Namanya Muhammad putra Abdullah. Kami meyakininya sebagai seorang pembawa kabar dari pencipta alam semesta. Selama ini, kami selalu rindu kepada Tuhan. Kami menyadari bahwa jiwa manusia berasal dari-Nya dan akan kembali pada-Nya.
Dia yang paling kami rindukan dan inginkan. Dan Muhammad datang membawa pesan-pesan mesra Tuhan itu kepada kita. Akhirnya, apa yang kita nanti pun tiba.
Kini, 1400 tahun lebih telah berlalu semenjak Muhammad turun dari gua Hira dan membawa perubahan besar dalam sejarah manusia. Agamanya, seperti juga agama lainnya, bagi kebanyakan kita adalah pemberi makna kehidupan. Tanpanya, hidup ini kering, tanpa makna, dan tanpa tujuan.
Di lain tempat ada orang yang akan menyahut pada Anda: Itu semua hanya khayalan saja. Mereka bilang begini: Apa yang kalian peluk itu cuma cerita masa lalu. Tidak nyata. Tidak punya bukti. Kalian seperti anak kecil yang percaya dongeng peri, katanya.
Negara Makmur Tak Perlu Agama?
Entah bagaimana bagi Anda? Tapi bagi saya agama sangatlah mendalam artinya. Arti mendalam ini membuat beberapa orang merasa perlu mengungkapkan apa yang ia rasa dari agamanya.
Mengapa ia merasa perlu? Sebab agama yang baginya penuh arti itu tak lekang dari kritik, cibiran, bahkan cemoohan. Apalagi di era Google ini. Denny JA membahas nasib agama di era digital ini dalam buku terbarunya, 11 Fakta Era Google: Bergesernya Pemahaman Agama dari Kebenaran Mutlak Menuju Kekayaan Kultural Milik Bersama (2021).
Berangkat dari fakta dan data, buku Denny JA menyajikan persepsi masyarakat modern mengenai gambaran agama, dan gambaran peradaban modern. Peradaban modern digambarkan, dibangun atas nilai dan prinsip kemanusiaan, rasionalitas, dan sains-teknologi.
Sebagaimana dilaporkan dalam buku tersebut, tidak ada peran signifikan agama di negara-negara makmur dan bahagia. Top 10 negara paling sejahtera dan bahagia berdasarkan data terbaru Human Development Index dan World Happiness Report adalah negara yang penduduknya tidak menganggap penting agama.
Di lain sisi, wajah agama tampak buram, suram, dan seram. Agama diliputi mitos, takhayul, kepercayaan kuno, absolutisme, eksklusivisme, dan kekerasan. Wajar jika akhirnya banyak yang kecewa pada agama dan umat beragama.
Faktanya adalah kemakmuran, kesehatan, harmonisme sosial, dan kemajuan ekonomi terjadi di negara-negara yang penduduknya mengaku bahwa agama tak begitu penting. Sebaliknya, mereka yang menjunjung tinggi agama hidup di negara dengan kondisi tidak begitu menyenangkan (Denny JA, 2021).
Tampaknya ada kesan yang sangat kuat dari fakta dan data yang disajikan. Kesan bahwa seolah-olah semakin modern, rasional, dan saintifik suatu bangsa dan negara, maka agama semakin tidak lagi relevan dalam sistem negara dan bangsa tersebut.
Agama Penyebab Keterbelakangan?
Tapi, benarkah demikian? Benarkah bahwa karena meninggalkan agama, maka sebuah negara menjadi maju; dan sebaliknya, karena mementingkan agama, maka sebuah negara menjadi terbelakang? Tampaknya, tidak juga. Mengapa demikian?
Pertama, apa yang kita sebut sistem sosial dan kenegaraan yang modern, seperti republik, demokrasi, ekonomi pasar, ekonomi sosial, dan jaminan kesejahteraan, adalah sebuah sistem yang hanya bisa dibangun di atas fondasi dan material-material yang rasional, empiris, dan dapat diukur, seperti pasar, parlemen, dan konstitusi.
Sehingga, adalah sebuah kesia-siaan jika Anda sibuk mencari-cari di mana letak kontribusi agama dan Tuhan terhadap sistem politik dan ekonomi modern tersebut. Agama punya wilayah epistemologis yang berbeda dari politik dan ekonomi. Tanpa Tuhan sekalipun, Anda bisa membangun ekonomi yang adil. Anda tak perlu Tuhan untuk membuat sepeda yang baik.
Kedua, agama yang Anda paksa supaya relevan secara langsung terhadap kemakmuran dan kemajuan suatu negara, adalah sebuah tradisi klasik yang berasal dari ribuan tahun silam. Aktualisasinya di dunia modern memerlukan kreativitas, daya imajinasi, dan penafsiran oleh masyarakat manusia.
Sama halnya jika Anda hendak mencari formula bagi pemikiran, sistem, dan etika ekonomi global yang tepat untuk diterapkan hari ini. Anda bisa, dan bahkan perlu, menengok juga peninggalan Adam Smith, Karl Marx, dan Keynes. Baru kemudian Anda membentuk sintesa dari tradisi pemikiran ekonomi tersebut.
Ketiga, agama bukanlah perilaku pemeluknya. Agama juga bukan pengakuan pemeluknya, apalagi yang bukan pemeluknya. Anda suka atau pun tidak, apa yang dilakukan dan dinyatakan seorang pemeluk agama, apalagi seorang yang tidak memeluk agama, bukanlah agama itu sendiri.
***
Rumit bukan? Begitulah. Sebab otak manusia lebih terbiasa mengira bahwa perilaku seseorang, juga sekaligus merupakan agama, etnis, dan budaya orang tersebut.
Apakah sains adalah perilaku Einstein dan Eisenhower? Apakah filsafat adalah perilaku Aristoteles? Apakah politik sama dengan perilaku politikus? Jawaban dari itu semua adalah tidak. Tidak sesederhana itu.
Maka, tidak selalu tepat mengatakan agama adalah sama dengan perilaku dan pernyataan seseorang. Anda melakukan survey, menanyakan kepada orang yang Anda temui secara acak, apakah agama itu penting baginya. Jika ia mengatakan bahwa agama tidak penting, apakah itu artinya agama memang benar-benar tidak penting?
Top 10 negara paling sejahtera dan bahagia dalam buku Denny JA (2021), menunjukkan bahwa pemeluknya tidak merasa butuh pada agama. Tapi, itu bukan berarti agama benar-benar tidak dibutuhkan manusia. Manusia bukan mereka saja.
Lagi pula, negara-negara tersebut, seperti Belanda, Denmark, dan New Zealand, adalah negara dengan tradisi sekularisme yang panjang. Artinya, sudah lama mereka terbiasa hidup tanpa agama. Ruang publik mereka sepi dari agama dan terminologi keagamaan.
Sehingga, jika Anda tanya apakah agama penting bagi mereka, tentu jawabannya tidak. Jika Anda tanya mereka, apakah keju penting untuk sarapan, pasti jawabannya ya. Coba tanya ke orang Indonesia, apa yang penting untuk sarapan? Dibanding keju dan sandwich, kita lebih memilih nasi uduk.
Bukan Persaingan Agama dengan Sains
Masalah yang dialami berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, tidak bisa disederhanakan menjadi masalah antara agama dan sains. Baik para pelaku intoleransi berbasis agama, maupun pihak yang anti-agama, sama naifnya dalam bersikap.
Agama bagi masyarakat Indonesia, tidaklah sama dengan agama bagi masyarakat Belanda. Bagi kita, agama telah menjadi darah dan daging, yang menyusun setiap rentang sejarah bangsa ini. Tuhan adalah yang paling kita rindukan, tempat kita menghadapkan wajah dan harapan.
Hanya dalam masyarakat religius seperti Indonesia, maka bisa lahir sebuah ideologi dan kesepakatan bersama (kalimatun sawa’un) dalam wujud Pancasila. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial, adalah bagian penting dari identitas bangsa kita.
Jika hari ini kita belum bisa mewujudkan nilai-nilai luhur tersebut, bukan berarti nilai itu yang salah dan tidak penting bagi kehidupan nyata. Masalahnya adalah sumber daya manusia Indonesia belum mampu mewujudkan itu semua.
Bangsa ini punya agama, namun tidak mengamalkannya, atau malah menyalahgunakannya. Kita punya budaya, namun kita lebih suka bersenang-senang dalam kemewahan, konsumerisme, dan hedonisme. Kita punya ajaran etika, tapi lebih suka bertengkar berebut kekuasaan dan popularitas.
Seperti yang Al-Quran (7:179) sampaikan: Mereka punya hati, tapi tidak dipakai memahami. Mereka punya mata, tapi tidak dipakai melihat. Mereka punya telinga, tapi tidak dipakai mendengar. Mereka sama saja dengan binatang ternak. Bahkan lebih rendah.
***
Hari ini, rendahnya adab, etika, dan persaudaraan itu juga terjadi di antara mereka yang memeluk agama dengan yang membenci agama. Sedang ada konflik yang terjadi.
Memang, adalah fakta apabila sebagian orang tega menebar kebencian terhadap orang lain dengan menjadikan agama sebagai landasannya. Akan tetapi, adalah fakta juga apabila sebagian orang yang lain mulai melakukan hal yang sama, dengan menjadikan sains dan ideologi tertentu sebagai landasannya.
Sebagian orang mulai mencaci maki dan merendahkan harga diri, budaya, dan kepercayaan agama orang lain karena itu semua dianggap kuno, primitif, tidak rasional, anti-kemajuan, dan anti-kemanusiaan. Sebuah tuduhan sepihak yang sangat mudah dipatahkan.
Ini sama saja dengan seseorang yang merasa dirinya berasal dari kota yang modern, menghina seseorang yang dianggap berasal dari desa yang kampungan.
Masalah kita bukan sekadar ketertinggalan negara ini dari segi kemakmuran, kekayaan material, dan kecanggihan teknologi. Kita juga mengalami masalah etika kebangsaan. Perilaku kita belum menunjukkan sikap dewasa dan penuh persahabatan.