Falsafah

Agama itu Fenomena Alami Manusia!

4 Mins read

Agama selamanya akan selalu menarik untuk dibicarakan. Salah siapa sehingga bisa jadi seperti ini? Salah kita sendiri. Agama menarik bagi kita, karena ia menunjukkan wajah asli manusia.

Begitu menarik dan mempesonanya agama. Ia bercerita bagai seorang ibu berdongeng sebelum kita tidur. Ia menjadi teman kita berbincang, mendengarkan, dan menjawab kita dengan rangkaian firman dan sabda. Itulah yang terjadi ketika manusia khusyuk membaca kitab sucinya.

Agama versus Sains

Banyak kalangan menggugat agama karena ia tidak saintifik. Ini seperti memaksa ibu bercerita dengan teori-teori ilmiah. Padahal ibu hanya ingin kita tenang, merenung, dan mengambil pelajaran dari ceritanya, meski itu hanya fiksi belaka.

Jika kita mau adil, bahkan kisah-kisah inspiratif yang bisa menggugah emosi manusia, tidak selamanya memenuhi standar logika dan prosedur ilmiah. Mengapa demikian? Sederhana. Sebab otak manusia bukan hanya tentang rasionalisme dan empirisisme saja. Revolusi kognitif spesies manusia justru ditandai ketika kita mampu membahasakan hal-hal suprarasional dan menjadikannya realitas yang diyakini.

Mungkin kita harus berhenti menyalahkan agama karena ia tidak selamanya saintifik seperti yang kita inginkan. Faktanya, agama adalah kumpulan kisah dan ajaran yang mencerminkan watak asli manusia; dan manusia tidak hanya berperilaku secara rasional semata.

Contohnya ajaran agama bahwa kita berasal dari Tuhan Pencipta. Bagaimana caranya kita membuktikan hal tersebut dengan pengamatan ilmiah? Tapi, bukankah setiap manusia memang rindu pada tempat asalnya.

Agama hanya menunjukkan wajah asli kita. Manusia tidak hanya bisa berpikir saintifik, positivistik, dan rasionalistik. Ia juga bisa berbincang dengan hatinya sendiri, berbicara kepada bulan, menangisi kematian, atau tenggelam menyesali dosa.

Semua hal tersebut sama sekali tidak rasional. Tapi, mengapa juga harus rasional. Apakah rasa syahdu ketika seseorang bersujud harus ditolak, hanya gara-gara Tuhan yang ia sujud padanya bukan sosok materil, yang bisa diverifikasi secara empiris?

Baca Juga  Melihat Fenomena Puasa dari Kacamata Durkheim

Untuk mereka yang memaksa kita supaya bisa menunjukkan bukti keberadaan Tuhan secara empiris, kita bisa bertanya: Jika hari ini Anda bisa melihat Tuhan dengan dua bola mata Anda, memangnya apa yang akan terjadi? Apakah Anda akan langsung beriman padanya, dan mematuhinya?

Fenomena Alami Agama

Daniel C. Dennet, dalam Breaking the Spell (2021) menyebut agama sebagai fenomena yang alami alias natural. Para penganut agama pasti setuju. Tapi, alami yang dimaksud Dennet bukan dalam arti “normal dan wajar bagi kehidupan kita”. Alami yang ia maksud adalah bahwa agama muncul dari dalam diri manusia, dari pengalaman hidupnya, bukan dari sosok superhuman yang bersinggasana di suatu tempat di langit.

Tidak sepenuhnya salah. Justru arti alami ini tepat, karena melihat manusia sebagai penyebab utama munculnya fenomena agama. Sama halnya dengan filsafat, ideologi, dan sains, agama diciptakan oleh manusia berasaskan pada pengalaman hidupnya di muka bumi. Dalam definisi Dennet (2021), semua yang bisa diciptakan di alam semesta adalah fenomena yang alami. Kita bisa menambahkan: Semua yang manusia ciptakan, pada mulanya karena hal tersebut berguna sesuatu.

Itulah alasan manusia memunculkan agama; sebab ia memiliki kegunaan tertentu. Prinsip nilai guna ini penting, sebab, berdasarkan pandangan evolusionis, hanya yang paling bernilai guna yang dapat bertahan di rimba ini. Jangan bertanya mengapa agama sangat awet. Jawabannya sangat jelas; sebab agama sangat berguna bagi manusia. Pada tulisan berjudul Untuk Jadi Moderat, Pisahkan Agama dari Sifat Absolut! sudah saya singgung bahwa hanya agama yang bisa memberi Anda jawaban ke mana Anda pergi setelah mati.

Apakah Agama adalah Fiksi?

Jika agama adalah ciptaan manusia, seperti pendapat Dennet, Dawkins, Hitchens, dan Harari, bukankah itu artinya ia hanya fiksi dan palsu?

Baca Juga  Bicara di Konferensi Antaragama G20, Menag Sampaikan Prinsip Universal Pendiri Bangsa

Bisa jadi agama adalah ciptaan kita, dan fiksi. Tapi mengapa juga fiksi harus berarti kepalsuan, dan ditolak? Kenyataannya, seperti juga diamini oleh mereka, fiksi adalah keahlian manusia dalam menjelaskan fenomena alam sekelilingnya. Jika agama bersumber dari fiksi dan imajinasi kreatif manusia, maka begitu pula filsafat dan sains. Kita tidak menyebut filsafat dan sains sebagai kepalsuan, hanya karena ia diciptakan dalam budaya dan sejarah manusia.

Filsafat diawali dengan pertanyaan alami akal budi. Sains diawali dengan rasa penasaran dan pencarian bukti-bukti. Agama diawali dengan rasa ingin tahu yang sama, namun diselesaikan bukan dengan pertanyaan lagi, seperti yang dilakukan filsafat; bukan juga diselesaikan dengan verifikasi bukti, seperti yang dilakukan sains; melainkan ia diselesaikan oleh jawaban akhir, oleh munculnya variabel-variabel mutlak seperti Tuhan, akhirat, dan amal soleh. Variabel ini mutlak, karena ia bersifat immaterial. Jika sebaliknya, ia tidak lagi mutlak.

***

Pertanyaan melahirkan filsafat. Pembuktian melahirkan sains. Apa yang melahirkan agama? Seperti dua saudaranya itu, agama lahir dari pertanyaan alamiah kita akan fenomena alam yang kita saksikan, dan secara alami, intuisi kita menyadari bahwa ada kebaikan di balik semua keindahan ini. Jika harus meminjam frasa yang Al-Qur’an gunakan, intuisi ini berbunyi: Rabbana ma khalaqta hadza bathilan, subhanaka (Oh Tuhan kami, semua ini tidak Kau ciptakan dengan sia-sia, Maha Suci Engkau).

Jika filsafat mengantar manusia menemukan dalil-dalil rasional akan wujud segala sesuatu, dan sains mengantar kita kepada pembuktian empiris dan penciptaan teknologi, maka, ke mana agama mengantar Anda? Agama mengantar Anda kepada rasa.

Agama mengantar kita pada rasa rindu akan rumah asal-usul kita. Bukankah kita rindu untuk pulang ke asal? Agama juga menumbuhkan rasa sabar tatkala kita menempuh ujian. Begitu pula rasa syukur karena telah memperoleh kehidupan. Semua rasa inilah yang disentuh dan dihidupkan oleh ajaran agama. Agama ciptaan kita sendiri. Agama yang manusia ciptakan sebagai jalan pulang menuju Tuhannya.

Baca Juga  Lima Pokok Pemikiran Metafisika Ar-Razi

Tuhan Ciptaan Siapa?

Pertanyaan selanjutnya yang pasti muncul adalah: Jika manusia menciptakan agama, apakah itu artinya manusia juga yang menciptakan Tuhan? “Ya” adalah jawaban yang ingin dikatakan Dennet dan kawan-kawannya.

Manusia yang menciptakan sains, dan sains berbicara tentang fenomena alam, seperti batu, pohon, mikroba, dan atom. Apakah manusia juga yang menciptakan itu semua? Pasti tidak.

Manusia memang menciptakan agama – seperti pendapat Dennet di atas – dan agama berbicara tentang Tuhan, juga kehidupan alam semesta. Tapi, bukan berarti manusia yang menciptakan Tuhan dan kehidupan alam semesta. Kapan kita pernah begitu? Tuhan adalah Tuhan karena Dia pencipta alam semesta, apa pun itu definisi dan deskripsinya.

Perlu diingat, bahwa agama tidak peduli pada definisi dan deskripsi. Agama peduli pada bagaimana manusia bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya kini dan di sini. Agama peduli pada bagaimana kita bisa menyadari bahwa kita punya asal dan tempat kembali. Agama seperti surat cinta dari ibunda kepada anaknya, yang menanti sang anak pulang dalam keadaan selamat.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

1 Comment

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds