Mengapa Inti Agama itu Terletak pada Akhlak?
Pada asalnya, agama adalah seperangkat aturan hidup bagi masyarakat manusia. Agama hadir untuk menjaga kesatuan dan keharmonisan hidup di suatu tempat. Orang berdebat, apakah agama itu alami, buatan, atau dari Ilahi. Meski begitu, tetap saja agama adalah bagian penting dalam sejarah manusia.
Reza Aslan, dalam God: A Human History (2015) mengatakan bahwa agama adalah kisah tentang sejarah kita sendiri. Tentu bukan sejarah dalam ukuran positivistis yang serba ketat dalam aturan. Maksudnya, agama sebenarnya hanya berkisah tentang watak, perilaku, hasrat, impian, dan tragedi manusia.
Terlepas dari debat filosofis maupun empiris tentang asal-usul dan evolusi agama, ada satu dimensi darinya yang sangat kental dan melekat dalam kenyataan empiris manusia. Apa itu? Ia adalah etika. Atau, Islam menyebutnya akhlaq, bentuk plural dari khuluq yang berarti etika.
***
Etika sebenarnya adalah dimensi paling kentara dari agama. Sebenarnya, bukan teologi yang agama tekankan, melainkan etika ini. Mengapa? Sebab, agama adalah untuk manusia. Lebih tepatnya, untuk memperbaiki perilaku manusia.
Nah, sayang seribu sayang, meski dimensi etika atau akhlak ini begitu kental dan kaya dalam ajaran agama, tapi ia justru tenggelam dalam riuh dan berisiknya konflik politis dan teologis di tubuh umat beragama.
Kita lebih semangat berdebat tentang siapa yang paling shahih dan siapa yang paling bid’ah. Kita sibuk mempermasalahkan apakah vaksin itu halal atau haram. Apakah ia itu akal-akalan orang kafir untuk memasukkan elemen babi ke dalam tubuh kita, atau bukan.
Ini semua, Anda sadari atau tidak, adalah bukti nyata bahwa agama telah menjadi alat untuk mengesahkan perpecahan, pertikaian, dan bukannya persatuan.
Kita beriman pada Tuhan, sebagai pencipta dan tempat kita semua kembali. Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang ini, sebenarnya ingin hamba-hambanya menjadi apa? Apakah Tuhan ingin kita menjadi manusia pengasih dan penyayang seperti diri-Nya? Atau Tuhan ingin kita membelanya mati-matian, meski harus dengan cara menindas manusia lainnya?
Jika Tuhan sedang menunggu kita di surga, sebenarnya yang Ia tunggu itu orang-orang yang beriman sesuai akidah dan dogma yang sudah diatur secara rigid, atau justru Tuhan sedang menunggu orang-orang yang semasa hidupnya beramal saleh kepada diri sendiri, alam semesta, dan orang lain?
Saya paham, ini semua adalah debat yang tiada habisnya. Debat ini tentu saja positif untuk menyegarkan pikiran umat manusia. Tapi, kita ini hidup bukan di alam pikiran (semata). Ada dunia empiris yang menunggu perilaku, amal, dan etika kemanusiaan dari kita; yang secara langsung akan mempengaruhi kehidupan di dunia.
Artinya, umat beragama seharusnya memahami, bahwa bukan formula akidah yang rumit dan canggih yang akan memastikan kedamaian hidup di dunia. Melainkan, integritas dari dalam diri untuk beramal demi kemaslahatan diri, dunia, dan masyarakat.
Mengapa Akhlak Mudah Dilupakan?
Sudah banyak kritik disampaikan kepada kita selaku umat beragama. Kritik itu terutama pada aspek terputusnya kontribusi nyata kita bagi perdamaian dan kemajuan. Bertahun-tahun ia meneliti agama-agama, Karen Armstrong, dalam karyanya Twelve Steps to a Compassionate Live (2010) sampai pada kesimpulan bahwa, agama di dunia modern ini harus beralih dari agama yang hanya mementingkan akidah, kepada agama yang jauh lebih peduli pada etika dan kemanusiaan.
Suka atau tidak, begitulah kenyataannya. Jika Anda membaca sejarah umat beragama selama ribuan tahun, Anda selalu bisa melihat akidah menjadi alasan orang-orang saling membunuh satu sama lain. Untuk memahami ini semua, Anda bisa membaca buku Karen Armstrong, The Battle for God (2000).
Dalam kasus Islam, misalnya. Muhammed Abed Al-Jabiri, filosof Muslim modern asal Maroko, dalam al-Aql al-Siyasi al-Arabi (1991) menemukan bahwa aqidah, qabilah dan ghanimah menjadi frame atau bingkai dari perilaku masyarakat Arab-Muslim sepanjang sejarah.
Aqidah adalah ikatan-ikatan ideologis yang membedakan antara kelompok kami dan kelompok liyan. Qabilah adalah kelompok eksklusif itu. Ghanimah adalah hasrat mengumpulkan harta, yang secara sosiologis bisa berarti hasrat untuk menguasai kebenaran. Yakni, merasa yakin bahwa yang benar hanya dirinya atau kelompoknya semata.
Nah, inilah teori hebat dari Al-Jabiri, yang bisa Anda pakai untuk memahami mengapa Islam tidak bisa lepas dari kotak-kotak mazhab yang saling mengklaim kebenaran. Buya Syafii Maarif setuju dengan Al-Jabiri, dan memakai teorinya untuk menjelaskan persoalan sosiologis dan religius dari umat Islam di Indonesia.
Menurut Buya, dalam Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam (2018), kita ini tidak kritis atas bentuk-bentuk keislaman yang datang dari Timur Tengah. Sehingga, konflik-konflik politik dari sana pun dengan senang hati kita terima. Bahkan dianggap bagian dari akidah kebenaran.
Buya mengajukan contoh: Konflik Sunni-Syiah itu selalu disebut akarnya adalah akidah yang bertentangan. Padahal, menurut Buya dan Al-Jabiri, itu semua akarnya adalah pertikaian memperebutkan kursi penguasa.
Islam Indonesia, Seharusnya Islam Akhlak
Para pemikir Islam di Indonesia seperti Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan Buya Syafii Maarif, selama ini lantang menyuarakan pembaruan pemikiran di tubuh umat beragama. Mengapa? Alasannya adalah untuk mengembalikan fungsi awal agama sebagai penuntun bagi perilaku manusia.
Cak Nur misalnya, dalam pidatonya, Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat (1970) menyatakan bahwa umat Islam harus berani mengakui mana yang sifatnya duniawi, dan mana yang sifatnya ukhrawi dalam setiap tradisi dan ajaran Islam. Mazhab-mazhab itu misalnya, adalah duniawi.
Kita tidak perlu menganggap mazhab, akidah, dan tradisi sebagai bersifat mutlak dan sakral. Yang mutlak dan sakral hanyalah Tuhan. Kata Cak Nur, itulah yang namanya tauhid. Dan di sinilah tauhid sejalan dengan sekularisasi. Artinya menduniawikan hal-hal yang memang duniawi, dan tidak meng-ukhrawi-kannya.
Majid Fakhry dalam salah satu karya monumentalnya, Ethical Theories in Islam (1994), memetakan empat tipologi etika dalam Islam. Pertama etika skripturalis. Wujudnya adalah aturan-aturan kode etik dalam ilmu fikih. Kedua, etika teologis. Wujudnya adalah teori-teori etika teologis seperti soal baik, buruk, dan keadilan di sisi Allah.
Ketiga, etika filosofis. Wujudnya adalah teori dan model pemikiran etika para filosof, seperti tentang kebahagiaan dan jiwa manusia. Terakhir adalah etika religius. Wujudnya adalah sintesa pemikiran etika filosofis dengan tasawuf. Membaca buku yang sudah klasik ini, Anda akan mendapat kesan: Betapa kaya dimensi etika dalam Islam.
Nah, sekarang persoalannya adalah, bukan kurangnya ide-ide dan ajaran etika itu. Sebuah buku etika terbaik bahkan sudah ditulis di Abad Pertengahan, yakni Tahdzib al-Akhlaq karya Ibn Miskawayh. Masalahnya, mengapa ide-ide etis itu tidak membumi dan terealisasi dalam kehidupan nyata?
Salah satu jawabannya diajukan Fazlur Rahman dalam Major Themes of The Quran. Menurut Rahman, etika yang merupakan ajaran inti Islam, berangsur-angsur tertutupi oleh semangat memperebutkan klaim sebagai kelompok paling benar, paling Islami, atau, seperti istilah yang terkenal saat ini; paling syar’i.
Surga Hanya Bagi Mereka yang Berakhlak Baik
Akhirnya, bagi umat Islam, Tuhan adalah inti segala-galanya. Tapi bukan berarti bahwa kita berhak membenci manusia lain dan mengira dengan begitu Tuhan akan menyayangi kita. Kita seharusnya membaca Al-Qur’an dan hadis Nabi tanpa melupakan kerangka tema-tema utama yang dikandungnya, yakni ketuhanan, etika, dan kemanusiaan, seperti dirumuskan Fazlur Rahman.
Tanpa mengetahui semua frame itu, maka akan lahir pemahaman Islam yang eksklusif dan dogmatis. Mengapa bisa? Sebab atmosfer pertikaian politik Timur Tengah kadung menjadi nuansa utama para ulama terdahulu dalam menjelaskan ayat-ayat suci dan hadis Nabi, dalam kitab-kitab tafsir, hadis, tarikh, maupun fikih.
Di tengah manusia-manusia yang saling membunuh, saling membenci, dan menghalalkan peperangan, Nabi Muhammad Saw datang dengan penuh kasih sayang. Nabi berpesan kepada mereka: “Kasihilah mereka yang di bumi, maka yang di langit akan mengasihimu.” Nabi memasuki pintu Makkah sebagai pemenang, dan mengatakan kepada Abu Sufyan: “Kalian hari ini bebas, tiada rasa takut bagi kalian.”
Nabi menyampaikan kepada seseorang yang mendesaknya supaya mengajarkannya Islam. Nabi berkata: “Agama adalah akhlak yang baik.” Tiga kali Nabi ditanya begitu, tiga kali Nabi menjawab: “Agama adalah akhlak yang baik.”
Nabi menyampaikan kepada jemaah sahabatnya: “Yang paling banyak memasukkan orang ke surga adalah takwa dan akhlak yang baik.” Nabi pun bersabda bahwa tujuan ia diutus adalah semata-mata demi mengajarkan dan menyempurnakan akhlak yang mulia.
Allah berfirman kepada Nabi: “Wahai Muhammad, seandainya bukan karena hatimu yang lembut, maka sudah pasti mereka itu tidak mau mengikutimu. Maka maafkan saja mereka, dan ajak mereka musyawarah dalam menyelesaikan masalah.”
Allah pun mengatakan kepada Nabi tercinta-Nya bahwa sang Nabi adalah rahmat, kasih sayang bagi seluruh umat manusia. Nabi-Nya itu adalah manusia biasa yang bersabar ketika dicaci maki, tak membalas ketika dilempari kotoran, dan berdoa ketika dihina.
***
Suatu ketika Fathimah menangis melihat bapaknya itu dihina dan dilempari kotoran unta. Fathimah terisak dan merengek, bertanya pada bapaknya, mengapa orang-orang itu berlaku demikian pada bapaknya. Padahal bapaknya hanya mengajak mereka pada kebaikan, pada Allah, dan pada kemanusiaan.
Nabi menjawab: “Wahai putriku, mereka tidak salah, mereka hanya tidak mengerti saja.” Jibril pernah tak sabar lagi, ingin melibas penduduk Thaif dengan gunung. Jibril sanggup melakukannya. Jibril marah melihat Thaif melempari dan meludahi Nabi. Nabi berkata pada Jibril: “Sudahlah, maafkan mereka. Mereka tidak salah. Mereka hanya tidak mengerti saja.” Mengenai syarat masuk surga, dalam Al-Quran (5:69), Allah mengatakan ada tiga: beriman kepada Allah, kepada hari akhir, dan beramal saleh. Atau, dengan kata lain, berakhlak baik.
Editor: Yahya FR
Aqidah itu Akhlak kepada Rabbmu !