinya, “pengalaman saya belajar Islam di Imaduddin Abdulrahim membuat Islam hadir kembali dalam diriku. Dulu Islam membuatku minder…”
Keimanan Puritan-Saintifik
Keimanan yang puritan-saintifik itu memang menggerakkan seseorang untuk yakin betul dengan Islam sebagai jalan hidup, dan membebaskan diri dari berbagai Tuhan yang menurut definisi Bang Imad sebagai “segala sesuatu yang menakutkan (bagi) manusia.” Seharusnya, manusia muslim hanya takut kepada Tuhan yang maha besar, yakni Allah. Itulah aplikasi dari ucapan syahadat, la ilaha illallah, tiada tuhan selain Allah.
Beberapa tahun terakhir tidak banyak kita dengar orang membahas sosok Bang Imad atau pemikirannya. Mungkin ada di kalangan aktivis Salman, atau mereka yang pernah berinteraksi dengannya, termasuk yang sedang membaca buku Civil Islam karya antropolog Robert W. Hefner, yang menyebut beberapa kali nama pendiri Masjid Salman, sekaligus penggagas ICMI dan Bank Muamalat tersebut.
Waktu aktif di Forum Kajian Insani, sebuah wadah gerakan dakwah kampus di Unhas, saya biasa salat Jum’at di Mushalla Al-Adab (Fakultas Sastra), atau di Masjid Kampus. Dalam salah satu ceramahnya, pengajar ilmu komunikasi Unhas Mansyur Semma mengutip kalimat Bang Imad tentang tauhid. Itu kali pertama saya dengar nama Bang Imad.
Selanjutnya, waktu berdiskusi dengan Pak Mansyur saya sesekali menanyakan siapa sosok Bang Imad itu. Pak Mansyur adalah seorang intelektual cum aktivis muslim dari Makassar, punya banyak kesan tentang beliau. Mungkin juga pernah ikut dalam Latihan Mujahid Dakwah, atau ceramah Bang Imad, atau pernah dalam kegiatan atau komunitas yang sama.
Pertemuan Dengan Bang Imad
Suatu ketika, setelah salat zuhur di Masjid Al-A’raf Toko Buku Walisongo, di Jalan Kwitang, Jakarta, saya mendengarkan ceramah yang menarik. Sambil dengar-dengar, saya tanya ke jamaah di samping saya, rupanya itu Bang Imad. Saya sempat meminta masukan terkait ketertarikan saya dalam kajian tentang islamisasi sains.
Ketika itu saya termotivasi betul setelah membaca beberapa buku Ismail Raji Al-Faruqi yang saya baca di toko buku DDI Jalan Kramat Raya, buku Akbar S. Ahmed, Ke Arah Antropologi Islam yang pernah saya buatkan acara bedah buku tersebut bersama Prof Abu Hamid, dan beberapa buku mahasiswa Indonesia di Jepang. Semangat untuk menyinergikan Islam dan sains begitu kuat, apalagi banyaknya intelektual muslim yang konsen ke situ.
Bang Imad menyarankan saya untuk bertemu Pak Dawam Rahardjo. Namun, sampai wafatnya (2018) tidak sempat saya bertemu dengannya. Saya hanya sempat bertemu Ustadz Habib Chirzin yang juga aktivis IIIT Indonesia, di Baitul Arqam Darunnajah dan World Peace Forum ke-7. Waktu acara WPF ke-7 itu saya merasa beruntung bertemu khusus dengan Prof. Virginia Hooker dari Australia untuk sharing kegiatan yang telah saya inisiasi sebagai Ketua Forum Alumni AIMEP.
Jadi, ketika satu takdir tidak ketemu, kita akan bertemu dengan takdir lainnya jika kita terus berusaha mencari ilmu dan inspirasi dari berbagai tokoh intelektual. Pertemuan dan kedekatan seperti ini kendati terlihat biasa-biasa saja, rupanya cukup penting untuk memperluas wawasan dan pertemanan dalam skala luas.
Terkait Bang Imad, kedekatannya dengan M. Natsir membuatnya dipercaya untuk membangun jaringan internasional bersama tokoh-tokoh Islam dunia. Dakwah Islam Indonesia, kata Pak Natsir, jangan sampai lalai mengikuti perkembangan dunia global. Di bawah kepemimpinan Dr. Adian Husaini sekarang ini, DDII juga tampaknya harus tetap merawat warisan perjuangan, karena tokoh bangsa banyak berhimpun di situ, sekaligus melakukan ekspansi dakwah global secara lebih massif, terutama lewat para kader muda,
Perlawanan Intelektual
Kisah Bang Imad berisi catatan perlawanan intelektual terhadap sistem atau pemikiran yang dianggap tidak benar. Intelektual lainnya, sebutlah M. Amien Rais, atau Din Syamsuddin, adalah tipikal intelektual-ulama yang tidak bisa tenang jika tidak bergerak, apalagi jika menyangkut hak-hak mustadh’afin (kaum lemah).
Sejarah mereka sejak mudanya memang tidak lepas dari aktivisme dan intelektualisme. Mereka aktivis dakwah sejak awal, kemudian berproses sampai menjadi petinggi komunitas Islam, namun tidak lupa untuk menuntaskan hingga doktor. Setelah itu, mereka bergerak lagi, apalagi ketika melihat ada gejala ketidakadilan yang secara subjektif membuat mereka harus berbuat sesuatu. Ini positif saja sebab bagian dari tanggungjawab intelektual cum aktivis.
Jika melihat sejarah intelektual Indonesia, kita akan dapatkan bahwa pergerakan kaum intelektual ini sejak dulu sudah ada. Mulai dari HOS Cokroaminoto (1882-1934) sampai pada Bung Karno (jadi anggota Muhammadiyah sejak 1938). Gerakan NU, Persis, dan seterusnya sampai pada ICMI itu tidak lepas dari tanggungjawab sosial intelektual pada zamannya. Bahkan, komunitas mahasiswa seperti HMI, PMII, IMM, KAMMI, dll. sejak dulu sampai sekarang juga dikader untuk menjadi intelektual cum aktivis.
Ini berarti bahwa perlawanan kalangan intelektual terhadap apapun itu, sebutlah kemapanan (status quo) atau gejala ketidakadilan yang mereka rasakan, itu sesuatu yang normal saja sebagai bagian dari kegelisahan intelektual. Intelektual yang gelisah melahirkan respon terhadap subjek, lewat lisan, tulisan, bahkan mobilisasi gerakan sosial.
“Hidup seorang intelektual,” mengutip Edward W. Said, “pada hakikatnya adalah mengenai pengetahuan dan kebebasan. “Dengan kemampuannya, ia tidak menjual diri pada pihak manapun, sebaliknya ia berani menantang ortodoksi dan dogma di depan publik.”
Jika berkaca pada perlawanan intelektual dewasa ini ada satu hal yang belum kita dapatkan secara solid yaitu; apa masalah bangsa kita dan apa tawaran untuk itu? Kedua hal itu perlu dikemas dalam satu narasi dan argumen panjang dan substansial. Jika ini ada, saya rasa dinamika intelektual kita akan lebih bergairah ketimbang membaca cuitan para pendengung atau sekedar berbalas pantun di media sosial.
Editor: Dhima Wahyu Sejati