Seperti kata peribahasa, bagai ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Itulah gambaran yang tepat untuk seorang Abdullah Idrus. Namanya mungkin tidak terkenal seperti sastrawan kondang Chairil Anwar. Namun, goresan pena Abdullah Idrus memiliki pengaruh yang besar bagi dunia sastra Indonesia.
Biografi Abdullah Idrus, Sastrawan Berpengaruh Indonesia
Abdullah Idrus adalah seorang sastrawan Indonesia yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 21 September 1921. Sastrawan yang lebih dikenal dengan sebutan Idrus tersebut termasuk dalam kelompok sastrawan Indonesia generasi 45 yang ditasbihkan oleh H. B. Jassin, meskipun Idrus sendiri menolaknya.
Idrus merupakan pendiri pembaru prosa yang telah meninggalkan kesan yang besar bagi dunia sastra Indonesia, meskipun tidak sebesar Chairil Anwar. Karena berkat karya Idrus, tercipta pemisahan antara prosa zaman revolusi dengan prosa pujangga baru.
Idrus memiliki pemikiran-pemikiran yang unik dan berbeda dari kebanyakan sastrawan lainnya. Hal tersebut bisa dilihat dari karya-karya sastra ciptaan Idrus. Gaya bahasa yang terkesan sederhana, naturalis, ringkas, serta tajam, membuat Idrus memperoleh tempat terhormat dalam dunia sastra. Namun tidak sedikit juga pihak yang mengkritik karya-karya Idrus. Bahkan, bisa dianggap Idrus adalah tokoh yang kontroversial.
H. B. Jassin sendiri menyebut Idrus sebagai sastrawan yang memiliki sikap kritis dan sifat individualistis dalam masalah sosial atau kemanusiaan pada masa itu, yang disalurkan Idrus dalam tulisan maupun siarannya. Bahkan, beberapa kali Idrus pernah ditolak untuk tidak melakukan siaran karena gaya pemikirannya yang unik dan perkataannya yang tajam.
Abdullah Idrus, Sastrawan Penyaji Karya Iceberg Theory
Dalam menciptakan karya-karyanya, Idrus cenderung menyajikannya dengan menggambarkan bagian permukaannya saja; dan membiarkan pembacanya untuk mencari sendiri makna dan gagasan yang terkandung dalam tulisan tersebut.
Gaya penulisan tersebut seringkali disebut dengan Iceberg Theory. Menurut Hemingwey, seorang yang dianggap sebagai penemu Iceberg Theory, mengungkapkan bahwa penulis yang menggunakan cara tersebut di dalam karyanya harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam serta memahami apa maksud dari karya yang ia tulis.
Karya Idrus yang yang populer yaitu sebuah buku kumpulan cerpen yang berjudul “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma”, yang diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka Jakarta pada tahun 1948.
Kumpulan cerpen tersebut memiliki kedudukan yang penting dalam khazanah sastra di Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari tingginya apresiasi masyarakat terhadap buku tersebut. Karya Idrus tersebut memuat kisah-kisah dari zaman Jepang hingga pada peristiwa revolusi fisik Kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam buku “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma”, Idrus menggambarkan secara detail dan dengan penuh penjiwaan bagaimana peristiwa-peristiwa nyata itu terjadi. Mulai dari kisah roman hingga penderitaan rakyat pada zaman kolonialisme.
Dari buku tersebut, kita bisa berimajinasi bagaimana situasi dan keadaan pada masa-masa itu. Mulai dari rakyat yang kekurangan gizi, lingkungan yang kumuh, tindakan semena-mena oleh aparat, korupsi pejabat, dan hal-hal pahit lainnya. Dalam buku ini, Idrus membongkar habis keadaan kacau dan buruk pada masa revolusi dan zaman Jepang.
Selain berbentuk cerpen, Idrus memiliki karyanya yang lain berbentuk novel. Dalam salah satu novelnya yang berjudul “Surabaya”, ia sengaja mengejek patriot-patriot Indonesia dengan sebutan cowboy dan bandit.
Novel ini cukup terkemuka hingga menyebabkan banyak pihak yang mengeluarkan cercaan. Banyak karya novel lain dari seorang Idrus, yang di antaranya berjudul: Dengan Mata Terbuka, Seperti Aki, Hati Nurani Manusia, Hikayat Puteri Penelope, serta Perempuan dan Kebangsaan.
Karya-Karya Idrus yang Beragam
Tidak hanya berhasil sebagai pencipta cerpen dan novel, Idrus juga menerjemahkan sebuah sandiwara berjudul “Acoka” dan menerjemahkan beberapa buku karya penulis dunia terkemuka.
Seperti karya pengarang Belgia Williem Elschot yang berjudul “Keju“, Kathryn Fobers yang berjudul “Ibu yang Ku Kenang“, “Kereta Api Baja” karya pengarang Rusia Vsevolod Iwanov, “Toti Kita Sehari-hari” dan “Dari Pendiptaan Kedua” karya Ilya Enrenburg.
Tidak pelit akan ilmu, Idrus juga pernah menerbitkan buku tentang Teknik Mengarang Cerpen dan buku yang berjudul Saduran Cerita Sang Boma. Dia juga menulis beberapa esai yang diterbitkan dalam majalah dan surat kabar, di antaranya adalah Chatulistiwa, Mimbar Indonesia, Budaya, Horison, Majalah Indonesia, Zenith, dan Indonesia Raya.
Hingga pada akhir hayatnya di Padang, Sumatera Barat, 18 Mei 1979, yang bertepatan pada usianya yang ke-57, Idrus tetap berada pada profesi sebagai seorang sastrawan. Pada waktu-waktu terakhirnya, Idrus sedang melakukan sebuah project tentang cerita rakyat Minangkabau.
Karya-karya Idrus sangatlah cocok sebagai titik tolak ukur pembelajaran di masa kini, yang mana generasi sekarang diharapkan bisa menghargai jasa para pendahulu di masa lalu.
Karya-karya Idrus ibarat peninggalan tertulis negeri ini yang dapat kita interpretasikan sebagai tonggak sejarah dan bukti perjuangan masyarakat pendahulu untuk tanah air tercinta.
Editor: Zahra