Perspektif

Di Tangan Buzzer, Agama Hanya Jadi Masalah!

3 Mins read

Salah satu kebuntuan dalam perbincangan politik kita akhir-akhir ini adalah memperbincangkan perbedaan. Hal ini bisa kita lihat dari perdebatan terkait relasi antar agama, seperti debat “tahunan” ucapan Selamat Natal atau hari besar agama lainnya. Di mana perbincangan ini tidak lagi berkisar perbedaan pandangan agama, namun sudah jauh melompat menjadi perdebatan politik atau lebih tepatnya Cebong-Kampret.

Perbincangan Agama yang Telah Terpolitisasi

Ya, kondisi inilah adalah salah satu bukti sahih bahwa kita sudah terpolarisasi begitu hebatnya, hingga persoalan pribadi hingga hubungan bermasyarakat pun turut terpengaruh. Persoalan agama pun dirampok habis-habisan oleh para buzzer untuk dijadikan senjata dalam pertarungan opini.

Sejak dua kali pemilihan presiden yang kental dengan politik identitas, khususnya agama, rasanya tidak ada lagi perbincangan agama di ruang publik yang lepas dari perdebatan keberpihakan atau pilihan politik. Bahkan ruang publik digital pun turut disesaki dengan perdebatan-perdebatan unfaedah macam ini.

Hal yang saya sangat sayangkan adalah perdebatan ini kemudian menjadikan diskusi-diskusi di berbagai kesempatan turut diracuni keberpihakan politik. Seperti, politik kubu ini mulai berhasil menyeret urusan moderasi beragama menjadi identitas pilihan politik. Moderat maka pemilih calon presiden A, atau konservatif adalah pemilih calon B. Ini adalah pemandangan yang mulai lazim di ruang publik.   

Konfrontasi Buzzer Politik dan Kaum Islam Konservatif

Nama Denny Siregar dan Abu Janda adalah buzzer politik yang paling sering berkonfrontasi dengan kalangan Islam konservatif, termasuk HTI dan FPI. Dalam konten-kontennya, Denny seringkali menyelipkan sindiran atau ejekan terhadap sikap atau pemahaman konservatif dari kelompok macam FPI atau HTI.

Seperti postingan Denny di tanggal 24 Desember kemarin, dia memposting sebuah unggahan video bermuatan selamat hari Natal bagi umat Kristiani. Dalam video tersebut, Denny menyelipkan sindiran terhadap kelompok yang enggan mengucapkan “Selamat Natal”. Di dalamnya, dia juga mengutip kata-kata abadi dari Ali bin Abi Thalib, “Yang bukan saudaramu seiman, adalah saudara dalam kemanusiaan.”

Baca Juga  Moderasi Itu Lebih dari Sekadar Toleransi

Masih dalam video yang sama, dia menyebutkan bahwa kegagalan dalam beragama secara mendalam, sibuk di permukaan dan membanggakan keimanan, namun bagi Denny mereka semua tidak mampu menerapkannya. Sampai di sini, Denny jelas menyasar keengganan mengucapkan selamat hari Natal di kelompok konservatif.

Bahkan, di akhir video dia menambahkan dua simbol yang jelas sekali menghajar pendapat kelompok konservatif. Pemakaian topi santa dan penggunaan kata “haram” dalam video tersebut jelas sekali diarahkan pada mereka yang selama ini berkonfrontasi dengan Denny.

Memang, postingan Denny memakai pola yang sama dalam berhadapan dengan kelompok konservatif. Unggahan lain dari Denny yang menyimpan pesan yang sama adalah ketika mengunggah ulang cuitannya di Twitter yang bertulisan,

Yang Kristen sehari mendengar azan 5x, sebulan 150x, setahun 1800x. Mereka tetap Kristen sampe sekarang, seanak cucunya, secicit2nya. Ada yang ngaku muslim, br denger ucapan “selamat natal” sekali setahun aja berasa udah murtad. Beragama kok kaya xxxxstyle, ngendus2 doang.”

Apa yang dilakukan oleh Denny tidak hanya mengolok-olok keengganan pengucapan “selamat Natal’ di kelompok konservatif. Kelihatannya, dia cukup merespon keras apa saja pemahaman Islam garis keras dari kelompok konservatif.

Kontra-Produktif Pembangunan Moderasi Beragama

Menurut saya, hal ini sangat kontra-produktif dalam membangun moderasi beragama di masyarakat. Narasi moderatisme beragama memang sedang diuji dari dua arah sekaligus. Pertama yakni perlawanan keras dari kelompok konservatif, fundamentalis, hingga ekstremis, dan kedua adalah kampanye tolerasi dan moderatisme beragama yang dijadikan senjata menyerang kelompok kontra.

Kampanye moderatisme beragama seharusnya lebih pada membangun logika dan imaji di masyarakat. Bukan dengan saling ejek, apalagi menghina. Kedamaian dalam beragama akan menjadi benar berkah bagi kehidupan jika dibangun dalam pemahaman kebersamaan yang saling memahami dan pandangan yang terbuka.

Baca Juga  "Mitos Pluralisme NU" dan Ketika Obyek Amatan Bersuara

Islam moderat memang menjadi narasi utama dalam melawan gelombang pasang politik identitas di masyarakat. Namun, jangan sampai malah menjadikan moderatisme beragama malah melakukan “kekerasan” lainnya dengan menghina apalagi mengejek pemahaman mereka yang berbeda dengan kita.

Memang, kelompok moderat tidak boleh mentolerir perilaku kekerasan atau potensi ekstremis. Batasan yang perlu kita pahami adalah pusat permasalahan ini dimulai dari pemahaman yang salah atau berbeda dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Oleh sebab itu, solusi dari permasalahan pemahaman tertutup tersebut adalah dengan terus menerus memberikan pemahaman kepada masyarakat, bahwa ajaran agama selalu menjunjung tinggi perbedaan, termasuk agama. Perbedaan pandangan dalam kasus seperti ucapan Natal seharusnya dapat diterima, sebab mungkin pelajaran agama yang diterimanya belum menjelaskan persoalan tersebut dengan jernih.

Tugas kita adalah menyampaikan ajaran agama yang membolehkan sehingga biar dapat terjadi diskursus pemahaman yang sehat. Sebab, jika terus memaksakan maka lebih cenderung membuat orang yang dengan pemahaman agama yang tertutup semakin menolak.

Memang, potensi mereka melakukan kekerasan atas dasar pemahaman agama yang tertutup tetap menjadi perhatian kita bersama. Jelas, potensi tersebut terus mengintai kita semua. Namun, pemahaman keagamaan yang terbuka atau toleran tidak dipaksakan, ia harus dihadirkan dalam pemahaman yang penuh kesadaran.

Agama Tidak Seharusnya Menjadi Alat Mobilisasi Massa

Mungkin sudah saatnya mulai keluar dari perbincangan politik yang mulai menyelimuti pemahaman keagamaan kita. Sebab, perbincangan ajaran agama memiliki variabel yang tak kalah rumit dari hanya sekedar keberpihakan atau pilihan politik.

Yuk, sudah saatnya mulai keluar dari perbincangan politik yang terpolarisasi. Agama sudah seharusnya tidak menjadi alat mobilisasi massa, ini mungkin disadari oleh para buzzer seperti Denny Siregar. Namun, dia entah sadar atau tidak, malah melakukan hal yang sama dengan kelompok pemahaman tertutup dengan mempolitisasi agenda moderatisme beragama.

Baca Juga  Diaspora Kader Muhammadiyah di Al-Azhar, Mesir: Ikhtiar Atasi Krisis Ulama Ahli Turats di Muhammadiyah

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin.

Editor: Zahra

Supriansyah
5 posts

About author
Supriansyah sekarang bekerja sebagai peneliti di Kindai Institute Banjarmasin dan menetap di Banjarmasin. Dia menyelesaikan pendidikan S1 di jurusan Akidah Filsafat di IAIN Antasari Banjarmasin. Selain meneliti, dia juga sering menulis opini di berbagai media cetak dan daring, seperti Banjarmasin Post, islami.co, alif.id, dan detik.com. Dia memiliki minat kepenulisan dengan tema media, internet, studi kritis wacana hingga anak muda. Dia bisa disapa di akun media sosial, Twitter: @supribanjar atau Facebook: Supriansyah.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *